Kejutan Kanti (1)

Kartu ucapan kosong di depannya, ia pandangi terus.

Jemarinya bersiap-siap menuliskan sesuatu.

Lalu, ia ragu.

Kata-kata dan cerita sudah habis.

Bukankah selama ini yang mereka lakukan berdua memang bercerita?

Semestinya, ia sudah tak perlu menulis apa-apa lagi

Seharusnya, seluruh indra Kanti bisa merasakan semuanya, bukan membacanya…

 

Ini waktu makan siang. Kamil enggan keluar dari ruangannya. Beberapa hari lagi, Kanti berulang tahun. Istrinya itu seorang pencinta angka, pemuja momentum. Tiga puluh lima bagi perempuan itu adalah angka cantik. Angka cantik dalam kamusnya adalah angka-angka kelipatan lima dan angka kembar. Momentum seperti peringatan hari ulang tahun dan hari pernikahan baginya merupakan sesuatu yang terlalu sakral untuk sekadar disyukuri.

Sudah pasti tugas Kamil bertambah. Selain ‘kewajibannya’ menuliskan kata-kata indah pada sebuah kartu ucapan, ia kini juga harus memikirkan hadiah ulang tahun yang lebih istimewa dari hadiah di tahun sebelumnya. Ini adalah momen spesial yang bertemu dengan angka cantik, dan itu artinya harapan Kanti biasanya menjadi lebih tinggi. Kamil terbebani, karena biasanya nanti Kanti akan mengevaluasi. Istrinya seakan punya ‘indikator’ untuk menilai indah tidaknya sebuah momen, sukses tidaknya sebuah acara. Rumit, memang.

Kamil sempat memprotes hal ini di awal pernikahan mereka.

“Sayang, bisakah kamu nikmati saja setiap momen yang sedang dijalani, tanpa harus dipikirkan dan dikomentari? Haruskah ulang tahun menjadi momen yang melebihi puluhan momen kita sehari-hari? Tidakkah kamu menyimak bahwa kata-kata yang aku ucapkan langsung dan apa yang kulakukan padamu setiap harinya lebih berharga daripada selembar kartu dan sebuah benda di satu atau dua hari saja dari 365 hari yang kita punya?”

Kanti bersikeras untuk tetap menjaga ‘tradisi’ ini, sebagai bentuk pemeliharaan cinta. Memang begitulah Kanti. Entah ada apa antara Kanti dengan momentum, dengan angka cantik. Bukan hanya ulang tahunnya. Saat ulang tahun anggota keluarga dan sahabat-sahabatnya, ia juga yang memastikan semua berjalan dengan sempurna.

Seperti saat Kasandra, anak pertama mereka berulang tahun yang pertama, Kanti begitu detil menyiapkan rencananya. Pakaian pesta, acara pesta, hingga hadiah untuk putri kecilnya. Kamil masih ingat, saat itu ia menoleh kepada yang punya hajat. Anak berusia satu tahun yang masih pakai popok itu tertidur kelelahan, setelah menangis kepanasan akibat pakaiannya yang berenda, bertumpuk-tumpuk. Kamil yang mau tak mau menggendongnya, duduk di pojok dekat pendingin ruangan, agar Kasandra bisa tidur dengan nyaman. Sementara Kanti terus memastikan acaranya berjalan sempurna, dengan berkeliling menyapa para tamu, mengecek makanan dan lain-lain.

“Kasandra tidak akan ingat ulang tahunnya yang pertama ini, Sayang. Ia masih sangat kecil,” Kamil sempat bernegosiasi dengan Kanti. Ia maunya Kasandra dibawa ke kebun binatang atau main pasir di pantai.

“Tetapi ia akan lihat fotonya saat ia besar nanti. Ia akan berterima kasih pada kita, karena telah membuat ulang tahun pertamanya dirayakan. Aku mau nanti ulang tahunnya yang ke lima juga dirayakan. Angka cantik,” Kanti mendelik.

Bahkan, saat Kamil berulang tahun, Kanti yang super repot. Menyiapkan pesta kejutan. Sementara Kamil hanya ingin berlibur sekeluarga ke tempat wisata. Santai menikmati hari spesial, dengan caranya. Tidak memusingkan hadiah apa yang akan Kanti beri. Kanti tidak mendengar, tidak peduli. Ia tetap menjalankan misi dengan versinya.

Sepenuhnya Kanti sadar, bahwa Kamil dan dirinya selalu berbeda dalam memandang momentum. Tidak ada istilah angka cantik dalam kamus Kamil. Bagi Kamil, angka yang paling cantik adalah angka-angka proyek yang harus ia tembus. Kata-kata tertulis yang paling ia mengerti adalah kata-kata yang tertuang dalam proposal, agar klien mau berbisnis dengannya.

Bagi Kamil, hadiah-hadiah yang paling penting di dunia, sudah didapatkannya: Kanti, Kevin dan Kasandra. Ia merasa istri dan kedua anaknya adalah hadiah terindah. Tidak diperlukan momen tertentu, angka tertentu, atau kata-kata tertentu bagi Kamil untuk merasa berbahagia bersama mereka. Tetapi, waktu dulu hal ini ia ungkapkan, ia dianggap berlebihan. Kanti tertawa terbahak-bahak sambil mencubit pipi suaminya, gemas. “Kamu so sweet banget, deh!”. Ironis. Kanti seringkali menganggapnya bercanda pada waktu ia bersungguh-sungguh.

Namun lucunya, mereka berdua menjadikan perbedaan ini sebagai keseruan. Malah, perbedaan ini selalu menjadi isu paling menarik untuk dibahas. Bukankah Rumah tangga memang berawal dari bersatunya dua orang yang berbeda? Mereka akan mengangguk setuju. Namun bagi Kanti tetap saja hari ulang tahun harus menjadi hari yang paling spesial. Ada yang kurang sedikit saja, ia bisa murung. Maka hadiah dan kata-kata indah di kartu ucapan adalah standar minimum yang Kanti tuntut. Apalagi di ulang tahun yang angkanya cantik.

Mungkin, ini tentang perempuan yang terlalu menggunakan rasa, dan tentang laki-laki yang mengedepankan logika. Mungkin ini tentang cara dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Kanti suka sekali dengan candlelight dinner, Kamil lebih suka suasana yang lebih santai. Bagi Kanti candlelight dinner itu romantis. Bagi Kamil, candlelight dinner itu kaku, seperti berakting, karena berpakaian resmi, duduk berjauhan, mengobrol disebuah meja. Lelaki itu memilih api unggun daripada lilin. Suasana kasual, lebih nyata dan lebih romantis baginya, karena tidak kaku dan tidak membuat jarak. Baginya, candlelight dinner hanya cocok ‘dijual’ untuk film saja. Memanjakan dan memukau penonton. Kamil dan Kanti memang berbeda.

Sesungguhnya, Kanti bukan wanita yang menyebalkan. Ia wanita penyayang, dan baik hati. Ia hanya sedikit berlebihan menghadapi momentum penting dan angka cantik. Kamil yang sangat mengerti kekurangan Kanti yang satu ini, berharap suatu saat wanita yang dicintainya itu mengerti tentang esensi dari momentum. Bersama yang dicintai, setiap detiknya adalah momentum penting. Ulang tahun memang penting, tapi tidak harus ada standar yang berlebihan menghadapinya.

***

Kamil menghela napas. Ia masih memandangi kartu ucapan kosong di depannya. Rasanya, semua kata-kata yang indah dan yang pantas untuk ia tuliskan dalam sebuah kartu ucapan, sudah habis ia rangkai dari ulang tahun Kanti yang satu, ke ulang tahun berikutnya. Dari kosakata Bahasa Indonesia, sampai kosakata Bahasa Inggris.

Sesungguhnya, Kamil tidak pernah pelit berkata-kata. Ia termasuk suami romantis yang sering dengan spontan mengungkapkan rasa sayang. Saat Kanti berdandan cantik, Kamil spontan memuji sambil menciumnya. Pulang kantor, tidak jarang Kamil membelikan makanan kesukaan Kanti walau sang istri tidak memesannya.

Mungkinkah bagi Kanti semua itu biasa saja? Hidup ini terkadang lucu. Istriku juga lucu.

Kamil tersenyum mengingat istrinya, saat ulang tahun Kanti yang pertama kali mereka rayakan setelah resmi bersama. Istrinya kelihatan sedih sekali karena tidak menemukan kartu ucapan di dalam bungkusan hadiah ulang tahunnya.

“Aku sudah kasih kado, kok sedih begitu?”

“Tidak ada kartu ucapan”

“Lho, kan aku sudah membisikkan doa langsung di telingamu?”

“Kan beda rasanya, Kamil”

Hari itulah pertama Kamil tahu pandangan Kanti tentang ulang tahun, lengkap dengan standarnya. Sesungguhnya bagi Kamil ini menggelikan. Tapi, bagaimana lagi? Kamil hanya ingin membuat wanita yang dicintainya bahagia.

 

 

Bersambung – Klik di sini

You may also like