Lelucon

Saya mengunggah video “stand up comedy” anak saya 5 tahun lalu, pada tanggal 26 Juni 2020 kemarin di Instagram. Baru ingat, full version-nya belum pernah diunggah di mana pun. Seru aja kilas balik ke salah satu cerita yang perlu keluarga kami kenang. Si anaknya juga diingatkan kembali. Dia bareng kami ketawa-ketawa, menyadari bahwa dia pernah sekecil itu.

Ada yang nanya: Awalnya gimana, kok dia jadi stand up comedy waktu itu?

Jawaban simpelnya: dari dulu ibunya senang bercanda. Abunya juga. Tapi, trigger-nya di tahun 2014, saat saya dan suami sangat rajin menonton Stand Up Comedy Indonesia 4 (SUCI 4). Kami berdua punya kesepakatan dengan anak yang saat itu berusia 4,5 tahun untuk menguasai TV di rumah setiap SUCI 4 tayang. Anak harus bersabar menunggu sampai acara habis. Pas sekali buat latihan si anak tunggal belajar mengalah, sabar dan berbagi, walau bukan dengan adik atau kakak. Ortu juga manusia, enggak mau nonton kartun terus. Ha ha ha…

Saya dan Abunya, betul-betul menyimak SUCI 4 setiap tayang. Kalau ada yang terlewat, kami tonton siaran ulangannya. Sepertinya diam-diam atau pun sambil mondar-mandir ambil mainan, anak kami menyimak. Tentu bukan menyimak bit dari para komik yang cukup pelik buat usianya . Sepertinya dia menyimak apa yang dilakukan Abu dan Ibunya: menonton orang melontarkan lelucon, lalu tertawa.

Suatu hari, saat sedang berjalan pagi menuju tukang bubur ayam, dia tiba-tiba berkata,

“Bu, kita bikin lelucon, yuk?”

Saya dan Abunya saling memandang.

“Maksudnya gimana?”

“Ya kita gantian bikin cerita lucu”

Dor!!!

Sehari itu, kami dipaksa putar otak. Dari membuat bit orisinal sederhana yang dia mengerti, sampai terpaksa mengeluarkan lelucon jadul dari zaman kami dulu.

Sapi apa yang nempel di dinding? Sapiderman

 Apel apa yang warna-warni? Apelangi-pelangi, alangkah indahmu…

Telor apa yang bisa dipakai jalan? Telortoar

Ha… ha… itu lumayan banget kan, buat anak 4,5 tahun? Beberapa lelucon lama zaman kita itu berhasil bikin dia ketawa. Eh padahal itu bukan lelucon ya? Lebih ke tebak-tebakan plesetan.

Justru, si anak lah yang lebih banyak mengeluarkan lelucon, hasil pikirannya sendiri. Saat giliran salah satu dari kami melontarkan joke, dia menyimak layaknya juri, dan menentukan lucu tidaknya joke kami. Saat memang lucu, dia ketawa dan mengacungkan jempol. Saat jokes kami kurang lucu, dia tidak sungkan berkomentar:

“Enggak lucu, ah”

“Kurang”

“Coba yang lain”

Hei, bocah! Seenaknya ajaaa!

Itu berlangsung beberapa waktu. Bukan hanya hari itu. Tidak hanya saat jalan pagi, tapi di rumah juga. Saya baru ngeh… sesungguhnya dia tengah meniru proses yang terjadi di acara yang kami tonton. Betul ternyata istilah: children see, children do. Mereka peniru ulung.

Di saat yang kurang lebih sama, di PAUD nya, sedang dimulai latihan persiapan pentas seni. Sama seperti yang lainnya, ada beberapa lagu yang akan dinyanyikan bersama-sama, dan tarian Kuda Lumping. Dia ogah-ogahan setiap latihan.

Di rumah, dia bilang bahwa dia tidak mau menari dan menyanyi. Dia mau stand up comedy saja. Awalnya saya anggap dia tidak serius saat melontarkan pernyataan itu, karena kemungkinan terpengaruh suasana rumah yang memang lagi musimnya main lelucon. Tapi, beberapa kali latihan, memang seperti kurang semangat. Akhirnya, saya kemukakan keinginannya stand up comedy, sambil menyuruhnya memberi contoh langsung pada bu guru.

Alhamdulillah Bu Guru menyetujui. Sebenarnya saya tidak enak juga, karena ini di luar program. Perasaan lebih enak menyanyi dan menari bersama, daripada stand up comedy. Dia kan jadi harus menghapalkan bit-nya sendiri.

Tetapi satu sisi, bagus juga. Berarti anak sudah paham apa yang dia inginkan, dan sanggup mengkomunikasikannya. Dia juga tahu, apa yang menurutnya bisa dia lakukan lebih baik. Bukankah semua anak punya keunikannya masing-masing? (Ah, bukan hanya anak. Setiap manusia yang dewasa sekali pun, sudah diberi “chip” masing-masing oleh-Nya, bukan?) Di satu hal dia baik, di banyak hal lain, dia tidak sebaik anak-anak lain.

Bagi saya, yang luar biasa adalah, guru-guru mengerti dan memfasilitasi. Lagipula, daripada dia “ngagokan” (bikin kagok) teman-teman yang sudah sekuat tenaga latihan nari dan nyanyi, lebih baik, diganti saja jangan dipaksakan.

Di rumah, kami tulis kembali bit-bit yang saat main-main sebelumnya saling kami lontarkan, terutama yang murni darinya. Kami rapikan lagi, supaya enak menyajikan punchline-nya. (Duh mohon maaf kepada para pakar stand up comedy. Kedua orang tua anak saya sotoy gini ya… tapi kami memang menyimak, dan suka!)

Terus, supaya saat tampil dia ingat urutannya, saya kasih petunjuk berupa pointer sesuai umurnya.

Ada 5 bit yang bisa dia sajikan dalam waktu sekitar 4-5 menit.

Pas banget 3 bit pertama, bisa saya bantu kategorikan keywordnya sesuai abjad.

A = Abu (tema)

B = Barney

C = Cicak

Nah dua lagi, tinggal diurutkan: tema Matahari dan terakhir tema Optimus. Kami simpan Optimus di akhir karena sepertinya paling nembak, buat penutup. Semoga dia ingat.

Hari H datang, saya agak cemas. Sementara ayah dan anak santuy saja. Benak saya berkecamuk. Apakah dia akan mogok pada saat harus naik panggung? Kebayang kan anak-anak suka tetiba mogok gitu? Karena kalau mogok, berarti dia akan jadi satu-satunya anak yang tidak tampil Pensi. Lalu, saat kami turun dari mobil, saya sedikit sedih. Teman-temannya yang lain sudah pakai baju seragam menari. Anak kami? Pakai jeans dan kaos yang harusnya dipakai di akhir acara. Duh… rasanya campur aduk. Berbeda itu tidak selalu mudah, dan saya orang tua biasa saja yang ingin anaknya bisa seperti anak-anak yang menerima program dari guru. Tapi ya, harus kami terima kenyatannya.

Selama acara, anak santai sekali menunggu giliran di bangkunya. Tidak terlihat gelisah. Senyam senyum kalau kita bertemu pandang.

Santuy… Sumber foto: koleksi pribadi

Saat gilirannya tampil, saya sudah lega saat dia sudah melangkah menuju panggung. Melangkah saja, sudah sangat cukup!  Alhamdulillah, cukup lancar juga dia dalam menyampaikan bit-bit sesuai urutan. Ujung mata saya basah. Saya bersyukur bahwa dia mampu mewujudkan keinginannya sendiri, berterima kasih pada ibu guru yang bisa membantu mencairkan suasana, dan dalam hati mengucap syukur atas kehadiran para orang tua lain yang mengalirkan energi positif terhadap semua anak yang tampil hari itu.

Positive vibes yang mencairkan suasana. Sumber: PAUD Visihati

Kami pulang dengan lega, dan penuh syukur.

Saya berbagi cerita ini, berharap bisa berbagi sudut pandang lain. Bahwa berbeda itu tidak mudah, tapi tidak apa-apa. Bahwa di balik panggung dan tepuk tangan, ada cerita panjang yang orang lain tidak pernah tahu. Ada kegelisahan, ketegangan, juga kekecewaan. Ini juga berlaku untuk banyak hal dalam hidup. Lihat dulu di belakang ada apa, sebelum menyimpulkan.

Dan seperti yang sudah saya bilang, saat ini dia tidak pernah “open mic” dan ber-stand up comedy lagi. Story telling-nya berubah wujud ke film, vlog dan gambar-gambar.  Benang merah dari semuanya yang masih terjaga hingga saat ini adalah: dia dan orang tuanya, masih sangat menikmati lelucon, terutama dengan yang sudah saling mengerti, biar enggak salah paham dan tidak krik… krik… krik… 😀

 

Akhir acara yang melegakan, dan untuk joged bebas, asik aja! Sumber foto: PAUD Visihati

 

Be yourself! Kun Anta!

 

 

PS:

Setahun kemudian, saat di TK B, dia  ikut drama musikal Si Kodok.  Wah… kami bahagia karena dia sudah mau menyanyi dan menari bersama, sambil berdialog. Dia banget!

Oh ya, kabar baik buat yang suka humor… ini salah satunya

https://www.parenting.co.id/usia-sekolah/4-manfaat-humor-bagi-perkembangan-kognitif-anak-

You may also like