Merayakan Kebaikan Tuan Sepur (1) : Bandung – Banjar – Pangandaran

Perjalanan perdana keluarga kecil di tahun 2019 terjadi 5-6 Januari kemarin, membuat saya sulit memberi judul untuk ulasannya. Pasalnya, jalan-jalan kemarin itu adalah 30 jam 40 menit yang singkat namun padat.

Dicarilah judul yang bisa merangkum cerita perjalanan Bandung – Banjar yang sedang promo (pulang pergi total hanya Rp. 21.000,- untuk tiga orang), lalu cerita tentang liburan kilat di Pantai Pangandaran, hingga tempat kami menginap yang unik. Kira-kira apa ya?

Kilas Balik

Dalam perjalanan pulang menuju stasiun Bandung, pelan-pelan saya mulai mengetik review dalam benak (karena di kereta api, anak “on” terus, jadi susah nulis beneran). Sempat mendadak sulit mencari judul. Lamunan saya kembali ke tanggal 2 Januari, ketika sebuah info dari suami menjadi penyebab terjadinya perjalanan dadakan ini.

Kami langsung sepakat untuk coba beli tiketnya secara online, untuk keberangkatan akhir minggu terdekat (5 Januari). Alhamdulillah dapat +/- Rp. 21.000,- untuk bertiga, pulang-pergi. Ya, artinya satu kali jalan seorang +/- Rp. 3.500,- untuk perjalanan sekitar empat jam.

Kebetulan, keinginan anak untuk main ke pantai saat libur akhir tahun kemarin juga belum terpenuhi. Jadi Pantai Pangandaran memang tujuannya, walau sebenarnya kereta ini juga berhenti di Stasiun Nagreg, Cibatu, Cipeundeuy dan Tasikmalaya. Ada sensasi tersendiri, terutama bagi suami yang memang senang berburu tiket promo.

Lamunan saya juga kembali ke pertemuan kami dengan Ibu Yani, guru anak kami waktu TK dulu, di Stasiun Bandung, jelang keberangkatan. Kehebohan ala ibu-ibu terjadi. Ternyata kami satu kereta, walau beda gerbong dan beda tujuan akhir. Beliau pergi dengan keluarga sejumlah delapan orang, dan turun di Tasikmalaya. Cukup heboh kami membahas promo tiket kereta. Hampir semua grup whatsapp membagi informasi tentang program promo ini. Saya jadi merasa ini semacam pesta ya… di mana banyak sekali orang merasa “ditraktir” naik kereta api. Baik banget si Tuan Sepur!

Foto 1: Saya dan Ibu Yani (abaikan tulisan ‘winter’ di antara kami. Itu kerjaan bocah :D)

Dua kilas balik itulah yang membisikkan saya judul di atas: “Merayakan Kebaikan Tuan Sepur”. Karena tidak ada cerita berikutnya, kalau tidak ada eforia promo ini. Jadi inilah kisah kebaikan Tuan Sepur yang kami rayakan.

Bandung – Banjar , Terus?

Setelah tiket berhasil dibeli, share berita ke keluarga, barulah muncul pertanyaan-pertanyaan yang sama dari beberapa orang, termasuk dari ibu saya sendiri, yang notabene berdarah Ciamis.

“Dari Banjarnya naik apa? Kan masih 1,5 jam sampai 2 jam lagi ke Pangandarannya?”

Suami saya menyukai sensasi travelling murah dan tentunya aman. Kalau masalah nyaman, itu variabel pertimbangan kami bagi Si Bocah. Suami punya perencanaan yang cukup baik. Setelah pesan tiket, dia browsing. Dari Banjar, pilihannya paling naik bis. Ya, naik apa saja gampang asal sampai ke Pangandaran. Sekalian mengajak anak berpetualang lewat travelling spontan seperti ini. Tapi kalau nanti tidak ada transportasi umum, harus siapkan dana cadangan untuk carter mobil.

Wah, kehilangan sensasi murahnya dong?

Nah, memang soal biaya , akan selalu jadi pembahasan yang sensitif sekaligus relatif, di berbagai hal, tidak hanya tentang travelling. Ya kan?

Mahal-murah itu jadi relatif dan bisa disesuaikan dengan tujuan. Dalam perjalanan kali ini tujuan utamanya yang mana?

Berpetualang naik kereta apinya sama bocah selama 4 jam (8 jam pp) ?

Main di Pantai Pangandarannya?

Tidur di hotelnya?

Kalau tujuan utamanya terpenuhi, maka variabel-variabel lainnya bisa disesuaikan dengan bujet.

Kalau kami, tujuannya memang Naik kereta api dan Pantai Pangandarannya. Kalau tidak dalam memenuhi harapan anak ke pantai, mungkin kami cukup bermalam di Tasikmalaya atau Garut saja, demi naik kereta api.

 

Di Dalam Kereta

Dalam pembicaraan kami bertiga, saya bergumam:

“Kapan ya, Ibu naik kereta api terakhir kali?”

Anak saya jawab

“Waktu ke Singapur itu kan, Bu?”

Dia memikirkan MRT Singapura pada kunjungan kami beberapa bulan yang lalu. Bukan, bukan MRT. Biar fisiknya terasa sama, saya punya kenangan sama Kereta Api Indonesia. Hahaha… iya, sebelum menikah apalagi. Pernah hampir seminggu sekali naik kereta karena mengikuti tahapan tes kerja di Jakarta. Setelah menikah? Tahun 2002, ke Surabaya untuk berbulan madu di Bali. Tahun 2008, sewaktu mengikuti pelatihan di Yogya. Lalu? Wah… serius? tahun 2011?

Seingat saya, itu waktu kami merayakan ulang tahun anak yang ke-1 tidak dengan makan-makan, tapi naik kereta, dari Jakarta ke Bandung, disambung ke kebun binatang. Iya lho… Bulan Juli, 2011. Ya, 7,5  tahun lalu. Sementara, anak terakhir naik  kereta ke Cicalengka bareng TK-nya. Suami, sering ke Jakarta pakai kereta untuk urusan kerja. Ya… saya paling out of date. Ini kayaknya perjalanan bukan buat bocah semata, ya! Buat emaknya juga. Hihihi…

Foto 2: Siap berangkat!

Baiklah, gerbong kereta sekarang jauh lebih bersih, lebih dingin, nyaman,  dan menyenangkan.  Yang pasti, pelayanan jauh lebih profesional. Apalagi yang berbeda dari zaman dulu? Oh ya, rasa nasi gorengnya sekarang berbeda dan dikemas pula … saya rindu nasi gorengnya yang rasanya lebih pas dengan selera saya, disajikan di piring, dengan kopi hitam di gelas kaca. Ya, berasa kayak di warung gitu. Legend banget pokoknya dulu itu! enggak bisa enggak pesan. Cuma ya, bagaimana pun kita harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, toh? Hanya, kalau sekarang kayaknya bisa pindah pesan menu lain, tidak Nasi Goreng yang melegenda itu. 😀

Lalu apa lagi ya? Oh ya… yang berkesan hari itu juga adalah kehadiran anak-anak muda dari komunitas pencinta kereta api. Saya membaca di baju mereka: komunitas Edan Sepur, tapi saya lupa tidak memerhatikan dari cabang mana.

Saya ikut girang memerhatikan mereka naik turun setiap kereta berhenti, lengkap dengan kamera dan tongsisnya. Seru!

Suami saya melirik dan nanya “Kenapa? Pengen ikutan, juga?” (Ha ha ha ha… ketahuan!)

Kegiatan anak? Ya sempat jalan ke gerbong-gerbong lain diantar abunya, ibunya baca buku. Di Tasikmalaya mereka malah sempat turun juga sebentar.

 

Foto 3a-3b: Di dalam gerbong

 

Foto 4: Bocah dan abunya sempat ikut turun sebentar di Tasikmalaya

 

Senang deh, pokoknya naik Tuan Sepur ini. Pulang pergi langsung juga kayaknya seru.

 

Banjar – Pangandaran

Kami sampai tepat waktu. Jam 16.00. Sepakat untuk naik bis yang pertama datang, agar tidak kemalaman sampai ke Pangandaran.

Foto 5: Tiba di Stasiun Banjar

Setelah menanti di warung dekat stasiun, kami diberi tahu saat bis pertama muncul. Sebuah bis berukuran sedang non AC yang sudah penuh! Kami diyakinkan untuk naik, karena katanya banyak yang turun di Banjarsari. Baiklah… (yang penting sampai tujuan dan ekonomis, tidak perlu carter mobil)

Kami bertiga berdiri. Anak saya memaksa ingin berdiri seperti kenek, agar dapat angin katanya. Ia memang cenderung tidak tahan gerah. Tentu kami larang karena berbahaya.

Seorang pemuda, berdiri untuk memberikan tempat duduknya pada saya. Hiksss terharu. Saya lebih terharu (cenderung enggak enak hati), saat mendengar si kenek bertanya pada pemuda itu.

“Naik darimana?”

“Dari Tasik”

“Kenapa berdiri?”

“Kasian Ibu itu” ……… (Iya, sayalah: ‘Si Ibu Itu’)

Terharu, dan secara saya belum mengenal rute bis ini dan daerah apa saja yang dilaluinya, saya enggak ngeh tentang patut tak patutnya seseorang mengalah. Seseorang yang membayar dari Tasik, berarti sudah bayar sedikit lebih mahal dan juga menempuh perjalanan lebih jauh dan lebih dulu dari kami. Tapi pemuda itu mengalah karena dia lelaki (dan muda), dan saya perempuan (ibu-ibu pula). Karena dirinya, saya bisa duduk dan anak saya setengah duduk bertumpu pada saya. Selain mengucapkan langsung padanya, dalam hati saya benar-benar berterima kasih sekali, dan sangat berharap dia segera dapat tempat duduk, atau mungkin segera turun.

Ah! Perjuangan kami ternyata belum berakhir.

Mana Banjarsari? Katanya banyak yang turun? Belum lagi rata-rata bilangnya dekat. Ya!… saya lupa standar dekat untuk tiap orang itu berbeda.

“Dekat, kok!”

“Di depan…”

dan itu….. setengah jam. Hahaha

Foto 6: Mencari angin ke jendela dekat saya,

(namun sesungguhnya ngarep bisa berdiri ngangin kayak bapak kenek yang ada di background foto :p)

 

Foto 7: Dalam Bis Banjar-Pangandaran

Ini diambil setelah akhirnya suami dan penumpang lainnya bisa duduk.

Fotonya tetap miring, karena… terguncang-guncang 😀

Akhirnya turunlah perempuan sebelah saya sambil membisikkan tarifnya dari Tasikmalaya, hingga kita bisa mengira-ngira tarif  Banjar –  Pangandaran.

Bertiga, kami duduk di bangku panjang paling belakang bis. Terguncang, guncang, tapi tertawa-tawa. Sungguh terasa sekali beradunya roda dan ayunan badan bis di pinggang saya, terutama ketika ada jalan berlubang  😀 😀 😀

Alhamdulillah , anak ternyata mampu beradaptasi dengan rasa gerah dan sempit. Awalnya saja, maksa berdiri dekat pintu tadi. Tapi akhirnya setelah mencerna larangan kami, dia bisa cekikikan selama perjalanan (Kalau soal guncangan dan belokan-belokan bis, saya rasa dia memang senang. Karena dia juga suka naik roller coaster berukuran sedang). Kami beri dia reward dengan pujian.

“Semua orang kalau dikasih enak, akan menjalani dengan mudah dan pasti happy. Tapi, lebih hebat, orang yang dikasih rasa kurang nyaman, dan dia tetep happy. Kamu hebat !”

Yang tentunya keren juga adalah anak muda yang tadi memberikan tempat duduknya buat saya. Saya lega, dia juga akhirnya mendapat tempat duduk  di depan.

Sampai di terminal, semua penumpang turun, dan… pengalaman berikutnya menanti. Ada kisah ‘prajurit kecil’, ada kisah penginapan yang mengesankan (keunikan yang diulas di beberapa aplikasi pemesanan hotel, ternyata bukan isapan jempol belaka!)

 

Nantikan di unggahan berikutnya…Ayo lempengin pinggang dulu! Ha ha ha…

(Silakan klik sambungannya di sini)

You may also like