14 Hari

Saya membuka kalimat pertama tulisan ini pada tanggal 17 Maret 2020. Lalu dicicil, karena ada beberapa tulisan dan pekerjaan rumah lain yang menyalip. Salah satunya, hal nyata, dari hal yang mau saya ceritakan ini: membimbing anak belajar online. Untung Abu-nya ada di rumah juga.

 

Saya teringat candaan di beberapa grup alumni, beberapa tahun yang lalu. Lupa kalimat tepatnya, tapi lebih kurang begini:

“Saya memilih menyekolahkan anak daripada homeschooling, supaya nanti dia punya tempat untuk reunian”

Lebih kurang begitu kalimatnya. Saya senyum sendiri waktu membaca itu. Karena, saat itulah mulai marak reuni SD, SMP, SMA, Universitas dan komunitas-komunitas lainnya, yang terbungkus macam-macam event. Reunian itu sendiri (reuni akbar, reuni angkatan, reuni jurusan, reuni hati… eeaaa!), buka bersama, halal bi halal, ngaji bareng, gowes bareng, sekadar meet up dan lain-lain.

Pada saat itu jugalah, anak saya akan lulus TK. Saya dan suami lagi getol-getolnya berdialog tentang jenjang sekolah dasar, yang makin ke sini, makin pelik pemilihannya. Pilihan sekolah banyak, biaya bervariasi, keunggulan dan kelemahannya bervariasi juga. Saya dan Abunya belum melibatkan si anak untuk memilih. Baru  pembahasan di antara kami berdua dengan  menyortir pilihan, bermodal pemikiran: Biaya SPP yang kami mampu dan mau kami bayar, kemudian melihat “keunikan” si bocah, lalu kemampuan antar jemput, dan tipe sekolah yang “menyenangkan” untuk anak-anak.

Belum kelar kita membahas ini di belakangnya, suatu  hari tetiba anak TK itu menyeletuk:

“Bu, gimana kalau Ibu aja yang bikin sekolah di rumah? Ibu jadi guru SD, nanti Abu jadi guru SMP”

Kok dia kayak yang tahu, bahwa homeschooling juga ada dalam pemikiran kami, ya? Homeschooling terbersit, selain karena pusing memilih sekolah, kami juga terbersit rasa ingin membimbing sendiri (cie,.. gegabah:D). Siang hari, sepulang dari TK dia tidak bisa tidur siang dan tetap aktif. Makanya, banyak juga kegiatan yang dilakukan di rumah selepas sekolah, sampai dia tidur malam. Rasanya, tergoda untuk beli buku sesuai kurikulum SD, lalu mengajarinya setiap hari. Nanti kelas 6 tinggal Ujian Persamaan. Begitu pikiran pendek kami saat itu. 😀

Setelah mempertimbangkan ini dan itu, kami memutuskan untuk mencoret homeschooling terlebih dahulu. Kenapa?

Alasan yang paling utama, adalah karena dia masih sendiri. Tidak punya adik dan kakak, dan bukan tidak mungkin memang akan jadi anak tunggal. Dia harus belajar berteman. Karena, biar pun kami sudah sering berperan menjadi  temannya (Berargumentasi saat membahas sesuatu, sampai berebut remote TV juga kami lakukan, lho! Ortu Vs Anak), tetapi tetap saja problem solving-nya akan berbeda, jika menghadapi teman sendiri. Dan pada batasan waktu tertentu, peran kami sebagai teman ya harus dihentikan, dan tetap berperan menjadi orang tua. Intinya: Dia perlu belajar berteman.

Kedua, saya belum berani berkomitmen 100% akan bisa mendampinginya 24/7 dalam bidang akademik. Walau bisa dipelajari sambil jalan, tapi energi saya rasanya tidak cukup besar untuk itu. Bisa-bisa, disaat tertentu, saya jenuh dan menjadi ibu yang tidak “seimbang” dan bakal sering “mengaum” he he he..

Berkonsultasi juga dengan seorang kawan psikolog yang kenal betul dengan kami, dia setuju dan bilang bahwa anak kami tetap perlu sekolah untuk berteman, tetapi pengawasan dan pengayaan lainnya bisa dia dapatkan di rumah (seperti yang selama ini kami lakukan, diluar jam sekolah: bikin komik, baca buku, nonton film bareng, bikin sesuatu dari barang bekas, bikin permainan-permainan karangan sendiri dll ). Yah lagipula, dengan dia pergi sekolah… ibu juga bisa melakukan “her own things” yang selalu batal dilakukan karena biasanya, di ujung hari kami capek bersama. He he he…

Baiklah, homeschooling coret. Cari sekolah!

Mau menyekolahkan anak di sekolah yang seperti apa? Saya dikasih syarat utama oleh Abu-nya:  yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumah, mengingat kami sendiri yang akan antar jemput, dan biar anak tidak terburu-buru berangkat sekolah, dan capek di jalan. Ini masa peralihan dari TK ke SD, katanya.

Setelah bikin daftar, kami survei ke 5 sekolah dalam daftar shortlist. Salah satu, yang kami tertarik, malah yang paling jauh dari rumah. Tapiii harus dicoret, terasa tidak rasional.

Akhirnya, Alhamdulillah, sekolah yang terdekat memang sepertinya sekolah yang sesuai dengan kami dan anak kami. Tidak kaku, dan menurut kami banyak cara belajar yang menarik di sana.

Jadi begitulah, motivasi utama kami menyekolahkan anak, agar dia punya teman, bisa bersosialisasi dan menemui orang dengan karakter yang berbeda-beda (Jangan lupa juga, seperti lelucon di atas tadi: Biar pas sudah besar, dia juga punya tempat reuni!! LOL!!)

Begitulah, di tahun ketiga ini, dia bersekolah dan saya merasakan perkembangannya pelan-pelan. Perubahan terbesar tentang berkawan, terasa di tahun ketiga ini. He seems like having fun. Yang dibahasnya sepulang sekolah sepertinya selalu seru. Termasuk mengarang-ngarang permainan baru bersama teman, cicip mencicip makanan, “bikin film” ala ala. Banyak teman baru disebut, beberapa teman lama juga ikut. Ini yang kami maksud. Hal-hal di luar akademis yang belum tentu dia dapatkan di rumahnya, sebagai anak tunggal.

Dia masih dapatkan hak-nya dari kami di rumah: main sama anak tetangga kalau memang pas waktunya, didampingi bikin pekerjaan rumah, kadang mereview pelajaran, dan bebas curhat sama orang tuanya. Kalau mau PTS dan PAS, saya dan abunya cukup berkomitmen untuk membuat soal-soal latihan.

 

Ketika Pandemi Global Virus Korona mengancam.

Pada akhirnya, seperti sekolah-sekolah lainnya, terhitung tanggal 16 Maret 2020, kegiatan belajar mengajar di sekolah anak saya dilakukan secara daring juga. Sementara, ditetapkan sekitar 14 Hari. Sebagai orang dewasa yang memiliki anak, memikirkan Virus Korona ini, tentunya cemas dan khawatir. Ekonomi menjadi tidak pasti, dan kesehatan keluarga juga terancam.

Tetapi, di dalam rumah… tidak ada yang berubah tentang “Kami”. Kami yang dulu punya niat homeschooling, kami yang memang berkomitmen untuk membesarkan anak bersama, kami yang adalah team.

OH TENTU! Kami yang sesekali berantem juga! :). Tapi selalu saya bilang sama anak. Kalau Ibu atau Abu sedang marah, ya terima saja. Kalau anak sedang nyebelin, ya kami terima jugalah. Ada maaf, ada solusi, ada pembahasan. Karena tidak ada yang paling baik dalam menerima ketidaksempurnaan satu sama lain, selain “KITA”.

Oh ya… saya jadi teringat peristiwa beberapa bulan yang lalu, ketika ada gejolak berkenaan dengan kebijakan sekolah meliburkan anak-anak karena ada perbaikan jalan. Di sanalah saya sadar, bahwa sudut pandang orang berbeda. Motivasi menyekolahkan anak juga berbeda. Memilih sekolah pun dengan sudut pandang berbeda.

Saat saya memberitahu pengumuman libur  perbaikan jalan dengan muka ceria pada anak dan anak saya bersorak dapat libur seminggu (walau tetap disertai tugas-tugas untuk dikerjakan di rumah), beberapa orang tua justru protes. Mungkin karena sebagian kerja di kantor hingga anaknya tidak ada yang menjaga, mungkin karena merasa anak-anak tidak mendapatkan haknya belajar, sebagian lagi merasa materi terlalu padat sementara Kegiatan Belajar Mengajar terlalu singkat jika harus libur. Sementara kami senang bahwa anak kami akan punya waktu bercengkerama (walau tahu juga bakal rempong berat!), bermain dan (okelah)… belajar di rumah. Jadi, keadaan setiap rumah tangga, ya berbeda.

Nah sekarang bagaimana saat ada pandemi begini? Seakan Allah yang menyuruh, dan kita tidak bisa protes.

Saya dan suami, tidak menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kami 100% pada sekolah. Orang tua dan guru, saling melengkapi. Saya juga punya tanggung jawab mendidik dari rumah. Bahkan saya juga sering membayangkan, betapa jasa para guru itu mulia luar biasa. Mereka juga punya anak dan keluarga, namun masih berkenan menjalankan profesi di mana ia harus mendidik dan mengawasi lebih dari satu anak orang lain. Anak kita. Kami selalu berusaha melihat dari sisi itu.

Jadi saat sekolah diliburkan, kami seperti melakukan hal yang sama, seperti beberapa tahun sebelumnya. Bahkan berterima kasih sebesar-besarnya, bahwa para guru tetap memberikan pelajaran secara daring. Anak-anak juga mendapatkan pengetahuan belajar dengan cara lain. Online learning. Ya… risikonya Ibu harus merelakan telepon genggamnya disabotase, karena sampai saat ini anak belum diperbolehkan punya telepon genggam sendiri.

Kocak sekali saat membaca chat mereka. Ah anak-anak kelas tiga ternyata anak yang sudah hampir besar, dan tiba-tiba terasa sekali bahwa waktu mengasuh anak ternyata singkat.

Saya sempat “diusir” keluar kamar, waktu empat orang dari mereka (termasuk anak saya) melakukan video call di whatsapp saat “istirahat”. Saya menurut dan langsung keluar kamar, walaupun pasti akan menanyakan pada anak, apa saja yang mereka bicarakan setelah mereka selesai. Dan anak sudah biasa bebas bercerita apa saja.

Karena rumah kami kecil, dari kamar sebelah terdengar suara anak saya tergelak-gelak. Ah… dia dan 3 orang kawannya terdengar happy.

Dia berkomunikasi seru dengan temannya, itu yang paling penting.

 

Sebagian besar tulisan ini telah selesai pada hari ketiga atau empat anak kita belajar di rumah. Namun, berhubung Mbak asisten harus diliburkan berkenaan dengan social distancing (dia bekerja pulang pergi setiap harinya), maka saya juga dipaksa jaga jarak dengan laptop demi menggantikan sebagian kerjaan Mbak-nya. Tentu, kerjasama dengan suami :D. Telepon genggam saya pun setengah hari dikuasai anak untuk melakukan tugas dari sekolah. Tidak telat kan ya, mengucapkan ini pada semua dan pada saya sendiri, saat hati cemas di masa pandemi ini:

Selamat belajar di rumah! Ini waktu langka yang dengan mudah diberikan-Nya. Digunakan saja… walau pusing, “rempong”, rumah berantakan dan seringkali perlu “mengaum”. Karena bisa jadi, saat kita semakin tua nanti, kita yang malah ingin memutar waktu karena merindukan anak ada di rumah setiap hari.

(Ah Si Ibu cengeng ini… menulis ini saja, mata ikut basah :p)

 

Semoga semua dilindungi Allah Swt, dan bisa melalui pandemi ini dengan sehat jiwa raga. Aamiin…

(Foto mainan diambil oleh anak saat roleplaying, di bulan September 2018)

You may also like