#dirumahaja: Rasa yang Purba

Tidak ingin terlalu tegang, saya mencoba mengintip hal-hal ringan selama #dirumahaja. Seperti halnya mengamati cucian dan setrikaan, yang didominasi baju tidur, daster, baju rumah dan baju dalam. Membayangkan saya dan lebih banyak orang di luar sana menanggalkan atribut luar rumahnya.

Tapi kemarin-kemarin, saya coba ganti anting-anting di telinga dan pakai lipstick walau di rumah. Seru aja, biar terpakai. Masker perawatan wajah yang bahan dasarnya tanah liat vulkanis di rumah juga nyelip, hampir bulukan dan baru terlihat lagi. Tapi efek hangat masker itu,  masih kalah oleh panasnya uap dari baju-baju yang disetrika 🙂

 

Banyak hal berubah dengan cepat sejak COVID-19 datang. Jadwal, rencana, bahkan ketenangan hidup diguncang oleh makhluk mikroskopis itu. Rencana hidup dari yang penting sekali hingga yang terasa biasa dan mudah dilakukan, jadi tidak mudah. Rasa “pasti”, apalagi. Kepastian, kini adalah hal yang paling tidak pasti.

Beberapa minggu yang lalu, saya dan mungkin juga yang lain, masih menjalani rutinitas:

Bangun tidur, menyiapkan sarapan, mengantar anak. Bahkan untuk saya pribadi, bulan Februari lalu adalah bulan yang paling optimal, sejak memasuki tahun 2020. Saya menyelipkan 2 jadwal baru. Lalu? Sedikit terguncang dan harus menyesuaikan ritme lagi.

Beberapa minggu yang lalu juga, suami sudah mulai pemanasan untuk memulai proyek baru, dan bersiap-siap melepaskan masa rehatnya. Lalu? Terbatas geraknya.

Anak, asyik saja bermain, sekolah, dan lebih asyik saat akhir pekan tiba. Dari Hari Jumat biasanya dia sudah merasa libur. Sudah pula mengajukan permohonan-permohonan kegiatan akhir pekan. Kini? Belajar dari rumah, tidak bisa berharap untuk bebas jalan-jalan di akhir minggu.

Asisten Rumah Tangga seperti biasa datang pagi, pulang siang hari. Kadang ekstra lembur dan pulang sore, kalau saya minta pijat atau jaga anak. Sekarang? Saya minta dia diam di tempatnya, dan saya yang mengerjakan pekerjaannya jauh hari sebelum Lebaran tiba 😀

Kok rasanya tiba-tiba, flow kehidupan jadi tak lagi slow… ngebut, tapi tidak beraturan. Acak-acakan. Frantic. Begini rasanya bila nikmat dicabut.

Selewat, sepertinya kehidupan melambat, karena kita harus #dirumahaja. Tetapi sebetulnya, ada “rusuh rasa”. Memutar otak untuk menjaga imunitas tubuh, memutar menu yang tetiba harus diatur jauh hari karena tidak ingin keluar untuk belanja terlalu sering berkenaan dengan physical distancing. Mencari cara agar tetap dapat penghasilan sambil menyumbang, juga mencari cara  #dirumahaja yang tidak membosankan dan tetap produktif dengan melakukan yang terbaik, juga menyenangkan.

#Dirumahaja, kita jalankan. Sepertinya slow, sepertinya santai, namun semua sektor terpukul. Mungkin tidak langsung, tapi bertahap. Sektor pariwisata, sepertinya yang pertama terdampak. Perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lain harus dibatasi. Tidak ada tempat yang (Insya Allah) paling aman selain di rumah. Setidaknya untuk memutus penyebaran virus.

Yang cepat terpukul akibat Virus Korona ini juga tentu sektor informal. Para pedagang harian, buruh harian. Tapi, ah… saya rasa jika wabah ini bercokol terlalu lama, semua sektor tanpa kecuali, akan terpukul pelan-pelan. Sekarang ini, semua dalam posisi bertahan. Bertahan sekuat tenaga, meminimasi pengeluaran, karena tidak tahu apa yang terjadi esok hari. Apakah masih ada pekerjaan? Proyek apa yang menjadi rezeki kita? Apakah tempat bekerja akan bertahan dan kita aman dari PHK? Iya, semua sektor menjadi berjaga-jaga. Apalagi, baru saja membaca sebuah artikel, bahwa worst scenario-nya pertumbuhan ekonomi di negara kita bisa mencapai -0,4% (minus!).

#Dirumahaja berapa lama ya? Kan kita harus hidup…

Di luar “saat ini”, saya kerap berdiskusi dengan suami, berandai-andai. Jika virus ini bercokol di bumi selama 4 bulan, atau 6 bulan atau 1 tahun lamanya (Jangan, Ya Allah!), kira-kira apa yang akan kita lihat nanti? Perubahan perilaku apa yang terjadi di masyarakat? Sektor apa yang masih bisa hidup? Atau… apakah ada sebentuk bisnis baru yang muncul? Fenomena lain, mungkin?

Di saat ini, yang cukup stabil adalah para pegawai pemerintah. Para petani dan peternak, juga mungkin bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Kebutuhan yang paling utama.

Di antara pikiran-pikiran dan “rusuh rasa” ini, sepertinya ada pesan-pesan semesta yang kerap terlintas di benak.

“Bumi sedang mencari keseimbangannya”

“Mungkin manusia memang sudah berlebih-lebihan”

“Mungkin sebagian dari kita kurang bersyukur”

“Ini makhluk mikroskopis, tapi bisa merusak agenda-agenda besar dunia”

“Lihat, saat semua tidak keluar rumah, polusi udara berkurang”

Quality time dengan keluarga yang selama ini jarang didapatkan”

“Ini saat yang tepat untuk berbagi dan peduli pada sesama”

Dan masih banyak lagi pesan semesta yang berseliweran, dan tinggal kita tangkap saja.

Di balik semua itu, saya rasa, sesungguhnya kita sedang diperkenalkan kembali dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar. Menyimak dengan sepenuh hati rasa-rasa yang “purba”. Rasa sejak kita dilahirkan.

Yang pertama kita dengar adalah suara adzan Ayah di telinga, suara lembut Ibu, pelukan hangat keluarga. Kebutuhan akan makanan yang membuat kita bisa berjalan, berlari, bertumbuh besar. Rasa sehat dan bugar jiwa raga untuk bertahan hidup. Baju yang sudah kita punya. Atap yang melindungi. Bahkan kita diperkenalkan kembali dengan… cara mencuci tangan.

Bertahan #dirumahaja, “dipaksa” beraktivitas dengan apa yang sudah ada di dalamnya, tersadar bahwa benda yang kita punya sesungguhnya sudah cukup. Memang harus cukup.

Lalu, kemarin –kemarin sebelum si makhluk mikroskopis itu tiba, “rasa-rasa purba” itu sering kita istirahatkan dimana?

Berharap pelajaran besar ini membawa kebaikan bagi kita. Semoga setelah melewati ini (bahkan di detik ini juga), kita memelihara “rasa-rasa purba” yang sesungguhnya sudah bersemayam sejak lahir, menjadi lebih bersyukur dan senantiasa merasa cukup.

 

 

 

You may also like