Kisah Si Mbladus

Hellow Mellow! He he he… sudah enggak tahu lagi nama dari perasaaan yang sedang saya rasakan ini. Bahagia, tapi juga sedih. Ini persis seperti yang saya alami saat anak lulus TK dan mau masuk SD enam tahun lalu. Tetiba semua hal berkelebatan di benak. Bahkan gambaran saat mengantarnya saat masuk SD pun masih begitu jelas. Termasuk pertengkaran pertamanya dengan teman, field trip pertamanya juga saya ingat. Tempat pensil pertamanya juga. He he he…

Bulan Juni 2023 menandai akhir dari enam tahun masa sekolah dasar anak kami. Rasa syukur kami dalam, karena rasanya apa yang kami niatkan enam tahun lalu, bisa dikatakan sesuai dengan hasilnya. Sejak Mei sih, sesungguhnya saat dia dan teman-temannya perform di sebuah acara sekolah, saya dan suami sudah menganggap itulah hasil yang dia pelajari selama 6 tahun ini.

Iya, angka bukan satu-satunya ukuran kami. Buat kami, apa yang kami lihat dan dengar: tentang caranya berinteraksi, feedback dari teman, dari orang tua temannya, dan guru, seluruhnya menjadi gambaran yang melengkapi akademisnya. Tentu saja masih banyak PR, karena masih banyak poin yang harus dikembangkan. Di beberapa poin, beberapa anak-anak seusianya terlihat sudah lebih dahulu cakap dan dewasa. Tetapi, bukankah orang tua saja waktu seumur hidupnya memang untuk belajar?

Keep Calm, and keep growing. Tenang aja, Bang… even small steps, take you somewhere a little bit further.

Yang paling repot nih: mengurusi rasa. Si Emak ini sudah mulai mellow saat anaknya memasuki bulan-bulan terakhirnya di sekolah dasar, beberapa bulan lalu. Semua yang “dicurigai” sebagai kali terakhir, diam-diam ikut saya simak dan sebagian diabadikan. Kali terakhir pakai baju seragam, hari terakhir PSAJ (Penilaian Sumatif Akhir Jenjang), hari terakhir bagi raport, dan kali terakhir lainnya he he he he…

Belum lagi melihat buku-buku tulis dan barang-barang. Ya, buku-buku dan banyak berkas sudah mulai dibereskan setelah PSAJ hari terakhir dia lewati.

Tapi tunggu… ini nih… lihat tempat pensil “Mbladus” ini (featured image di atas), lumayan nyesss juga ke hati. Tempat pensil pertamanya di kelas 1 bergambar Doraemon (bahan kaleng), lalu di kelas dua dia pakai tempat pensil bergambar Spiderman (soft case). Suatu hari ketika kelas tiga, tempat pensil Spiderman-nya sobek. Karena menurut saya ini adalah hal yang mendesak, saya langsung membeli tempat pensil ketiganya yang bergambar monster lucu ini, seharga dua puluh ribu rupiah. Enggak pakai nyari-nyari lagi, saya pikir yang penting besoknya dia sudah ada tempat pensil buat membawa alat tulisnya ke sekolah. Jadi saya comot saja yang ada di supermarket terdekat saat itu.

Ketika sang waktu telah membuat warna tempat pensil ini pudar dan belel (seingat saya, waktu ia naik kelas lima, dan sudah mulai terlihat tumbuh menjadi ABG), saya pikir tidak ada salahnya saya belikan yang baru. Toh waktu beli Si Mbladus juga memang dalam keadaan emergency, tanpa sempat ia pilih.

Saya: Beli tempat pensil baru mau, Bang?

Dia : Enggak ah, pake ini aja…

Saya: Kenapa? Kan udah belel banget juga warnanya.

Dia: Gapapa… tanggung Bu, nanti aja gantinya kalo udah SMP.

Saya: Emang Abang gapapa gambarnya kayak buat bocil gini?

Dia : Gapapa, lucu…

 

Serius, dia pakai sampai akhirnya lulus. Alhamdulillah, dia se-santuy itu dan dipakai aja Si Mbladus yang motifnya lebih cocok untuk bocah kelas kecil dan warnanya sudah belel itu. Jadi, ketika saat ini akhirnya tiba juga, saya lagi, saya lagi yang mellow. Si Mbladus yang telah bertahan dan menjadi saksi perjalanan kecilnya, bersiap-siap diganti.

Menggantinya, bukan semata-mata mengganti yang lama dengan yang baru, atau mengganti yang belel dengan yang mengkilat. Menggantinya (saat SMP, sesuai targetnya sendiri), seakan menekan tombol dan menyalakan sinyal penanda bahwa kami memasuki fase baru lagi. Anak bayi kami sudah remaja. Terima kasih, sudah menemaninya belajar di sekolah dasar.

Daftar ucapan rasa terima kasih kami panjang sekali. Begitu pun rasa syukur kami atas hal sekecil apa pun.

Memang begitu, ya? Bukan ingar bingar, bukan tepuk tangan membahana yang akan lebih membekas di memori. Lebih teringat pada hal-hal kecil. Saya teringat saat bolak-balik mengantar makan siangnya (karena rumah dekat dengan sekolah) dari kelas1 sampai kelas 3 SD, ingat saat berputar di area antar jemput yang kadang harus dua tiga kali ketika anak belum selesai piket, ingat tas pertamanya, ingat keluhannya, ingat juga cerita-cerita serunya di sekolah (setiap pulang sekolah, perlu sekitar 10 menit bahkan kadang hingga 30 menit untuk mendengarkannya bercerita). Teringat dengan teman-teman yang mana saja ia pertama kali berinteraksi. Ya, saya dan suami seingat itu, dan sesedih itu juga menghadapi perpisahannya dengan sekolah yang sudah 6 tahun menjadi tempatnya bermain, mendapat teman dan belajar. Seperti saya tulis di atas, daftar terima kasih dan syukur kami benar-benar panjang.

Saat anak-anak pertama teman-teman kami rata-rata sudah akhir SMA atau berkuliah, dan anak lelaki kami baru saja lulus SD, kami simak baik-baik dan nikmati perjalanan ini. Termasuk perjalanannya dengan Si Mbladus tadi.

Alhamdulillah…

Keep moving forward, Abang! Enjoy your journey…

.

.

(Ditulis sekitar minggu pertama bulan Juni 2023)

You may also like