‘Menengok’ Rak Buku

Ini cerita di balik layar unggahan 17 buku, selama bulan Mei 2021 lalu.

Awalnya?

Awalnya gara-gara ketinggalan mengucapkan Hari Buku Internasional (jujur banget ya!). Tapi memang fenomena juga bahwa sejak punya sosial media, rasanya jadi begitu banyak hari yang dirayakan. Kadang, dekat-dekat pula waktunya. Katakanlah yang sudah umum diketahui seperti Hari Kartini, Hari Bumi, Hari Buku Internasional, Hari Pendidikan Nasional, Hari Buku Nasional, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Lahir Pancasila, satu sama lain peringatannya berjarak dekat.

Belum lagi hari-hari lainnya yang selama ini belum familier. Silakan saja sebut sebuah tema, kemungkinan akan ditemukan “Hari”-nya. Saat zaman non-sosmed dulu, kalau tidak ada di kalender, ya berarti tidak wajib tahu :D. Enggak dihukum kalau tidak tahu.

Tidak apa-apa bila lupa sebuah hari peringatan. Tetapi untuk buku, tidak enak kalau saya melewatkan dua-duanya. Karena masih ada Hari Buku Nasional, penghargaan saya terhadap buku, dirapel saja sekalian. Muncul ide mengunggah 17 buku berbahasa Indonesia di rumah, yang sudah dibaca. Kenapa harus 17? Ah, hanya karena Hari Buku Nasional jatuh di tanggal 17 Mei saja. Dan 17 adalah jumlah buku yang sanggup saya unggah, karena sudah banyak lupa isinya, juga mengingat kesibukan emak-emak di bulan Ramadan dan persiapan Lebaran (13 Mei 2021). Pokoknya, saya berupaya agar akhir Mei, sudah diunggah semua.

(Psst…merayakan Harbuknas adalah setengah alasan, setengah lagi karena saya memang mau “menengok” rak buku di atas juga ;p mengingat ada kondisi tumpukan buku di samping tempat tidur dan harus segera naik ke rak atas)

Naik Tangga

Rumah saya tidak luas. Jadi penyimpanan barang kebanyakan vertikal, termasuk rak penyimpanan buku yang menyatu dengan meja kerja. Saya juga harus realistis dalam jumlah barang (apa pun di rumah). Makanya, pernah ada kegiatan menyortir di tahun 2018. Saya harus melepaskan beberapa hal, termasuk beberapa dus buku, agar mereka dan kami sama-sama lebih lega bernapas.

Hari itu, saya naik tangga. Oh ya, itu yang mau saya ceritakan. Buku-buku yang mudah dijangkau tanpa tangga, adalah yang belum selesai dibaca, mau dibaca, belum dibuka bungkusnya, buku-buku yang hampir setiap hari dibaca, atau buku-buku referensi (kalaupun agak sulit dijangkau, masih bisa naik kursi). Sementara buku-buku yang sudah dibaca, disimpan di atasnya lagi, dan harus menggunakan tangga agar leluasa saat menyimpan dan merapikannya. Sekilas terlihat tidak banyak atau mungkin juga memang tidak sebanyak buku orang lain. Tapi rak buku itu dua lapis. Deretan dalam (tidak terlihat) dan deretan luar. Karena tempat terbatas, buku-buku suami mengalah, di dalam dus, setelah dua kali pindah lokasi penyimpanan. Itu juga karena memang jarang dibaca ulang. Jadi yang ada di rak atas, adalah buku-buku saya 😀

Kembali ke cerita: setelah naik tangga, saya mulai menelusuri buku-buku lama sambil menimbang-nimbang 17 buku mana yang mau saya unggah.

Ternyata kegiatan ini berkesan. Rasanya sama seperti membuka kenangan lama.

Wah buku ini tea!

Eh, iya saya punya ini.

Kalau yang ini tentang apa, ya?

Agak bingung memilih 17 buku yang akan saya unggah. (Pastinya kalau mau mengunggah tulisan, ya harus tahu apa yang mau ditulis kan?) Akhirnya, saya menurunkan  lebih dari 17 buku (agar ada cadangan). Saya cenderung memilih kumpulan cerpen daripada novel, agar mudah “memindai” dan mengingat kembali, hingga mudah menuliskan.

Berusaha tidak pilih kasih, tidak mengecilkan buku dan penulis mana pun. Saya hanya ingin merayakan Hari Buku Nasional lewat 17 buku yang ada di rumah sebagai perwakilan. Berusaha yang sudah pernah diulas dan diunggah, tidak dipilih lagi.

Ternyata, menyenangkan “menengok” kembali isi sebuah buku beserta kenangan khususnya. Misalnya, bagaimana dan kapan didapatnya.

Akhirnya?

Selesai juga unggahan acak 17 buku berbahasa Indonesia yang pernah saya baca. Selama prosesnya, banyak improvisasi. Dari awalnya mau selesai 17 Mei, tapi saya undur ke 31 Mei, karena lebaran. Terjadi juga perubahan susunan unggahan. Yang mau diunggah duluan jadi diundur atau digantikan, karena saya masih belum dapat kontennya (biasanya terjadi karena lupa lagi isi buku tersebut). Ini terjadi diunggahan terakhir. Si Juki & Mang Awung, sesungguhnya buku milik anak saya. Sama sekali bukan pilihan, bukan juga cadangan. Ia hanya kebetulan tergeletak di nakas, setelah tamat baca berdua dengan anak. Tiba-tiba teringat genre komik belum ada . Ia pun akhirnya menjadi penutup, karena menarik untuk diunggah. Dengan ringan hati, yang lain batal dulu.

Hikmah bagi saya sendiri:

  • Buku-buku ini jadi ditengokin lagi, dilihat lagi, dibuka-buka lagi, dibaca lagi (walau sekilas), setelah lama tak terjamah.
  • Bisa mendapat sudut pandang lain saat membaca sebuah buku untuk kedua kalinya.
  • Meresapi betapa banyaknya penulis Indonesia dan beragamnya buku berbahasa Indonesia.
  • Lalu muncul keinginan punya spot khusus untuk rak buku di tempat yang lega (belum terbayang dimananya). Terjangkau oleh tangan, tidak harus naik tangga. Tapi ini belum akan terwujud dalam waktu dekat.

Hikmah lainnya? Archieve blog bulan Mei 2021, menjadi archieve dengan unggahan terbanyak dalam satu bulan. 😀

Mudah-mudahan unggahan-unggahan ringan apa pun di blog ini, tetap ada manfaatnya.

Yang baik diambil, yang tidak baik acuhkan saja 🙂

You may also like