Beberapa permainan seru, pembagian hadiah dan waktu makan siang menghentikan sesi nostalgia. Semua alumni menyungging senyum saat berfoto, membungkus masa lalu dengan indahnya. Musik akustik mengalun, mengiringi suara-suara dari beberapa sudut ruangan. Semua terlibat dalam percakapan seru. Cerita yang tak pernah ada habisnya, terbungkus wajah-wajah kecil yang akan selalu teringat.
Ruben terlihat berbicara dengan teman-teman lelaki lainnya. Naira dan Kayla sempat bertukar kabar, bertukar nomor telepon. Lalu mereka terpisah dan masing-masing bergabung dengan kelompok lainnya. Euforia, atau entah apa namanya ini, membuat semua merasa enggan pulang, kecuali beberapa di antara mereka yang memang sudah dijemput atau memang ada keperluan lain. Kayla, sudah mengirim pesan pada Rendra, minta dijemput. Suaminya tengah mengajak Edwin jalan-jalan. Dalam beberapa jam, mereka akan tiba di sana.
Tinggal beberapa orang saja yang masih ada di tempat. Termasuk Ruben dan Kayla. Tanpa sengaja, mereka berdua sama-sama menghampiri meja makanan kecil, untuk membuat kopi.
“Kamu masih sering luntang-lantung sendirian, Kay?” Suara Ruben memecah kesunyian di meja itu.
“Hah? Memangnya aku suka luntang-lantung sendirian, gitu ya?” Kayla heran, bagaimana Ruben tahu bahwa ia sering menikmati jalan-jalan sendirian? Rasanya waktu SD dulu, ia selalu bersama seseorang bila berjalan-jalan. Dan yang paling sering adalah dengan ibunya.
“Lho, kan kita pernah ketemu waktu habis ujian SMP. Enggak ingat, ya? Di Toko Buku Quentin,” Ruben menjelaskan. “Waktu itu kamu lagi jalan-jalan sendirian, lihat-lihat buku dan alat tulis di sana. Aku lagi keranjingan pertandingan Tamiya. Di Quentin ada track Tamiya. Ingat?”
“Oooh… iya, iya. Aku ingat sekarang!” Kayla berkata spontan, seiring kembalinya sebuah momen dengan Ruben, ke dalam ingatannya.
“Waktu itu aku juga sendirian kan… trus kita ngobrol deh sambil minum jus,” Ruben meneruskan ceritanya. “Lumayan lama, sampai akhirnya aku minta alamat baru kamu. Kamu pindah rumah kan, waktu SMP itu?”
“Iya, betul… iya, iya… kok aku malah lupa peristiwa itu, ya?” Kayla berkata pelan, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Sesungguhnya, penggalan cerita yang ia lupa itu, lebih spesial dari surat-suratnya.
Ceritanya, setelah tiga tahun tidak bertemu, Ruben dan dirinya pernah bertemu lagi, di Toko Buku Quentin sesaat setelah lulus SMP. Usia mereka lima belas tahun. Dia dan Ruben, masing-masing sedang sendirian. Kayla memang seringkali jalan sendirian ke toko buku, terutama saat menunggu waktu kursus. Ruben sedang asyik main Tamiya, yang waktu itu digandrungi anak-anak lelaki seusianya. Melihat ada Kayla, Ruben mengajaknya minum jus. Sambil minum jus, mereka mengobrol tentang beberapa hal. Saling bertukar cerita tentang rencana masuk SMA, sampai akhirnya Ruben meminta alamat barunya.
Pertemuan keduanya di toko buku Quentin semacam sebuah kencan yang tidak direncanakan. Bahkan, setelah itu Ruben benar-benar mampir ke rumahnya satu kali, sebelum masuk SMA. Membicarakan calon sekolah dan cita-cita.
Keduanya tidak membahas tentang surat-surat itu. Mungkin, surat-surat itu terlalu kecil nilainya, daripada pertemuan mereka saat itu. Mungkinkah, pertemuan di rumahnya semacam penyelesaian? Entah. Yang pasti, malam itu, keduanya larut dalam obrolan lepas, tanpa ikatan dan ingatan masa lalu. Peristiwa itu juga, tidak ada yang tahu.
Setelah itu, sejarah terulang lagi. Keduanya sibuk di sekolah barunya masing-masing. Tidak juga saling mencari. Keduanya, taksir-taksiran dengan yang lain, di sekolah masing-masing pula.
***
Kayla senang karena Ruben tidak melupakan peristiwa di Toko Buku Quentin dan kunjungan ke rumahnya. Sementara, ia sendiri selalu teringat cerita saat kecilnya dan surat-surat itu saja. Ah iya! itu kencan pertama dalam hidupnya. Kencan dengan pangeran kecilnya, terjadi di toko buku. Manis dan lucu. Kayla tersenyum.
“Kay… dulu itu lucu, ya?” kata Ruben, seakan bisa membaca pikirannya.
Kayla memandang Ruben, menunggu kelanjutannya.
“Kamu perempuan pertama yang aku suka,” Ruben tersenyum.
Kayla tersenyum, menutupi hatinya yang rikuh.
Lalu, ada jeda. Namun jeda kali ini, tidak lebih lama dari dua menit pada pembicaraan mereka di telepon, waktu SD dulu.
“Kamu dulu juga pangeran kecilku, Ben”
Ruben mengangguk, senyumnya juga mengembang.
Keduanya merasakan hal yang sama. Kelegaan. Utang masa kecil rasanya sudah terbayar. Kayla merasa semuanya cukup. Cerita ini tidak perlu diketahui yang lain. Ia juga tidak mau bertanya kenapa Ruben tidak mencarinya, kenapa Ruben tidak datang lagi ke rumahnya untuk kedua kalinya, kenapa Ruben tidak menghubunginya lagi. Tidak. Kayla tidak mau menanyakan hal itu, karena enggan merusak kejelasan hari ini.
Kayla tidak mau bertanya lebih lanjut, karena sudah tahu bahwa setelah itu, ia sendiri bertemu lelaki lain di SMA. Ia juga sadar, bahwa semua kejadian, pada ujungnya akan membawanya untuk bertemu Rendra, saat kuliah. Ia tidak mau menukar semua yang sudah ia miliki, dengan kemungkinan apa pun. Ia hanya ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi dulu, dan kini sudah terjawab. Itu saja.
Kisah itu memang ada: pangeran tampan yang menyukai perempuan periang. Kayla merasa yang terjadi sekarang ini, cukuplah. Tidak ada yang percaya juga tidak mengapa. Yang penting pangeran kecilnya seorang ksatria yang tidak menyangkal kisah kecil itu.
“Kay, kopi kita ntar dingin, lho!” Ruben mengingatkan.
“Oh iya! Yuk, gabung lagi sama teman-teman,” Kayla menanggapi.
Ketika Kayla hendak melangkah, suara Ruben menghentikannya.
“Eh…. Sebentar, sebentar. Ada yang lupa. Tadi sebelum kesini aku ke rumah Mama. Dan menemukan ini dalam boks yang disimpan di loteng rumah. Haha… boks harta karun aku waktu kecil, Kay.”
Ruben merogoh sakunya dan mengeluarkan kertas-kertas kecoklatan. Kertas-kertas robekan buku tulis, yang dilipat tiga kali. Surat-surat yang dulu dikembalikannya pada Ruben. Mata Kayla terbelalak.
“Ya ampun, Ben!… kamu masih simpan ini? semuanya?”
“Iya… karena mau reuni, aku baru ingat kalau aku punya boks harta karun. Dulu aku sedih banget, Kay! waktu kamu balikin semua surat dari aku. Rasanya seperti putus, padahal bukan juga, ya? Pokoknya aku bingung waktu itu, Kay! Dongkol. Aku ingin tahu, dulu itu kenapa kamu balikin surat dari aku?”
“Itu juga yang aku tanyakan pada diri sendiri, Ben. Ngapain ya aku balikin semua surat dari kamu? Tapi seingatku, itu drama aja, karena kita cuek-cuekan selama persiapan ujian. Aku kesal.”
“Atau sebagai bentuk perpisahan?”
“Aku nggak ngerti, Ben. Mungkin lebih seperti itu, ya. Berlebihan banget aku, ya? Ha ha ha!”
“Dulu rasanya berlebihan, sekarang jadi kocak. Baca deh, lucu banget kita waktu kecil!”
“Iya, nanti aku baca. Pasti lucu banget, Ben… Malu jadinya, nih! Ha ha ha! Terima kasih sekali lagi, Ben…”
“Aku yang berterima kasih Kay, hari ini tambah menyenangkan, karena kamu datang.”
Mereka lalu berjalan ke arah beberapa teman yang masih enggan untuk pulang terlalu cepat. Membayangkan kembali menjadi bocah-bocah yang tengah berkumpul. Kayla tidak menyadari bahwa ia tengah tersenyum manis sekali. Ternyata Ruben yang lebih rapi menyimpan kenangan mungil itu, di sudut benaknya.
***
Kayla menutup buku cerita di tangannya dan mencium lelaki kecilnya yang sudah tertidur. Mematikan lampu, lalu menutup pintu. Ia menghampiri Rendra yang sedang duduk di ruang tengah. Di tangan lelakinya, ada sebuah kertas kecoklatan. Kayla duduk di sebelah Rendra.
“Bagaimana? sudah dibaca semua? Ada komentar?”
“Sudah semua. Ini yang terakhir. Komentar aku? Lucu banget…,” Rendra mengusap rambut istrinya.
Kayla memandang suaminya, lebih lama dari dua detik. Lalu, mencium pipinya.
“Thanks ya, buat pengertian dan rasa percayamu. Sini, aku minta surat-suratnya…”
Rendra menyerahkan surat-surat itu. Kayla berlalu menuju tempat sampah. Lalu, ia kembali, dan menyambung kata-katanya. “… yang aku pahami, semua yang terjadi hari ini sebenarnya bukan semata-mata tentang aku dan Ruben. Ternyata, ini juga tentang aku dan kamu. Aku melengkapi ceritaku, untuk kamu ketahui. Ternyata aku, Si Kayla, memang pernah punya kisah dengan pangeran kecil. Manis banget, ya?” Kayla tertawa kecil sambil menarik tangan Rendra, yang sedang tersenyum.
“Sudah ah… sudah tengah malam. Ayo tidur.”
Ruangan menjadi senyap. Ada bintang di malam yang gelap. Kisah Kayla dan Pangeran Kecil memang benar-benar ada. Walau kini surat-surat tentangnya sudah betul-betul lenyap, hati Kayla merasa genap.
Teringat atau terlupa,
Dulu (yang entah apa namanya) itu…
tetap manis sekali.
(2014)
TAMAT
Ditulis tahun 2014, dipublikasikan pertama kali di platform storial.co pada bulan Oktober 2018