Konmari Method: #1 “Kenalan” dan Mulai

Kenalan

Hobi saya berbenah. Tidak sampai level “lebay”, tapi ada batas di mana saya tidak bisa cuek, kalau berantakannya sudah mengirim sinyal “mengganggu” . Waktu ngantor dulu, misalnya, meja saya harus kembali rapi lagi sebelum pulang. Secara berkala, saya juga suka decluttering di rumah. Biasanya, mulai gatal saat melihat banyaknya barang yang sudah tidak pada tempatnya, atau kertas-kertas berserakan. Jadi, ya melakukannya di area, yang saya rasakan berantakan saja.

Mendengar juga tentang Konmari Method dari beberapa teman sekitar satu tahun lalu. Saya browse artikel dan Youtube tentangnya. Tertarik, tapi belum memutuskan untuk mencoba mengikuti metode itu. Mungkin, karena saya merasa urusan membuang barang yang tidak diperlukan lagi, memang biasa sesekali saya lakukan.

Tapi, Hari Minggu tanggal 28 Oktober 2018 lalu, saat saya tengah berada di toko buku, tangan saya akhirnya menggapai buku Marie Kondo yang berjudul: the life-changing magic of tidying up. Padahal, sesungguhnya saya mencari buku lain. Akhirnya, saya sampai juga di kasir untuk membawa pulang buku tersebut. Ya, hanya buku itu.

Semesta membawa saya mengambil buku itu, membacanya dalam waktu dua hari. Buku-buku yang mengantre belum dibaca atau baru setengah dibaca, mungkin tengah protes. Tapi, setelah mempelajari Metoda Konmari, saya malah menduga: jangan-jangan sebagian dari buku-buku yang mengantre itu memang sudah selesai fungsinya dari toko buku sampai di rumah, atau selesai fungsinya sebagai hadiah dari beberapa orang dan ditakdirkan tidak terbaca. Menurut Konmari, ada barang yang digolongkan begitu. Berperan sebagai pelajaran buat kita, bahwa sesungguhnya kita tidak membutuhkannya.. Wah! Begitukah?

Saya memutuskan untuk mulai mencoba menerapkan Metode Konmari yang sejalan dengan hobi decluttering saya. Bedanya, Konmari Method ini menyarankan untuk melakukannya tanpa ampun, sekaligus. Yang artinya, bisa jadi untuk sekali seumur hidup. Nah, itu yang tidak pernah saya lakukan: tanpa ampun dan sekaligus. Frekuensi saya melakukan decluttering cukup sering, dan tanpa cara tertentu. Padahal dengan melakukan Metode Konmari, konon tidak akan berbenah berulang-ulang. Ya, apa salahnya dicoba.

Di awal bukunya, Marie Kondo menuliskan testimoni klien-kliennya, yang rata-rata mengungkapkan hal-hal luar biasa yang terjadi dalam hidup mereka setelah menerapkan metodenya. Menarik! benarkah sebegitunya?

Tanggal 30 Oktober, kelar baca bukunya (hanya dua hari sejak dibeli). Tanggal 31, mulai berbenah. Sesuai petunjuk di buku tersebut, sebaiknya kita melakukannya berurutan, agar hasilnya maksimal.

1. Pakaian

2. Buku

3. Kertas

4. Komana (Pernak-pernik)

5. Barang-barang sentimental (foto, surat-surat, diary)

Konon, itu urutan dari yang termudah, sampai tersusah. Iya, yang terakhir itu, susah membuangnya. Syarat utama dari Konmari adalah: hanya menyimpan barang yang mendatangkan kebahagiaan. Silakan baca bukunya kalau mau tahu ‘kenapa’, sekaligus penjelasan logisnya. Mungkin ada barang-barang yang selama ini kita simpan karena rasa tak enak hati kalau dibuang, atau yang paling parah: menyimpan kenangan. (padahal kenangan adanya di memori ya, bukan semata di barang)

Eh, parah mana, antara menimbun barang kenangan dengan menyimpan barang bukan kenangan yang bahkan kita lupa kalau kita memilikinya? :p

Jadi metode ini jauh lebih tegas dari decluttering yang saya lakukan selama ini. Banyak barang yang berkategori: ‘Ini kan pemberian’, ‘Ini kan waktu peristiwa anu’, ‘Ini kan susah dapatnya’, padahal barang-barang tersebut sudah tak terpakai dan tidak sebegitunya mendatangkan kebahagiaan. Malah jadi beban. Yang parah jika berkata: “ Ya ampuuun, barang ini! saya lupa kalau punya ini!” hanya karena terselip.

Memulai dengan Pakaian (2 hari : 31 Oktober-1 November 2018)

Seluruh isi lemari dikeluarkan. Lalu saya mulai memegang satu persatu pakaian (sesuai petunjuk). Betul saja. Ada pakaian yang tidak perlu dua kali pikir untuk digolongkan pada ‘yang mendatangkan kegembiraan’ dan pasti akan masuk lagi ke dalam lemari, saking sukanya. Ada pakaian yang harus dipegang lebih lama untuk mengenal rasa. Dan paling parah, ada pakaian yang sudah bertahun-tahun saya simpan, dan baru dipakai dua kali (sejujurnya? Saya kurang nyaman atau kurang suka memakainya). Ada pakaian yang memiliki nilai sentimental yang tinggi banget. Misalnya, oleh-oleh baju yang diberikan suami tanpa dipesan, saat pergi ke luar kota. Atau misalnya hadiah dari seseorang.

(Sayangnya, foto keadaan lemari sebelum berbenah tidak ada. Enggak sempat foto. Tapi percayalah, keadaannya: cukup banyak dan bertumpuk-tumpuk agak tinggi)

Mungkin agak nyeleneh dari aturan Konmari: sebelum didonasikan, saya foto beberapa pakaian yang punya nilai tertentu. Misalnya karena saya desain sendiri tapi sudah out of date, atau saya suka tapi sudah tidak muat. Ha ha ha…

Akhirnya, saya selesai dengan seleksi pakaian untuk didonasikan. Sepintas dilihat, banyak sekali pakaian yang masih tergolong sangat bagus. Beberapa kerudung, baik pemberian maupun beli sendiri yang tidak pernah saya pakai. Kaos kaki cadangan yang terselip di pinggir laci dengan keadaan 100% baru masih dalam plastik. Dan baju-baju dalam keadaan baik tapi nyatanya terlalu jarang, hingga belum pernah terpakai.

Jadi teringat, menurut ajaran agama saya, setiap barang yang kita punya akan diminta pertangggungjawabannya. Jadi lebih baik dipindahtangankan pada yang lebih suka atau lebih memerlukan.

Saat memasukkan pakaian terpilih ke dalam lemari, saya juga mengikuti cara melipat Konmari, walau belum sempurna. Untunglah, lemari saya yang berumur lima tahun juga ada bagian laci-lacinya, hingga memudahkan penyimpanan. Cuma lemari anak saya saja yang tidak berlaci-laci. Jadi harus modifikasi penyimpanan bajunya.

Pelan-pelan, muncul rasa lega yang signifikan. Dan ajaibnya, saya memang jadi bisa melihat apa yang saya punya (pakaian secara harfiah, dan berdampak melihat ke dalam diri: apa saja yang saya punyai, apa yang  perlu dan tidak perlu). Selama ini beberapa pakaian tertimbun pakaian lain, karena terletak di bawah dan terlalu dalam. Dengan Metode Konmari, kita seakan melihat pakaian di lemari semacam deretan buku di perpustakaan. Mudah untuk melihat kita punya pakaian apa saja.

Ya, isi lemari saya jadi lebih sedikit, tapi ada kelegaan yang sangat.

Gambar 1. Isi lemari saya sekarang, berkurang banyak:

Gambar 2. Laci lemari berisi jilbab

Selain itu, sejak isi lemari mengikuti Metode Konmari, saya mulai memakai lagi baju yang saya suka tapi selama ini terlupa karena tertimbun baju lainnya. Mulai sering juga mengkombinasikan (mix and match) dengan baju yang sebenarnya baju lama. Ini menjadi lebih mudah dilakukan, karena cara melipatnya membuat semuanya jadi terlihat. Sebenarnya kalau saya pikir, metode ini sejalan dengan konsep dalam Islam juga: tentang menghindari mubazir (menimbun pakaian yang tak terpakai), dan tentang ikhlas (melepas demi kebaikan)

Saya tidak tahu apakah saya sudah sempurna menerapkan Metode Konmari ini. Tetapi, baru sampai tahap pakaian saja, mulai ada tanda-tanda yang menyertainya. Seperti terhubung dengan teman lama, fokus pada target, dan lebih lega juga cepat dalam memutuskan sesuatu, walaupun peningkatannya tidak bisa langsung 180 derajat.

Tapi tahu, enggak? Ternyata di depan, saya menghadapi rimba Metode Konmari yang semakin sulit: menyortir buku!

Pada saat saya menulis ini, sudah tiga hari saya membiarkan ruang kerja berantakan dengan buku-buku, tanpa kemajuan. Semacam telepon genggam yang nge-hang. Saya biarkan dan tidak tahu mulai dari mana. Koleksi buku saya nggak terlalu banyak juga, tapi saya sangat suka buku!

Benar, ternyata pakaian lebih mudah dikeluarkan. Saya mulai merasa kesulitan melepas buku. Sementara buku, baru kategori ke dua dari 5 kategori yang harus dijalani.. Hiksss… bagaimana dengan kertas-kertas, pernak-pernik dan barang-barang sentimental lainnya? Saya sampai browsing lagi. Mereka yang sudah lebih dulu mengikuti metode ini, berapa lama sih melakukannya? Alhamdulillah, ternyata ada yang melakukannya dalam hitungan bulan juga. Jadi wajar ya, saya yang baru mau dua minggu (1 Nov-12 Nov) ini agak nge-hang untuk menyortir buku. Sampai saya ceritakan hal ini pada seorang teman yang sama-sama suka buku.

Saya nanti akan membagikan cerita dan hasil akhir dari menyeleksi buku. Hiksss… doakan saya, ya! Yang penting pakaian ‘done’ dulu ya… ha ha ha…

Belum tahu apakah saya akan sanggup menulis dan mempraktekkan sampai 3 kategori barang terakhir. Tapi setelah mengunggah tentang pengalaman menyortir buku nanti, saya akan menulis hal-hal umum seputar Konmari di rumah kami, karena tantangan lain adalah ber- “Konmari” dengan anak yang senang berkarya dan cukup aktif. Juga ada kami, orangtuanya, yang banyak bekerja dari rumah. Jadi, sepertinya akan ada dua lagi unggahan tentang pengalaman saya ber”Konmari” 🙂

So, wish me luck with the books dan tunggu ceritanya yaaa…

(tulisan ini mulai ditulis pada minggu pertama bulan November 2018, baru diunggah sekarang ;p)

Catatan :

Durasi total berbenah pakaian: 2 hari (tidak full, hanya beberapa jam dalam satu harinya), dan saat saya mengunggah tulisan ini, artinya sudah 1,5 bulan keadaan lemari saya ‘rapi sentosa’ seperti di foto 😀 . Isinya tak lagi banyak, dan saya merasa cukup. Alhamdulillah.

You may also like