#5 – Mendengarkan Coldplay

Menjelang Hari Buku Nasional 17 Mei 2021, saya mencoba mengunggah 17 buku berbahasa Indonesia, yang pernah saya baca. Dipilih secara acak, urutan unggahan juga tidak menunjukkan apa pun. Ini akan sangat menyenangkan, karena artinya saya akan kembali menelusuri rak buku saya . Belum tentu buku terlaris yang akan saya unggah. Belum tentu juga buku baru. Mungkin berbentuk ulasan, mungkin hanya tentang perasaan. Semata-mata ingin bercerita tentang sebuah buku. Coba kita lihat saja nanti jadinya bagaimana, yuk? Semoga bisa… 🙂

 

Unggahan #5 – Mendengarkan Coldplay

(Kumpulan Puisi)

Penulis: Mario F.  Lawi

Penerbit: Grasindo

Cetakan Pertama , Agustus 2016

 

Ada 3 hal yang membuat buku ini ada di rumah: kovernya, judul bukunya dan nama penulisnya. Ini sebenarnya bukti juga, bahwa kover ternyata memegang peranan, setidaknya untuk menarik pandangan pertama calon pembaca.

Setelah kover bukunya yang eyecathcing, saya tertarik dengan judulnya. Siapa yang tak kenal lagu-lagu Coldplay? Ini menarik… kata saya dalam hati. Dan terjadilah keputusan untuk membeli, karena teringat juga bahwa nama penulisnya disebut dalam event Ubud Writers and Readers Festival. Sangat ingin baca tulisannya.

Buku ini tipis (hanya 44 halaman). Ternyata penulis menggunakan judul-judul lagu Coldplay sebagai inspirasi. Bagaimana dengan puisi-puisinya? Saya pribadi merasakan Mario F. Lawi banyak menulis tema spiritual dan ketuhanan dalam puisinya. Rangkaian katanya yang indah tidak bisa dipungkiri.

Kalau puisi-puisi Mario F. Lawi menjadi patokan bagusnya puisi, saya akan jatuh minder dan siap-siap gantung pena untuk puisi. Saya sepertinya tidak bisa sehebat itu mengeksplorasi dan merangkai kata. Sebuah pengakuan: ada beberapa puisinya yang harus dua tiga kali saya resapi. Mungkin saya belum paham konteks, atau ya… jiwa tua saya memang tidak sanggup mengurai rangkaian kata yang kental manis sekali itu…. (salahkan jiwa tua! :D). Ada juga yang membuat saya lega. Ternyata Mario juga membuat sebuah puisi sepanjang satu baris.

The Scientist, halaman 5

Ada juga puisi yang panjangnya tiga baris. Bolehlah saya mengusap-usap buku puisi sendiri. Ada jugalah yang super pendek gitu (walau tidak terjamin keindahannya :D). Yang penting, saya tidak merasa sendirian.

Jadi, setelah membaca buku ini, ada tiga pilihan yang muncul di benak:

  1. Belajar cara menulis puisi yang indah dan kental seperti itu,
  2. Menerima dengan ikhlas kesanggupan saya untuk menulis dan menginterpretasi puisi-puisi yang lebih sederhana.
  3. Berhenti menulis puisi dan gantung pena, saking mindernya.

Ha ha ha…Jangan sampai pilih yang nomor tiga, sih ya…

Karya seni tidak ada salah benar. Percaya saja, setiap tulisan akan menemukan pembacanya sendiri, selama ia dikeluarkan dari tempat persembunyiannya dan hadir di tempat yang terbaca.

Salut buat Mario 🙂

You may also like