Bakso Kakang dan ‘Paket Pelajarannya’

Apa kabar Bakso Kakang?

3 Januari 2022, Bakso Kakang genap 1 tahun beroperasi. Selama 2021-2022 ini, pastinya ada hal-hal yang terjadi. Sebenarnya sudah bisa dibayangkan. Membuka usaha baru di saat pandemi, ada risikonya. Bukan hanya itu. Ini adalah kali pertama saya terlibat di bisnis kuliner.

Tentunya terasa terlalu dini bila saya bercerita tentang Bakso Kakang. Tetapi ternyata, yang namanya pelajaran, selalu bisa diambil kapan saja. Semesta menyajikannya.

Tidak bisa menceritakan secara detail, karena Bakso Kakang masih seumur jagung dan saya bukan pakar. Teringat sekali saat kami masih berbicara sebatas wacana, lalu berencana, hingga terlaksana. Teringat juga saya masih berkutat mengajari dan mengecek laporan keuangan sangat sederhana yang belum akrab dengan Si Mbak. Baru setahun, tetapi setidaknya ada dua poin sederhana yang bisa saya simpulkan dari sudut pandang saya: yang berjalan sesuai rencana dan yang tidak berjalan sesuai rencana.

 

Hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana

Sejak masih sebatas wacana hingga pada akhirnya setahun beroperasi, banyak hal yang pada akhirnya berjalan di luar rencana awal.

  • Masih belum berjualan secara online. Tentang yang satu ini, ada beberapa alasan teknis yang sangat mendasar. Salah satunya adalah kesiapan SDM. Selain itu, pendaftaran online juga sempat mengalami kendala.
  • Menu awal Bakso Kakang terpaksa ditiadakan, karena daya beli yang menurun selama pandemi. Batagor kampung yang murah meriah dan bisa nambal perut, kini menjadi primadonanya, dan menggantikan menu yang justru menjadi latar belakang dibukanya Bakso Kakang. Batagor ternyata lebih efektif dilihat dari proses produksi hingga penjualan. Ternyata, pasar memang raja. Mau bilang apa?

Keadaan di atas juga saling dukung mendukung dengan keadaan pandemi, yang mengakibatkan saya tidak bisa langsung datang ke ruko, karena ruko yang disewa, juga ditinggali Mbak, Mas dan anaknya. Iya, memang bakso kakang ini dikelola oleh keluarga, dan Mbak adalah ‘Chef’-nya. Ini juga yang membuat saya menjadi belajar, bahwa kultur sebuah organisasi sekecil ini pun harus menjadi pertimbangan dalam mendirikan sebuah usaha. Ada conflict of interest. Ada sudut pandang yang berbeda antara saya dan Mbak yang memang langsung terjun di lapangan, Ada tingkat urgensi yang berbeda. Bahkan ada beberapa isu internal di antara mereka sendiri. Sehingga banyak pengambilan keputusan yang mendadak dan tidak sempat dibicarakan terlebih dahulu.

Semua menjadi lebih jelas saat PPKM berlangsung. Si Mbak sempat sakit, saya juga dianjurkan suami untuk tidak kemana-mana. Saya yang biasanya mengecek seminggu sekali, memutuskan untuk di rumah saja. Dengan semua keadaan di atas, saya dan suami berdiskusi lagi.

  • Akhirnya kami memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali di lapangan. Kami mereposisi diri, untuk menjadi investor saja. Ini perlu, agar usaha ini tetap berjalan. Kami menyerahkan sepenuhnya kepada Mbak, untuk mengambil keputusan apa pun yang dia rasa tepat dan dibutuhkan. Hubungan tetap berjalan dengan sangat baik, dan kami tetap terbuka untuk apa pun yang hendak diceritakan, ditanya dan dilaporkan. Karena tidak lagi terlibat langsung di operasional, saya pribadi tidak bisa menyediakan informasi tentang produk yang tersedia, hingga pemesanan. Jika ada yang bertanya, saya akan langsung memberikan nomor kontaknya saja.

 

Hal yang berjalan sesuai rencana.

Memasuki tahun kedua ini, saya dan suami cukup lega, Bakso Kakang yang kini menu utamanya batagor, sudah punya 4 gerobak. Satu gerobak besar yang kami pesan pertama kali dan tiga gerobak kecil (satu beli bekas, dua gerobak kecil lainnya dirakit sendiri). Satu dari tiga gerobak kecil, mangkal di depan ruko Bakso Kakang, dua gerobak lainnya berkeliling dibawa oleh keponakan Mbak, dan suaminya, kadang oleh anaknya juga.

Ya, yang berjalan sesuai rencana adalah: membantu Mbak beserta keluarganya memiliki usaha yang bisa dibilang: “Cukup berkembang dengan caranya sendiri”, lalu bertahan di masa pandemi. Saya dengar bahkan Mbak akan menambahkan menu di luar per-Bakso-an. Bukan tidak mungkin, nanti akan ada perubahan menu, atau perubahan bentuk usaha yang lain lagi. Kalau dibuat daftarnya, saya telah  dapat pelajaran lebih banyak. Ada pelajaran yang memang sesuai teori-teori manajemen saat kuliah dulu. Misalnya teori pemasaran, pentingnya mengenal kultur organisasi, dan manajmen SDM 😀

Tapi dari Bakso Kakang, saya belajar hal lain di luar teori. Salah satunya adalah belajar melihat bisnis dari sudut pandang lain. Kadang keuntungan tidak bisa dilihat berupa materi. Balasan kebaikan juga kadang bukan langsung dari orang yang kita bantu. Melepasnya berjalan sesuai kebutuhannya sendiri bisa jadi adalah yang terbaik. Sampai saat ini, saya dan suami masih membiarkan Bakso Kakang agar bisa bertahan dulu dengan batagornya. Sama sekali belum memperoleh keuntungan langsung maupun kembali modal.

Senyum saja ketika ada yang bertanya apakah saya untung? berapa keuntungan yang saya dapatkan? Apakah sistemnya bagi hasil?. Tetapi untuk semua pertanyaan yang jawabannya “belum” itu, rasanya menjadi jelas ketika menyadari kenyataan bahwa Bakso Kakang menghidupi orang-orang di dalamnya, bahkan di saat pandemi.

Dan saat ada pintu-pintu dari arah lain yang terbuka lebih lebar buat saya dan keluarga kecil saya setelahnya, mungkin saja itu terjadi karena kami membukakan pintu untuk Mbak dan keluarganya. Wallahu’alam…

Saya hanya mencoba menyimak, berprasangka baik, berkhidmat pada pemberian-Nya dan bersyukur.

 

Silakan melaju armada-armada  Bakso Kakang eh Batagor Kakang 🙂 !

Silakan lanjutkan cerita apa pun yang harus dilakoni…

Survive! Survive!

You may also like