Tidur di Kotak

Ini adalah tulisan lama yang belum sempat diposting. Gak apa-apa ya? daripada mubadzir. Semoga bisa menghibur dan masih bisa bermanfaat 🙂

Saya tanyakan pada anak saya, liburan lebaran (2015) kemarin, selain ketemu Misyik (nenek) dan Abusyik (kakek), bagian mana lagi yang kamu senangi? Dia menjawab: “ Waktu tidur di kotak…”

Jadi, ceritanya untuk pulang kembali ke Bandung selesai ‘berlebaran’ di Aceh, kami belum dapat tiket. Penerbangan penuh, karena masih ada arus balik. Tersedia kelas bisnis, yang harganya mahal. Dari ‘perburuan’ tiket yang dilakukan suami saya, kesimpulan yang di dapatkan adalah: baik rute Medan-Bandung, ataupun Banda Aceh – Bandung, lebih mahal sekitar dua juta rupiah perorang, dibandingkan Rute Medan-Kualalumpur-Bandung. Sementara kami ini bertiga! Mahal sekali!

Karena suami harus pulang dan kembali bekerja, kami sepakat bahwa kalaupun uang selisih sejumlah itu harus keluar juga, bukankah lebih baik dapat bonus jalan-jalan ke tempat lain? Akhirnya kami memutuskan dari Banda Aceh ke Medan dulu, naik bis.  Dari Medan, baru ke Kuala Lumpur untuk menuju Bandung.

(Memang ironis, bahwa untuk pulang kita harus ‘melipir’ ke luar negeri dulu karena tiket lebih murah daripada penerbangan domestik langsung)

Kuala Lumpur (KL), bagi sebagian orang mungkin bukan destinasi yang luar biasa. Namun setiap perjalanan, bahkan dengan destinasi yang sama atau biasa saja, pasti menyisakan pengalaman menarik yang berbeda pada setiap kunjungannya. Kali ini, yang paling menarik adalah: kami akan bermalam di airport.

Exciting! Saya belum pernah mengalami harus bermalam di airport, dengan tantangan tambahannya adalah membawa anak umur lima tahun yang sangat enerjik dan ceriwis.

Kami dijadwalkan landing menjelang magrib di KL, sementara pesawat berangkat ke Bandung keesokan harinya sekitar jam 12 siang.

Pertimbangannya :

Kalau kami keluar airport (KLIA2) ke Sepang atau ke pusat kota KL, kami akan sekadar ‘numpang tidur’ saja. Ada waktu cukup lama yang harus ditempuh, maka akan sedikit yang dilihat karena akan kemalaman sampai di kota. Sementara, paginya kami akan diburu waktu kembali lagi ke airport untuk check in dan pulang ke Bandung.

Maka, bermalam di airport menjadi pilihan tepat, agar tidak terburu-buru dan rugi karena hanya ‘numpang tidur’ tadi. Semakin yakin dengan pilihan itu, setelah melihat kenyataan bahwa hari itu antrian pendatang di imigrasi panjaaang, sampai anak kami sempat tidur dipangkuan Abu (ayahnya). Kami baru bebas dari antrian imigrasi sekitar jam 18.30 dan segera mencari mushola/surau. Beres sholat magrib, waktu makan malam sudah tiba.

Bagi anak saya, ini adalah kunjungannya pertama kali ke KL. Ketika saya bilang KL itu di Malaysia, dia langsung teriak senang.

“Asyik… Malaysia! Ayo, kita cari ABCD Muhto, Nasi Lemak dan Ayam Goreng!,” katanya.

Betul, betul, betul… anak saya (dan ortunya) penggemar Upin Ipin. ABCD Muhto itu adalah minuman ‘Ais Buah Campur Durian’ yang dijual oleh Uncle Muhto, (salah satu karakter di Upin ipin). Saya geli sendiri, mendengar suami setuju untuk mencarikan ABCD di KLIA2. Mencari jajanan ‘Kampung Durian Runtuh’ dari film animasi, di airport internasional. Terdengar seperti… mustahil.

Eh, serius! Abu menanyakan ke petugas keamanan dimana bisa mendapatkan ABCD. Petugas keamanan tidak tahu. Abu mencari petugas informasi. Seorang wanita keturunan India tersenyum mendengar pertanyaan Abu, dan merekomendasikan kita turun menuju lantai I, Resto bernama ‘nz Curry House’. Melihat daftar menunya, kami bersorak kegirangan. ABC ada!  Walau  tanpa ‘D’ (Durian).

Sayang sekali, anak saya harus kecewa. Ternyata ABC sudah tidak dijual lagi. Jadilah dia makan malam dengan nasi putih dan ayam goreng saja. Nasi lemak pun dia hanya perlu mencicip sedikit dari piring saya. Kami bilang padanya, kalau ada rezeki kita kembali lagi, dan cari ABCD di kota. Untuk sementara, saya ambil dulu gambar si ABC Spesial dari daftar menu, buat kenang-kenangan ha ha ha.

gambar kiri: Ais Buah Campur (ABC), gambar kanan: nasi lemak

Beres makan, berikutnya adalah mencari tempat tidur untuk malam itu. Sepertinya, kalau tidak bawa anak, kami akan tidur di mushola atau kursi ruang tunggu saja. Namun mempertimbangkan si kecil, Abu tetap berniat untuk mencari tempat ‘rebahan’. Segera kami membaca denah KLIA2.

Di level 1 (level yang sama dengan ‘nz Curry House’), ada tempat istirahat bernama Capsule. Ada juga hotel Sama-Sama, di gedung satelit KLIA2 namun saat itu lebih mahal daripada Capsule. Kami datangi Capsule, karena murah dan unik.

gambar atas: denah level 1 KLIA2, gambar bawah : interior dalam kontainer kami

Menarik! Seperti sebuah liputan tentang hotel di Jepang yang pernah saya tonton, Capsule ini adalah tempat tidur “seadanya”. Memang dimaksudkan untuk tidur, titik. Yang kita sewa bukanlah kamar hotel seperti biasa, tapi lebih seperti kotak secukupnya untuk tidur, dan disewa dalam jangka waktu yang secukupnya juga. Container yang disekat-sekat, sehingga cukup untuk meletakkan sebuah kasur. Kita tidak bisa berdiri didalamnya, kecuali anak kecil.

selasar depan kontainer
interior dalam

Kamar mandinya juga share dengan para penyewa lainnya. Jadi seperti kamar mandi umum ya… Saya malah exciting untuk mencoba. Ada beberapa pilihan waktu menyewa di capsule: 3 jam, 6 jam, 12 jam. Agar situasi kami dengan anak sekecil itu ‘aman terkendali’, kami book untuk menggunakannya selama 12 jam dari jam 22.00 malam sampai 10.00 pagi. Dan kami ambil tipe Capsule+ (queen size bed), maksimum 2 dewasa+1anak.

Mengenai harga, memang tidak bisa dibilang murah, sih.  Namun, kalau kami konversi dengan harga tiket kereta/bis, plus waktu dan energi yang dikeluarkan kalau kami naik kereta menuju ke pusat kota Kuala Lumpur atau naik bis ke Sepang, biayanya jadi seimbang.

Dengan tidak perlu angkat-angkat koper, anak yang biasa tidur tidak terlalu larut juga bisa tinggal tidur, plus sebelumnya masih bisa keliling-keliling cari jajanan, atau cuci mata. Rasanya Capsule ini harganya menjadi wajar. Intinya: waktu, pengalaman dan tenaga adalah pertimbangan konversi kami, selain tentu saja: biaya.

price list (2015)

Karena saat itu belum jam 10 malam, kami belum bisa check in. Anak kami juga belum terlalu ngantuk, karena sempat tidur saat mengantri di bagian imigrasi tadi. Jadi, lebih baik kami bawa jalan-jalan, sampai dia capek, biar langsung “Tidur di kotak”. Emaknya cuci mata, cari camilan, liat denah, ngubek-ngubek KLIA2. Anaknya lari-larian, ngecengin mainan bersama Abu.

Jam 12 malam, toko-toko tutup. Saya tanya buka lagi jam berapa? “Pukul 06.00 pagi”, kata seorang pramuniaga di sebuah counter coklat. Saya yang kelupaan beli dark chocolate kesukaan, masih bisa kembali lagi besok pagi.

Waktunya tidur. Anak saya cuci kaki di kamar mandi laki-laki, dibawa Abunya. Digantikan baju, dan masih sempat cekikikan di dalam “kotak” kami. Saya peringatkan dia berkali-kali, bahwa ini bukan hotel biasa, kita ini berbagi tempat dan semua orang disini tujuannya istirahat. Jadi suara harus dikecilkan. Untunglah, anak kooperatif. Strategi kami membawanya masuk kotak saat dia sudah ngantuk ternyata memang tepat. Tidur bertiga tidak terlalu sempit, karena anak masih kecil. Entahlah kalau dia sudah SD nanti.

Rasanya? Kurang lebih seperti berkemah pakai kasur dan AC. He he he…

Saya minta dibangunkan jam setengah 5, untuk shalat shubuh. Mushola/surau umum juga ada di seberang lokasi Capsule. Di sana, banyak yang sedang tidur menunggu penerbangannya. Untung juga, kami tidak jadi tidur disana, karena suhunya dingin sekali saat subuh.

Dengan pilihan waktu sewa 12 jam, rasanya cukup. Tidak tergesa-gesa. Apalagi anak perlu waktu untuk dibangunkan, dirayu untuk dimandikan. Tidak seperti kita yang begitu bangun bisa langsung menuju kamar mandi. Kali ini, ia mandi di tempat perempuan, karena saya yang memandikan.

‘Kotak’ sebelah, sudah ganti lagi penghuninya. Pagi itu, saya dan suami berkali-kali lebih sering mengingatkan anak yang sudah segar, yang mulai besar energi dan suaranya, untuk tidak ribut. Saat itulah saya baru sadar, bahwa bawa anak kecil ditempat seperti itu beresiko mengganggu tamu lain. Sebisa mungkin bawa masuk anak menjelang ia benar-benar mau tidur, dan segera check-out setelah semuanya beres mandi. Bawa bayi, kayaknya kurang direkomendasikan. Namun, pihak penginapan juga menyediakan earplug (untuk menyumbat lubang telinga), apabila merasa terganggu dengan suara-suara.

handuk, sikat gigi dan air mineral komplimen

Cukup unik ya? saya bersyukur, ada hikmah dibalik kerepotan kami melipir ke KL. Jadi tambah pengalaman.

Lucunya, pendapat bocah kecil itu juga sama dengan kami bahwa ‘tidur di kotak’ adalah salah satu dari  banyak pengalaman yang berkesan selama liburan kemarin.

Lebih bahagia lagi, ketika di review bagian liburan mana (4 kota : Sigli, Banda Aceh, Medan, Kuala Lumpur, selama 11 hari: 20-31 Juli 2015) yang tidak ‘asyik’, bocah lima tahun itu menggelengkan kepalanya. Dari kota kecil hingga airport berdesain modern di kota besar, ia nikmati.

Ah… anak-anak memang begitu mudahnya dibahagiakan. Sederhana saja, jika kita mau menyimak. Darinya saya belajar banyak.

Keterangan:

foto yang saya ambil, dengan alat dan teknik seadanya pada tanggal 30 Juli 2015. Demikian juga tulisan ini saya tulis sekitar Agustus tahun 2015. Untuk foto yang lebih update dan ‘menggiurkan’, silakan cek website resmi Capsule di www.containerhotel.com.my, click ‘Capsule’, untuk penginapan yang saya maksud di KLIA2 dalam tulisan saya di atas.

You may also like