Malam Pertama (Bagian 1)

Pelaminan telah dibongkar. Beberapa orang masih berlalu-lalang di sekitar gedung. Makanan dari katering yang masih tersisa melimpah, telah siap dikemas untuk dibawa ke rumah orang tua mempelai wanita, sesuai permintaan. Para pagar ayu masih berfoto ria. Empat orang pagar bagus terlihat mengangkut kotak uang milik pengantin. Sebagiannya lagi sudah membuka kancing beskap, dan mengibas-ngibaskan belangkon yang membuat rambut mereka klimis oleh keringat.

Ajeng duduk, dengan kipas pinjaman dari ibunya. Gerah, namun bahagia. Melihat sekelilingnya, dan memutuskan, bahwa suatu saat ia akan  meluangkan waktu khusus untuk menjamu para panitia yang rela kegerahan dalam beskap dan belangkon, dalam sanggul dan selop tinggi. Tahan pula berjam-jam dalam sesaknya korset. Bangun kepagian untuk mengantre make-up dan sanggulan. Ajeng ingin menjamu mereka sebagai ucapan terima kasih atas pengorbanan mereka, demi dirinya dan Untung.

Ibu memanggil anak perempuan dan menantu barunya untuk segera naik mobil pengantin.

“Ajeng, itu Pak Tono sudah menunggu di dalam mobil. Pulang duluan, istirahat”

“Ibu bagaimana?”

“Nanti Ibu nyusul sama Ayah dan Mas Bimo, enggak lama kok,” kata Ibu menenangkan.

“Oke, Bu. ”

Ajeng memang sudah letih sekali. Semalam ia bergadang, demi persiapan hari ini. Lalu, bangun terlalu pagi karena perias pengantin sudah muncul, mendahului kokok ayam. Demi hari ini juga.

Ajeng dan Untung pamitan, setengah berteriak, kepada semuanya. Gema suara mereka, menyadarkan betapa besar ruangan gedung yang tadi sesak oleh tamu, yang sebagian besarnya tidak mereka kenal dekat.

Untung memegang tangan Ajeng, keluar melintasi tempat meja penerima tamu, yang menjadi saksi betapa panjangnya daftar tamu yang mereka buat beberapa bulan lalu. Nama-nama yang sebagiannya asing bagi Ajeng dan Untung.

Untung membukakan pintu mobil, buat Ajeng.

“Silakan Istriku…” katanya menggoda. Ajeng tersenyum.

Di dalam mobil, Untung membuka kancing beskapnya, membuka belangkonnya. Lalu ia membuka selopnya dan melipat kakinya ke atas jok mobil.

“Capek banget aku, Jeng. Mau berkeluarga aja susah banget gini, ya?” katanya

“Eh jangan merasa lega dulu, Tung. Masih ada sesi pemotretan di dalam kamar pengantin, lho!”

What? Again? Oh Tuhankuuu!” Untung menutup muka dengan belangkonnya.

Ajeng tertawa terbahak-bahak. Ia tahu persis Untung, seperti lelaki pada umumnya, maunya yang praktis, tidak mau ribet dan tidak peduli apa kata orang. Entah mengapa, nyatanya perempuan memang lebih tahan pada ‘siksaan’ seperti ini.

“Untunglah, aku ini lelaki.”

“Kamu ‘kan memang Untung,” Ajeng mengedipkan mata, memegang tangan suaminya.

“Untung, lelaki yang beruntung dapetin kamu,” suaminya balik mengedipkan mata. Pendengaran Pak Tono di balik kemudi, mereka abaikan. Tanda-tanda bulan madu sepertinya sudah dimulai.

 

Walaupun semua acara berlangsung di gedung, tentu saja bukan berarti rumah menjadi sepi dan bersih. Kerepotan, dan kehebohan pindah, dari gedung ke rumah. Saudara-saudara dekat ikut pulang ke rumah Ajeng untuk berganti baju, sekalian membantu beres-beres. Sebagian makanan katering pun masih bisa disantap lagi di rumah.

Perkawinan Ajeng dan Untung juga jadi ajang pertemuan keluarga besar. Hingga paman Ajeng yang dari luar negeri mengambil cuti demi hadir di pernikahan keponakannya. Ini semacam hari raya.

Ajeng dan Untung segera digiring ke dalam kamar pengantin untuk sesi foto terakhir. Wangi melati menyeruak setiap kali pintu kamar pengantin dibuka. Uang dan hadiah dari para tamu, dimasukkan ke dalam kamar pengantin yang bertabur bunga. Kamar biasa yang kemudian disulap sehari menjadi terlihat mewah, juga indah.

Tak kurang dari setengah jam, fotografer mengambil gambar mereka berdua. Ajeng dan Untung mengembangkan senyum di depan kamera dengan sisa energi yang ada. Senyum bahagia, sekaligus lega. Keletihan ini akan segera berakhir. Ingin segera berbulan madu, dan memulai impian mereka untuk hidup bersama membangun keluarga.

 

Fotografer selesai melakukan tugas terakhirnya, dan pamitan pulang. Ajeng dan Untung berbasa-basi sebentar dengan kerabat yang masih ada di rumah. Lalu pamitan untuk tidur. Ledekan, godaan dan siulan dari sepupu-sepupu Ajeng yang super jail, mengiringi langkah mereka ke dalam kamar pengantin.

‘Cie-cie! Suit suit!’

Pintu ditutup.

 

Sanggul telah terbebas dari puluhan jepit yang membuatnya sanggup diam berjam-jam menempel di kepala Ajeng. Untung yang membantu melepaskan jepit satu persatu, sampai tak habis pikir melihat banyaknya jepit yang berjam-jam menempel di kepala istrinya. Untung menimang-nimang sanggul dengan tangan kanannya.

“Memang menikah butuh pengorbanan ya, Jeng? Ini lumayan berat, lho”

“Masih lumayan, Sayang. Kalau suntiang, mahkota yang dipakai pengantin wanita Padang, zaman dulu bisa mencapai tiga kiloan. Sekarang udah ada bahan yang ringan, namun tetap saja lebih berat dari sanggulku ini.”

“Ah perempuan memang kuat ya…”

“Iyalah! Belum lagi hamil, melahirkan, urusan rumah bla bla bla…”

“Stop!” Untung menutup mulut istrinya dengan telunjuknya. “Mikirin yang begitu mulai besok saja. Ini malam pertama kita lho!” katanya menggoda istrinya.

Untung melemparkan dirinya sendiri ke tempat tidur, lalu berteriak.

“Aaaaaww!”

“Eh, kenapa, Sayang?” Ajeng panik meninggalkan kaca rias untuk menghampiri suaminya.

Untung berdiri dari tempat tidur, dan meraba alas tidurnya

“Ah, ini rupanya! Ada jarum pentol!”

Penutup tempat tidur yang berwarna emas itu rupanya menggunakan banyak jarum pentol yang disematkan ke kasur, agar terlihat sangat rapi dan tidak lepas-lepas. Di atasnya ditaburi bunga melati dan kelopak bunga mawar.

“Tantangan lain pada malam pertama!” kata Untung sambil berkacak pinggang.

Ajeng tak bisa menahan tawa melihat pemandangan itu. Membayangkan dirinya menjadi Untung, lelaki simpel dan tidak mau ribet, tiba-tiba harus berhadapan dengan ini dan itu, di hari bahagianya.

“Seperti kata kamu tadi, perkawinan itu memang pengorbanan, Sayang…” Ajeng meledeknya lagi.

Suaminya itu tersenyum. Mengusap rambut istrinya yang kaku bekas hair spray.

“Ya sudah, kamu mandi dulu sana, biar kepala gak gatal-gatal bekas sanggul tadi”

“Kamu?”

“Aku mandi nanti atau besok saja. Tugas malam ini menyingkirkan jarum pentol. Aku ingin tidur nyenyak malam ini. Kapan ya, aku terakhir bisa tidur nyenyak?” tanyanya retorik.

Mereka berdua memang kurang tidur pada dua malam terakhir, atau mungkin lebih. Begitu banyak hal yang harus mereka persiapkan menjelang hari ini. Perempuan itu menurut pada suaminya. Ia memang kegerahan, kepalanya gatal, dan make-up tebal harus disingkirkan.

 

Di kamar mandi, Ajeng menikmati waktunya. Menikmati setiap percikan air. Ia merasa santai dan lega. Terpikirkan olehnya semua kejadian hari ini, bahkan sejak berbulan-bulan yang lalu. Syukurlah, semua keruwetan yang ia alami saat persiapan, berujung pada rasa bahagia.

Di kamar, Untung menyingkirkan taburan bunga melati dan kelopak mawar yang menyelimuti tempat tidur mereka.. Menumpuknya di atas meja rias. Jumlahnya lumayan banyak. Sekitar lima sampai tujuh tangkup tangannya. Lalu, ia menyusuri setiap sudut tempat tidurnya, setelah membuka penutup kasur berwarna emas, yang sesungguhnya tidak nyaman untuk ditiduri. Di benak Untung, terbesit juga kilas balik peristiwa yang membawanya ke hari ini. Walau cukup panjang dan berliku, tentunya juga berakhir bahagia dan melegakan.

Bersambung

You may also like