#14 – Madre

Memperingati Hari Buku Nasional 17 Mei 2021, saya mencoba mengunggah 17 buku berbahasa Indonesia, yang pernah saya baca. Dipilih secara acak, urutan unggahan juga tidak menunjukkan apa-apa. Ini akan sangat menyenangkan, karena saya akan kembali menelusuri rak buku di rumah. Belum tentu buku terlaris yang akan saya unggah. Belum tentu juga buku baru. Mungkin berbentuk ulasan, mungkin hanya tentang perasaan. Semata-mata ingin bercerita tentang sebuah buku.

 

Unggahan #14 Madre

(Kumpulan Cerita)

Penulis: Dee/Dewi Lestari

Penerbit: PT Bentang Pustaka

(Cetakan Pertama, Juni 2011)

 

Filosofi Kopi, Madre, Rectoverso adalah tiga buku Dee yang sangat saya suka. Walaupun, saya juga memiliki Supernova yang hampir lengkap. Perahu Kertas juga memiliki kesan tersendiri, karena saya ingat betul, buku setebal itu saya baca habis kurang dari 24 jam, saking mengalir ceritanya.

Kali ini, saya ingin mengunggah Madre.

Cerita fiksi berjudul Madre, adalah cerita terpanjang di buku ini. Ada 72 halaman dari 160 halaman buku. Sisanya adalah cerita-cerita pendek yang tak kalah menarik. Hmm… saya mau bilang apa ya, tentang Madre?

Saya membaca bukunya duluan, sebelum menonton filmnya. Karenanya, benak saya sudah memiliki “gambaran” sendiri setelah selesai membaca. Jadi ketika menonton filmnya, saya jadi punya gambaran yang lain lagi, walau tetap bisa menikmatinya. Hampir selalu begitu perasaan saya, ketika menonton sebuah film yang disadur dari sebuah buku.

Sebaliknya, bila menonton filmnya terlebih dahulu, baru membaca bukunya, hampir selalu benak ditarik oleh visual yang telah disuguhkan oleh si film. Dari mulai karakter dalam cerita, hingga suasananya. Benak saya tidak sempat membentuk gambarannya sendiri. Rasanya seperti “diarahkan”.

Alhasil, agak jarang saya membaca buku yang sudah saya tonton filmnya terlebih dahulu. Rasanya lebih “kaya” bila membaca buku, sebelum menonton filmnya. Dengan begitu, kita akan mendapat sudut pandang yang banyak, walau tidak selalu selaras dengan imajinasi kita. Dunia yang kita bayangkan, akan bertemu dengan dunia yang dibayangkan oleh sutradara maupun penulis skenarionya. Rasa penasaran ingin melihat sudut pandang pembuat film itulah yang menyenangkan buat saya.

Lah, kok dari buku jadi ke film? Yang ingin saya sampaikan adalah, saya merasa beruntung telah membaca buku Madre sebelum menonton filmnya. Jadi saya sempat punya dunia “Madre” di benak sendiri, berkat tulisan Dee yang tidak pernah tidak bagus itu. Selalu memuaskan.

Cerita-cerita lainnya tidak kalah keren. Untuk tulisan-tulisan Dee, mau panjang atau pun pendek, hati saya selalu terisi penuh, sepenuh-penuhnya. Seperti kalimat indah, yang secara tak sengaja saya temukan kembali:

Cahaya merasa kamilah dua orang itu. Sepasang jiwa yang terlibat komitmen abadi untuk main petak-umpet; berpisah lalu saling mencari lagi di dimensi ruang dan waktu. Pada akhirnya, kami akan selalu bersatu. Apa pun tantangannya. Tiga puluh tahun, dibantu oleh suar dan Bintang Selatan, akhirnya ia tiba di pantai yang ia cari: aku

(Penggalan cerita berjudul Have You Ever? Halaman 88)

 

Oh ya, yang juga spesial di buku Madre ini buat saya adalah sebuah prosa berjudul 33. Saya juga pernah menulis puisi berjudul 33 di buku saya. Apakah, keduanya ditulis di tahun yang sama? Apakah ini yang disebut synchronicity?

 Ngareeep ! :p

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

You may also like