Sortir pakaian, terlewati dengan cukup lancar. Menurut Metode Konmari, yang selanjutnya disortir setelah pakaian adalah buku. Saya, tidak menyadari bahwa ini akan lebih berat, sampai semua buku di rumah sudah tergeletak di lantai ruang kerja.
Debu dibersihkan, rak tempat menyimpan dilap, buku-buku tetap ditumpuk menggunung di lantai. Saya pandangi sekilas. Gawat! mulai sortir dari mana?
Gambar 1. Tumpukan buku yang tergeletak selama tiga hari
Saya agak bingung. Setahu saya, Marie Kondo sendiri hanya menyimpan 30 buku. Menyortir hingga hanya menyimpan 30 buku rasanya susah sekali untuk saya. Namun, beliau sendiri juga mengatakan dalam bukunya the life-changing magic of tidying up halaman 81: “Walaupun begitu, biasanya hanya orang-orang berprofesi tertentu yang membaca ulang buku sesering itu, semisal akademisi dan penulis.” Saya menggolongkan diri dalam penulis kreatif, karena yang saya tulis bukan hanya buku dan cerita fiksi, tapi juga skrip profil dan advertorial, opini, dan lain-lain. Jadi sepertinya saya bisa ngeles untuk menyimpan lebih dari 30 buku he he he…
Kalau mengikuti syarat bahwa barang yang disimpan harus mendatangkan kebahagiaan, maka bermunculan kategori-kategori dalam benak saya untuk menyortir buku, seperti ini:
Buku-buku yang sangat mungkin akan saya baca kembali.
Ada tiga buku yang otomatis masuk kategori ini, karena saya bisa membacanya secara parsial. Bisa dibuka di chapter mana saja.
Gambar 2: Buku-buku yang bisa dibaca parsial dan kerap memotivasi saya dengan caranya masing-masing
Walau ada juga novel, kebanyakan dari kategori ini adalah kumpulan cerpen, puisi dan buku-buku inspiratif, seperti buku Marie Kondo sendiri. Karena itu tadi, buku-buku semacam kumpulan cerpen, puisi atau tips seperti ini bisa dibaca bahkan pada waktu yang terbatas. Satu dua bab saja bisa distop.
Oh ya, Marie Kondo dalam bukunya juga malah menyarankan untuk membuang buku karyanya kalau memang tidak mendatangkan kebahagiaan bagi kita, pembacanya. Tapi, saya malah yakin akan menyimpannya. Karena walau tamat hanya dalam dua hari, saya masih sesekali membacanya hingga kini untuk mencari tahu beberapa hal yang mungkin terlupa atau terlewat. (Bukunya ini dalam banyak hal, malah bisa membuat saya terhibur dan tertawa, karena sangat berhubungan sama kehidupan kita sehari-hari. Terutama di halaman 39. Bab 2, berjudul : Jangan Perkenankan Keluarga Anda Melihat. Buat saya ini sub bab yang paling menghibur dari banyak sub bab lain yang juga bisa membuat saya tersenyum geli. Marie Kondo banyak sekali memaparkan cerita-cerita kliennya dengan masalah-masalah yang terasa tidak asing. Terutama buat perempuan dan atau ibu-ibu)
Buku-buku yang saya suka kovernya
Iya, saya se-receh ini. Masalahnya, saya penikmat fotografi dan desain grafis juga walau bukan seorang praktisi dari kedua bidang tersebut. Senang saja rasanya lihat sesuatu yang indah. Kalau untuk kategori kover buku ini, saya punya jagoan:
- Kover buku Brida-nya Paulo Coelho (yang ada di gambar 3), karena paduan warna putih, abu, hitam dan foil bronze ternyata keren banget hasilnya. Lalu,
- Kover buku Rectoverso-nya Dee juga favorit saya (berikut isinya). Dan desain kover buku Rectoverso ini juga yang mempertemukan saya dengan desainer kover buku pertama saya, berjudul Pujangga Mumang. Ya… saya mencari desainer Kover Rectoverso untuk mendesain buku saya juga, saking sukanya. Jadi buku Dee yang satu ini paling berkesan, karena telah mempertemukan saya dengan teman baru.
Gambar 3. Best Cover versi saya
Buku-buku yang ditandatangani langsung penulisnya
Kalau yang ini, agak sentimental. Ada yang berupa hadiah (teman saya kenal dengan penulisnya, minta penulisnya menandatangani bukunya, sebelum menghadiahi saya buku tersebut). Ada juga buku yang memang saya minta untuk ditandatangani langsung oleh penulisnya.
Buku yang masih baru, dan belum dibaca.
Nah, ini yang pada akhirnya saya pikirkan kembali. Ada buku baru yang belum, tapi akan saya baca. Namun, ada yang sejujurnya saya tidak yakin akan terbaca, dengan berbagai alasan.
Tentu saja, beberapa buku malah masuk lebih dari satu kategori di atas. Seperti Rectoverso-nya Dee. Suka isinya, suka juga covernya.
Saya coba menyemangati diri untuk bisa merasakan lebih dalam, buku mana yang betul-betul membuat saya bahagia hingga patut disimpan selamanya. Karena sesungguhnya, melihat buku saja, saya sudah bahagia.
Akhirnya ketemu juga kata kuncinya. ‘Butuh’ (Seperti kamus dan kawan-kawannya), ‘Akan dibaca (untuk yang masih baru)’ dan ‘menginspirasi’ (memberi kebahagiaan, hingga bakal dibaca ulang). Sepertinya, tiga kata kunci tersebut akan membantu membuat keputusan. Selain itu, yang membantu memudahkan saya juga adalah niat untuk menjadi anggota perpustakaan. Kalau ada akses menuju penyimpanan buku yang besar, tak apalah merelakan yang sudah tak mungkin terbaca lagi.
Hasilnya, dua dus sedang berisi beberapa puluh buku, siap keluar dari rumah. Ada beberapa buku yang terseleksi lewat pertimbangan yang agak lama. Ada buku yang masih terbungkus plastik, yang tidak relevan lagi dengan aktivitas saya sekarang. Beberapa buku yang bahkan termasuk bestseller, harus saya keluarkan juga karena saya yakin sudah paham isinya, tapi tidak akan sanggup untuk membacanya lagi. Akan lebih bermanfaat dipindahtangankan.
Saya berterima kasih pada buku-buku tersebut, atas ilmunya masing-masing, dan berterima kasih pada teman SMA saya yang mau mengadopsi buku-buku itu. Yakin sekali, di tangannya buku-buku akan terawat dan lebih menebar manfaat.
Harus saya akui, bahwa hasil akhirnya, tidak sanggup juga hanya memilih 30 buku untuk disimpan. Saya merasa ada keperluan dengan buku-buku tersebut. Walau begitu, berhasil mengeluarkan (hanya) 2 dus buku, membuat saya berhasil menata kembali tempat penyimpanannya. Banyak compartment mulai kosong. Rak bagian bawah jadi lega.
Gambar 4. Hasil akhir di rak
Buku yang kembali tersimpan dalam rak itu masing-masing dua baris. Jadi, barisan di belakang tidak terlihat. Buku-buku yang belum dibaca dan diniatkan akan dibaca ada di kotak kecil sebelah kanan.
Oh ya, kecuali Al-Qur’an, buku-buku agama Islam, ada di rak terpisah, karena tidak cukup di rak atas. Itu pun hasil seleksi, hingga tinggal satu baris
Kira-kira berapa jumlah buku yang masih saya simpan, ya? Entahlah. Saya enggak hitung. Sepertinya sampai seratus.
Ada dampak ajaib dari meng-Konmari-kan buku? Saya tidak tahu apakah yang saya alami kemudian adalah dampak dari Konmari, namun ada hal-hal terjadi. Misalnya, dapat orderan untuk bikin skrip untuk video profil, ketemu teman lama yang lain lagi, dan yang tetap terasa: lebih lega dan fokus. Ada beberapa rencana mungil yang bermunculan dalam benak.
Sesuai janji, saya mau menulis dan menceritakan hal-hal umum tentang metode ini, sambil membenahi kategori berikutnya di metode ini: Kertas.
Tantangan yang lebih sulit lagi. Karena selain memang banyak menyimpan kertas-kertas yang berurusan dengan rumah tangga, dari dulu keluarga kecil ini memang banyak berkarya di atas kertas, di rumah pula!
Walaupun pasti susah, saya memang sedang mempraktekkan metode ini. Jadi, pelan-pelan saya akan berusaha mengikuti langkah-langkahnya. Tantangan, yang bisa jadi menyenangkan.
.
.
Kesimpulan:
Durasi saya menyeleksi buku memang lebih lama daripada menyeleksi pakaian. Seingat saya, totalnya 5-6 hari. Tiga hari nge-hang, sehari seleksi, sehari menata ulang di rak, satu hari memasukkan ke dalam dus dan pindahtangan. (Yang saya maksud dengan 1 hari itu, bukan 24 jam ya… karena harus melakukan aktivitas harian rutin lainnya, maka lebih kurang saya menyisihkan waktu 2-3 jam dalam sehari, selama 6 hari. Gitu lho…)
Khusus untuk buku, rencananya akan
dievaluasi lagi tahun depan.
Alhamdulillah J