Poked by The Universe #4: Cerita Kawan dan Epilog Hari Ini

Ini adalah bagian keempat, sekaligus terakhir dari satu hari yang tiba-tiba terasa “penuh” (dalam arti yang baik) buat saya. Cerita sebelumnya: Poked by The Universe #1 , Poked by The Universe #2 , Poked by The Universe #3

 

Kalau tidak dari luar untuk sekalian pulang, kalau tidak bareng suami, kalau bukan untuk ketemuan sama kawan kuliah yang pertama kali bertemu 30 tahun lalu, rasanya enggak mungkin saya masuk café di atas jam 21.00 WIB. Apalagi anak yang biasa tidur cepat, kali ini ikut terbawa meetup. Qadarullah bisa juga mampir ke Jabarano Coffee Laswi, setelah sorenya batal mampir ke Jabarano Coffee yang di Braga (Bener kan, Si Uni tengah obral momen buat saya di hari ini 😊)

Dua orang kawan kuliah sudah menunggu. Yang satu memang tinggal di Bandung, terakhir bertemu di bulan Juni. Satu kawan lagi, seorang dosen yang tinggal di Medan, dan sudah beberapa tahun tidak bertemu. Pak Dosen ternyata datang bersama dua orang koleganya. Saya memesan teh, karena sore tadi sudah minum kopi, secangkir berdua dengan anak yang tetiba pilek. Suami kembali memesan kopi, yang tentunya saya icip juga 😊.

Sudah pasti, dong… saling bertukar cerita terbaru, juga mengingat cerita-cerita masa lalu. Oh ya, sempat diselingi video call dengan kawan saya satu lagi, yang kebetulan tidak bisa gabung. Obrolan ngalor ngidul, cerita tentang sekolah anak, parenting dan satu lagi: “penyakit-penyakit gemas” yang mampir di usia-usia kami. Duh, khas sekali lah obrolan Gen X ini. Ha ha ha…

Kalau untuk urusan anak, pengalaman mereka berdua lebih terdepan daripada kami. Karena keduanya punya anak yang sudah kuliah.

Oh ya… ada satu hal yang paling saya ingat tentang ini. Pak Dosen yang punya pengalaman ngekos, suka bilang pada anak-anak didiknya sambil bercanda “Pokoknya, apa yang kalian (anak-anak kuliah plus ngekos) pikirkan saat ini, sudah pernah kami pikirkan 30 tahun lalu.”

Ah! saya ngakak… walau saya enggak ngekos, tapi saya juga anak kuliah dan di circle saya banyak anak kos. Jadi, cerita suka duka anak kuliah yang kos, saya ikut nyimak banget. Karena enggak semua anak kos kiriman bulanannya lancar, maka cerita seru dan berbagai macam intrik saya dengar. Iya…termasuk suami saya juga. Mereka kreatif dan pandai menemukan cara menyiasati hari demi hari untuk bertahan, sambil kuliah. Kadang caranya sedikit nakal, tapi lebih banyak cerita tentang berjuang. Menyalaaa teman-temankuuu mahasiswa 90-an…! sekarang kalau flashback kita bisa menertawakan masa-masa itu.

Iya betul kata kawan saya kepada mahasiswanya tadi. Jadi walau antara dulu dan sekarang mungkin bentuk intriknya berbeda, tapi yang namanya jadi mahasiswa pasti sama serunya. Sudah semestinya yang lebih muda berkhidmat pada yang sudah lebih tua, yang bagaimana pun berbeda masa, ia telah melewati fase-fase tersebut. Been there, done that – lah istilahnya.

Silakan merayakan masa muda, tapi jangan lupa bahwa nanti juga kalian tua. Nikmati setiap fase hidup. Ternyata, menjadi tua juga sesungguhnya hal yang patut disyukuri. Masih ada umur, kesempatan, dan waktu bertemu untuk sekadar bercerita dalam keadaan sehat, adalah berkah. Ini sih yang saya dapatkan malam itu bersama kawan-kawan lama.

Hari sudah semakin malam. Sekitar setengah jam menuju pukul 00.00. Terlihat dua kolega dari  kawan saya tadi sudah tertidur di kursi meja belakang, menunggu kami ngobrol. Aduh maafkan ya, Bapak-bapak.

Akhirnya kami harus bubar, membawa harap masih ada lagi kesempatan untuk bertemu lagi, entah kapan. Sehat-sehat ya, semuanya…

Keluar dari parkir, seingat saya sekitar 15 menit menuju pukul 00.00. Saya berterima kasih kepada suami karena mau menemani istrinya bertemu kawan lamanya. Berterima kasih juga pada anak yang sabar menahan kantuk, tetap sopan dan on kalau sedang ditanya kawan ibunya, malah dia yang mengambil foto kami berempat (di highlight Instagram). Thank you Abang, for being a nice boy.

Ketika ditanya apakah menyimak obrolan kami, anak menjawab “iya” (saya pikir dia tidak menyimak karena sambil pegang gadget-nya). Waktu saya tanya kesan-kesan yang didapat setelah nongkrong dikelilingi orang tua, ada dua hal yang dia sebut:

Pertama, menurutnya: ternyata, semua orang tua sama saja kalau tentang anak (lebih kurang: sayang anak, ada khawatir, ada bangga, ada harapan sholeh dan sukses). Ini kayaknya waktu kami sharing tentang kuliah, tentang nurturing dan tentang pilihan-pilihan anak yang sudah beda zaman.

Kesan kedua, katanya Ibu asyik banget orangnya… (hiks…)

Baru sadar, mungkin seringkali saya dan anak berada dalam satu scene di mana konteksnya saya jadi ibu yang menemani anak, jadi kalaupun ada orang dewasa lain, ya itu adalah orang tua temannya. Kalau saya sedang bertemu teman pun, dianya gak ada di tempat (saat me time-nya saya), atau hanya ngedrop saya, sambil melakukan hal lain.

Kini, dia yang full duduk menemani saya, melihat dan menyimak saya berinteraksi dengan teman saya sendiri, dengan durasi cukup lama. Walau HP di tangan, ternyata matanya sesekali melihat dan telinganya menyimak. Rupanya saat itu saya diobservasi sama dia. Ha ha ha… so sweet…

Sampai rumah, lewat tengah malam. Anak mendarat di tempat tidur. Saya masih bercakap-cakap dengan suami tentang hari ini. What a day!

 

Epilog

Enggak ngerti gimana ceritanya dari yang rencananya datang ke dua acara, berujung merasa ini adalah hari yang melimpah, abundant day. Banyak ruang, banyak waktu dan banyak makna yang tertangkap. Di luar nama sebuah tempat, judul sebuah acara, nama orang-orang yang berpapasan hari ini, ada sesuatu yang lebih penting. Ada makna, ada pesan.

Saya jadi menduga. Mungkinkah ini tentang: Berusaha melakukan yang terbaik saja setiap saat, berpasrah menerima apa pun hasilnya? Karena rasanya semua terjadi begitu saja. Tidak ada rasa yang berat, tapi justru hasilnya diluar dugaan. Ringan dan mengalir, tapi full of surprises.

Hari ini, saya visualisasikan semesta seakan sedang mencolek, membelai, mentraktir saya dengan suguhan-Nya, dan saya menerimanya dengan hati yang terbuka, sadar dan pasrah.

Pasrah yang bukan berarti pasif dan menunggu. Surrender atau berpasrah bagi saya juga bisa berwujud keaktifan secara sadar (termasuk saat memilih dan memutuskan), tanpa terlalu berharap.

Surrender atau berpasrah, ternyata bukan lemah. Ia lembut dan damai.

Terima kasih semesta untuk pelajaran full day-nya hari ini, Sabtu, 20 Juli 2024 😊

 

(Foto featured kopi close up, by Mahija)

You may also like