Kisah Kayla dan Pangeran Kecil (1)

Apakah benak superiormu masih menyimpan kisah kecil kita?

Kisah itu masih terselip di sudut mungil benakku.

Sesekali ada sinar berpendar lembut dari sudut mungil itu.

Mungkin sekadar mengingatkan bahwa kisah kecil itu memang pernah ada.

 

Kecil. Lucu. Manis.

Seperti kita, dulu…

-Kayla-

 

 

 

Kayla melihat jam tangannya. Dua jam. Selama itulah ia ada di tempat yang sama. Di depannya, sebuah lemari besar, sudah dua jam juga terbuka pintunya. Isinya sudah hampir kosong. Bukan sedang menyortir baju, seperti yang biasa ia lakukan satu tahun sekali. Ia hanya sedang mencari. Rasanya tak ada satu pun koleksi bajunya yang pas untuk dikenakan pada reuni siang ini.

Berita tentang reuni hari ini, sudah lama ia dengar. Namun ketika pada akhirnya undangan benar-benar diterimanya, ia jadi gugup sendiri. Antara rindu pada banyak kawan, rasa girang, namun juga terselip rasa ragu. Kalau lelaki itu datang, bagaimana? Sejak nama lelaki itu ada di daftar konfirmasi kedatangan, ia kerap memikirkan reuni ini.

Ini gara-gara suaminya juga. Sekitar satu bulan lalu, Kayla bercerita padanya tentang anak Sheila yang mulai puber di usia sebelas tahun. Rendra malah nyinyir dan mengingatkannya tentang kisahnya sendiri.

“Lah… kamu puber, terus suka sama lelaki berinisial Ruben itu dulu juga waktu seumur anaknya Sheila, kan?”. Suaminya tegas-tegas menyebut nama itu, sambil nyengir.

 “Apaan sih kamu!” Kayla tersipu.

Suaminya tertawa terbahak-bahak, istrinya tak bisa mengelak. Sejak itulah Kayla jadi dibayangi kisah mungil yang bersemayam di sudut benak. Dan setiap ingatan itu datang, terngiang suara Nikka Costa menyanyikan lagu Fisrt Love, yang jadi lagu kenangan Kayla dan Ruben. Eh, ralat: mungkin lagu kenangannya sendiri.

Every one can see…

There’s a change in me…

They all say I’m not the same,

Kid I used to be…

 

***

 

Sebuah kecupan di pipi mengejutkan Kayla. Rendra memeluknya dari belakang.

“Sudah dapat kostum yang pas untuk reuni siang nanti?” tanyanya setengah menyindir. “Nyantai aja, Kay. Jadi diri sendiri aja,” Rendra mengingatkan.

Kayla tertawa terbahak-bahak, mencubit pinggang lelaki itu. Malu rasanya, tepergok menghabiskan waktu untuk memikirkan reuni ini. Ia mencium pipi suaminya itu. “Iya Dra,” katanya, seraya kembali memandangi isi lemari yang sebagian besar sudah ada di atas tempat tidurnya.

“Memang Ruben positif datang, ya?” Rendra menggoda.

Kayla menoleh, lalu mengangguk.

“Iya, katanya sih begitu. Kenapa? Kamu cemburu?” Kayla balik menggoda.

“Enggak, kayaknya seru dan lucu aja kalian bertemu, setelah sekian lama,” jawab Rendra tenang, seperti biasanya. Lelaki ini memang selalu membuatnya nyaman, hingga semua hal bisa ia ceritakan. Termasuk kisah masa kanak-kanaknya dengan Ruben. Kisah yang ada dalam memorinya. Kisah antara ada dan tiada. Kisah antara ingat dan lupa. Mungkin hanya ia yang merasa, Ruben tidak. Mungkin hanya ia yang ingat, Ruben tidak. Tapi rasanya tidak mungkin Ruben yang anak pintar itu lupa, kecuali ia berpura-pura lupa.

Bila ini adalah sebuah kunjungan benak ke masa lalu, maka ini akan jadi kunjungan benak Kayla yang terjauh. Bagi sebagian orang yang menggadang-gadang masa depan dan masa sekarang, maka ‘kunjungan’ Kayla ke masa Sekolah Dasar akan dianggap tidak penting, dan sungguh kekanak-kanakan. Namun, bagi Kayla, masa kanak-kanaknya itu meninggalkan sesuatu yang indah sekaligus sebuah pertanyaan retorik. Ada rasa penasaran yang menggelitik. Enggan juga ia bercerita pada sahabat-sahabat perempuannya. Ceritanya akan dianggap sebagai angin lalu, dan cerita yang lucu. Selucu wajah dan kelakuan anak-anak seumurannya dulu.

 

***

 

Kayla kembali ke duapuluh lima tahun lalu. Di tahun terakhirnya di sekolah dasar, seorang anak lelaki yang memang tidak pernah satu kelas, tiba-tiba menarik perhatiannya. Anak lelaki berumur dua belas tahun, yang tentunya ia tahu, tapi tidak begitu ia kenal. Namanya: Ruben.

Benak kecilnya dulu, tidak sanggup menemukan definisi tentang Ruben. Ketika remaja, barulah Kayla mengerti bahwa lelaki semacam Ruben itu, cukup populer. Kayla kecil betul-betul tidak menyadari itu. Gadis cilik itu bahkan mungkin tidak peduli bila sampai akhir sekolah dasar mereka ditakdirkan untuk tidak pernah berbicara sekalipun.

Namun, sebuah kejadian begitu saja terjadi dan merubah semuanya. Suatu hari di waktu istirahat, semua anak kelas enam keluar dari kelasnya. Ruben, si anak kelas sebelah tiba-tiba menjegal kakinya pelan. Cuma iseng. Kayla hanya kesandung dan tidak sampai terjatuh. Ia terkejut dan marah. Ruben tampak senang karena berhasil membuat Kayla terkejut dan marah padanya. Omelan Kayla adalah kontak pertama mereka.

Tiba-tiba saja, mereka seperti mulai berkomunikasi. Bukan obrolan yang panjang dalam waktu yang sengaja diluangkan. Bukan. Mereka masih anak-anak. Laki-laki dan perempuan. Saat itu mereka ada di antara rasa ingin bermain dan mulai mengenal lawan jenis. Mulai tahu teman mana yang disukai. Maka, ketika Ruben sering mengejutkannya dari belakang, sering iseng mencoba menjegal kakinya tanpa niat membuatnya terjatuh, Kayla mulai memerhatikannya. Ruben seperti ingin diomeli lagi. Mungkin karena perempuan, ia menanggapi dengan mengolah tanya dan rasa. Apakah sebenarnya maksud Ruben? Mencari perhatian?

Candaan dan keisengan Ruben yang makin intens padanya setiap waktu istirahat, membuat mereka jadi dekat. Tentunya dekat, namun tetap di antara keramaian suara-suara anak kecil di sekeliling mereka. Waktu istirahat yang singkat menjadi ruang yang mempertemukan dua anak kecil yang selama lima tahun tidak pernah tersambung dalam bentuk komunikasi apapun. Waktu istirahat yang singkat, kini menjadi waktu Kayla memerhatikan yang selama ini tidak ia pedulikan. Bahwa Ruben bermuka tirus, kulitnya tidak terlalu putih dan tidak gelap. Dari dulu tahu bahwa anak itu pintar, banyak disukai, tapi tidak pernah sampai menarik perhatiannya.

Tetapi, Ruben selalu dikait-kaitkan dengan nama seorang anak perempuan cantik. Mereka berdua itu, Ruben dan Naira, semacam pasangan cilik. Yang satu tampan, yang satu cantik. Mereka berdua selalu satu kelas. Tentunya mereka lebih saling mengenal, daripada Kayla dengan Ruben. Gosip itu merebak begitu saja di antara murid dan guru-guru, tanpa tahu siapa yang memulai. Kalau saja ada pemilihan Raja dan Ratu di angkatannya, Ruben dan Naira pasti terpilih. Sementara, Kayla tidak pernah merasa semenarik Naira. Ia hanya tahu bahwa dirinya adalah anak yang periang. Itu saja.

Apapun yang terdengar tentang Ruben di luar ruang  – bernama waktu istirahat – milik mereka, bagi Kayla, Ruben tetaplah lelaki yang  paling memberi kesan di masa kanak-kanaknya.

Bila yang memulai berkomunikasi dengan sebuah keisengan adalah Ruben, maka Kayla yang kemudian mulai menulis surat. Surat-surat dengan tulisan tangan yang tidak begitu bagus, dan isi yang entah menggambarkan rasa suka atau hanya semacam soal cerita dari pelajaran Bahasa Indonesia. Ia merasa berhak bertanya karena merasa mulai diganggu rasa suka berbalut penasaran. Ruben hampir selalu menungguinya di luar kelas, waktu istirahat tiba. Untuk apa ia menunggu Kayla keluar kelas? Untuk mencandai, lalu terkekeh-kekeh sendiri? Iya… tapi kenapa? Bukannya dia dekat dengan Naira? Ia merasa harus tahu.

Kayla nekat mengirimkan sepucuk surat, dengan kertas buku tulis seadanya saja. Dengan pertanyaan polos yang juga ala kadarnya. To the point, tanpa basa-basi. Ia menyerahkannya diam-diam saat istirahat.

“Rahasia. Nanti aja bacanya,” katanya pada Ruben. Maksudnya agar Ruben tidak memberi tahu siapa-siapa.

 

Halo Ruben,

Mau Tanya. Katanya kamu suka sama Naira ya?

Jawab ya!

-Kayla-

 

Dulu itu, Kayla kecil tidak tahu apakah anak laki-laki akan menjawab surat semacam itu. Saat mengenal Rendra waktu kuliah, Kayla besar jadi tahu bahwa lebih banyak lelaki yang tidak mau repot-repot mengungkapkan rasa lewat tulisan. Jarang sekali Kayla menemukan tulisan terselip, bahkan pada hadiah ulang tahunnya dari Rendra. Rendra sering berkelit bahwa cara menunjukkan cinta yang terbaik adalah dengan perilaku, bukan kata-kata. Apalagi kata-kata yang ditulis, katanya. Kayla paling sebal bila Rendra berkelit seperti itu.

Maka, bila ia mengingat bahwa Ruben kecil sudah mau membalas suratnya, itu adalah sesuatu yang luar biasa.

 

Hai Kayla!

Aku biasa aja kok sama Naira.  Swear!

-Ruben-

 

Balasan surat Ruben membuat perempuan kecil itu berbunga-bunga. “Cinta Anak Monyet” begitu Rendra memberi judul, saat Kayla ceritakan kisah ini padanya. Cinta yang lebih muda dari cinta monyet. Kayla meralat. “Kisah Kayla dan Pangeran Kecil,” katanya, enggan menjadi putri.

 

 

(Bersambung ke Bagian 2) klik di sini

You may also like