Usia

Ashraf Sinclair meninggal dua hari sebelum saya berulang tahun. Saya, termasuk yang larut dalam berita yang menyedihkan itu. Memang duka tidak bisa ditakar. Tetapi, saya punya rasa, dan sanggup membayangkan. Setiap melihat beritanya, saya ikut menangis. Sungguh. Saya jauh lebih mengagumi, setelah aktor tersebut berpulang.

Di rumah tempat saya dibesarkan, ada 3 kisah kematian dengan takaran duka yang berbeda-beda, dengan pesan spiritual yang berbeda pula.

Ayah saya meninggal di usia 59 tahun, tahun 2004. Mengejutkan sekali. Serangan jantung juga. Papa, jatuh di kamar mandi ketika hendak mengambil wudhu untuk sholat Dhuha. Saya ingat sekali rasa terkejut, rasa sakit, hingga adegan yang persis seperti di film-film: ketika saya sampai IGD (karena saya sudah berbeda rumah), mendapati Papa sudah tiada. Saya berjongkok lemas, diajak berdiri oleh suami, lalu dipeluk. “Ada aku, Lie…,” katanya.

Itulah kali pertama saya berhadapan dengan kematian dengan rasa dahsyat. Satu bulan lagi saja, Papa akan berusia 60 tahun, satu bulan lagi saja Mama dan Papa juga akan merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-25. Kedua momen itu tidak tercapai. Rasa terkejut yang menyesakkan  karena dia orang terdekat, dan tidak ada sakit apa-apa sebelumnya. Adik lelaki saya yang sedang berada di Jakarta terkejut. Adik bungsu saya, lebih-lebih terkejutnya. Pagi harinya, masih diantar Papa ke sekolah (SMA). Siangnya Papa sudah tidak ada. Benar-benar menyesakkan. Saya, memegang tasbih dan berkali-kali membaca surat Al-Ikhlas. Tidak ada yang menyuruh. Saya hanya merasa perlu berpegangan. Mungkin di benak saya, Al-Ikhlas adalah surat pendek nan dahsyat, yang paling cocok sebagai bentuk kepasrahan dan kesaksian atas kuasa-Nya. Sungguh, sejak hari itu, saya ingin mendekat pada yang memiliki Papa: Allah SWT. Agar doa saya sampai, agar dengan mendekati-Nya saya juga merasa dekat dengan Papa.

Kemudian, Nenek yang statusnya tinggal di rumah kami, meninggal tahun 2009. Tetap saja berat, walau usianya memang  sudah lanjut. Lebih berat lagi, saat itu saya tengah hamil muda. Beberapa tetangga malah lebih khawatir pada saya, karena kehamilan saya ini juga telah dinanti selama 8 tahun. Beberapa ibu mengingatkan saya agar tidak terlalu bersedih, dan menjaga diri, demi janin di perut saya. Jika dibandingkan, rasanya penerimaan saya lebih baik saat ini, daripada penerimaan saya saat meninggalnya Papa di 2004. Mungkin karena Nenek sudah lama sakit, dan usianya sudah lanjut. Lebih ikhlas, dan torehan lukanya tidak sedalam saat kematian Papa, walau rasa kehilangannya sama saja.

Tahun 2012, kami harus menghadapi kematian sekali lagi. Di rumah kami lagi. Adik lelaki saya, meninggal di usia 33 tahun. Ia sakit. Mulai sakit tahun 2010, sempat sehat, lalu sakit lagi. Ini jauh lebih perih. Statistik dalam benak manusia tidak berlaku. Salah seorang pelayat, adalah seorang kerabat yang berusia 90 tahun. Bayangkan, seorang Nenek berusia 90 tahun, datang untuk melayat adik saya yang baru berusia 33 tahun. Sungguh, usia adalah rahasia-Nya.

Perihnya ditinggal adik pergi, ternyata tiada terperi. Selain ia lelaki baik yang super lucu dan menyenangkan, kami juga dekat. Sangat. Yang saya bayangkan, adalah terjadinya perubahan-perubahan di masa depan yang nampak sepele tapi dalam: Dia tidak akan ada lagi dalam foto keluarga kami. Dia tidak pulang dan berkumpul saat lebaran. Dia bahkan tidak akan kenal uban! (bayangan seperti ini, biasanya diiringi senyum kami). “Soundtrack-soundtrack” untuk mengingatnya juga banyak. Gone Too Soon dari Michael Jackson, 100 Years dari Five for Fighting, dan beberapa lagu lainnya, kerap membuat saya dan adik perempuan saya menangis.

Tuhan sekali lagi memberi pesan, bahwa hanya Ia yang berkuasa atas manusia. Dia yang Maha berkehendak. Tugas kita, hanya menggunakan sebaik-baiknya jatah waktu yang juga tak pernah kita tahu. Bagi saya, di sini jugalah saya tahu: setiap manusia punya “spesial chip” berisi kapasitas dan passion. Tidak mungkin semua orang menjadi presiden, tidak mungkin semua orang akan menjadi dokter. Ada yang menjadi pelukis, menjadi penari, penyanyi, petani. Dan itu harus disyukuri dengan cara dimanfaatkan semaksimal mungkin. Saya bayangkan Allah akan merasa kecewa, bila “chip” pemberian-Nya disia-siakan. Yang penting, jadi apa pun, tetap dalam kebaikan, di koridor-Nya. Begitu kan, ya?

.

Jadi menyaksikan kisah Ashraf Sinclair, saya yang bukan siapa-siapanya sangat mudah ikut terbawa perasaan. Berempati yang sedalam-dalamnya. Apalagi keluarga kami lebih kurang sama. Kami bertiga, anak saya juga akan berusia 10 tahun.

Tidak akan sanggup menakar siapa yang paling berduka, bila saya yang bukan siapa-siapanya saja sudah sesedih ini. Apakah lebih sedih istrinya yang mendampinginya? Anaknya yang kehilangan kasih sayang ayahnya? Orang tua yang melahirkan dan membesarkannya? Adik-adiknya? Sungguh tak bisa ditakar dan tidak bisa dibanding-bandingkan. Sesak. Tapi kita ini bisa apa? Selain saling mendoakan sesama manusia, dan berharap mendapat keberkahan dalam kehidupan ini.

Jadi, terlalu banyak hal yang wajib saya syukuri, daripada saya keluhkan. Saya hari ini sudah dapat jatah 11 tahun lebih tua dari usia adik lelaki saya. Itu pun, saya syukuri sekali.

.

Selain ikut mendoakannya, saya juga mendapat pelajaran dari kisah Almarhum Ashraf Sinclair:

Bukan kuantitas, tapi kualitas.

Lalu, seperti yang juga kerap diingatkan suami saya:

Banyak berbuat baik, meski dalam senyap.

 

So, I remind myself:

Let’s have a life, in which we won’t regret and Allah SWT satisfied.

 

20-27 Februari 2020

You may also like