#dirumahaja: Cerita pun Dimulai

Sejujurnya, outline untuk tulisan ini, acak-acakan banget sampai akhirnya tidak ada outline. Kenapa coba? Iya, karena saya tidak tahu harus mulai dari mana, dan mau ambil dari sudut pandang mana. Itu sepertinya salah satu kelebihan yang akhirnya jadi kekurangan buat penulis, apalagi yang seperti saya. Penulis biasanya punya beberapa cara untuk memulai, beberapa cara untuk bercerita, beberapa opsi ending, panjang pula yang bisa ditulis (yang efektif mau pun tidak efektif ;p). Akhirnya, tenggat waktu lah yang membuatnya harus memutuskan mulai menulis, dan berhenti mengotak-atik tulisannya. Yang gawat adalah, bila ada tulisan yang tenggat waktunya ditentukan penulisnya sendiri, dan dia santuy: bakal mundur terus (Balik badan samperin cermin :p)

Akhir-akhir ini, rasanya hidup berjalan dengan cepat. Iya enggak sih? Kamu merasa begitu juga, atau saya saja? Kata saya gitu banget. Dan, si virus korona telah berhasil mengangkangi dunia ini, dan membuatnya berputar lebih cepat lagi ! Jadi, perasaan bisa berubah dalam hitungan jam. Ide bisa berubah, bisa bertambah, bisa basi dalam waktu singkat juga. Banyak hal berkecamuk dalam benak.

Sebelum COVID-19 dan Saat COVID-19

Jangan-jangan, manusia dunia yang hidup di saat ini (Yes, 2020) mulai mengategorikan hidupnya menjadi dua masa: Sebelum COVID-19 dan Saat COVID-19. Karena tatanan hidup manusia dunia, terasa berubah. Bahkan, negara-negara maju di dunia pun belum bisa berhasil masuk ke era: Sesudah COVID-19.

“Masa sih, di Indonesia belum ada kasus sama sekali, sementara negara-negara terdekat sudah melaporkan kasus-kasusnya?” kata lelaki saya beberapa bulan yang lalu. Iya, benarkah Indonesia sebegitu kebalnya? Aamiin, berharap ‘iya’.

Fast forward… Fast forward… Fast forward… dan… Innalillahi… di sinilah kita sekarang. Sedang mengalami, sedang memerangi. Ternyata kita memang tidak kebal, tidak pula sakti. Kita menjadi bagian dunia. Kita sedang mengalami “Saat COVID-19” dan hanya bisa mengenang masa “sebelum COVID-19” melanda dunia. Kelihatan, banyak sekali postingan rindu dan foto-foto throwback merebak. Saya pun belum berani  berandai-andai keadaan di era “Sesudah COVID-19” dan mengintip ada apa di sana? Tetapi doa dan optimisme wajib terus dipupuk.

Kosakata tambahan yang kita tahu saat ini: lockdown, karantina, isolasi, APD, School From Home, Work From Home, dan lain-lain. Yang paling tidak enak adalah kosakata yang diiringi  berita: pasien positif, tenaga medis terpapar, berapa orang yang meninggal (dalam angka). Ya Tuhan, betapa cepatnya…

Memori telepon genggam saya yang terbatas sudah penuh, oleh threads yang beragam. Dari yang sangat informatif, yang mencoba melucu (agar pikiran lebih ringan), yang spiritual menenangkan, hingga hoax. Dari tugas sekolah, video dari keluarga, sampai unduhan untuk bahan tulisan.

Benak juga berjalan terus. Demikian juga perasaan. Sepertinya belum tergolong panik, lebih ke berpikir saja.

Saya diam sejenak. Melambat, mencerna. Supaya outline di benak bisa diurai dengan mudah. Sepertinya bisa, sih. Mengambil setiap sudut pandang, dan setiap folder rasa (‘rasa’ ada folder-nya? Iyain aja ya ! :)).

Buah pikiran dan perasaan memang sederas itu, saat ini. Seraya terus berdoa dan berpikir positif, mengapa tidak dicoba diurai saja?

#dirumahaja berikutnya:

 

You may also like