(Oleh-oleh dari Anyer)
Suami ada kerjaan di Kota Serang, Hari Kamis, 29 Maret 2018.
“Ke Anyer, Yuk! Daripada aku pulang sendirian ke Bandung, macet. Long weekend di sana aja,” katanya.
Jumat 30 Maret 2018 tanggal merah! libur?
Ya kalau sudah diajak, jawabannya pasti “Ayo!”
Kamis, 29 Maret 2018
Beres acara kerja Abu di Serang, kami bertiga ke Anyer. Sampai di sana, hari sudah sore. Si Bocah sudah tidak sabar main di pantai. Begitu barang disimpan di kamar hotel, dia langsung ganti baju.
Air laut sedang pasang, sudah diberitahu bellboy dari awal. Belum terbayang, sampai kami lihat sendiri. Air sudah menabrak lembut dinding pembatas area hotel dan pantai. Kami berjalan ke arah kiri hotel, menuju sebuah pintu kecil, akses menuju pantai. Pantainya tidak ada. Malah tangga-tangga batu sesekali terhempas air laut juga. Warung-warung di pinggir pantai tutup.
Kami dihampiri para pedagang yang menjual jasa melukis henna atau tato temporer, bapak-bapak yang menyewakan bodyboard, penjual otak-otak, hingga yang paling berkesan buat saya pribadi adalah ibu-ibu yang menjual jasa pijatannya.
Kocak, karena Si Ibu setengah maksa, langsung mengulurkan tangan memencet pundak saya.
Lebih kocak lagi, karena saya yang berniat menggelengkan kepala, malah jadi mengangguk setuju.
Jempol si Ibu yang mantap itu berhasil memencet tombol persetujuan saya, yang memang kurang enak badan.
Suami saya ngakak dengar ceritanya. Berarti jempol mujarab itu pas banget titik pencetnya.
Jadilah saya emak-emak yang keenakan dipijat di dipan tinggi, yang kolongnya sesekali diterpa hempasan air pasang, sambil menunggu anak dan suami main air.
Sembari dipijat, kami ngobrol ala emak-emak.
Anak baru satu?
Iya, Ibu berapa anaknya?
Tiga. Udah pada gede. Saya udah punya cucu…
Wah, kalau saya lama dapatnya, Bu… anak saya baru SD
Blablablabla….
Sampai bercakap-cakap tentang air laut yang pasang sudah cukup lama, katanya.
Sampai cerita bahwa dia tinggal di kampung seberang hotel, harus naik ojeg tiap hari.
Sampai saya tahu namanya: Umi, panggilan dari nama aslinya: Ummayah
Sampai akhirnya saya sudahi pijatannya, karena teringat anak saya belum difoto sedang main air dan pasir.
Hmmm… fotoin anak, urusan emak-emak lagi. Demi dokumentasi keluarga.
(foto Bu Umi nggak ada ya, takut parno nanti dia. Baru kenal, sayanya sudah sok akrab he he he)
Untunglah, ke arah lebih kiri menjauhi hotel, bibir pantai sedikit lebih luas, hingga anak lebih leluasa bermain air.
Malamnya, kami keluar hotel untuk cari makan malam. Saya teringat ada sebuah warung makan yang menarik, yang siang tadi kami lewati. Baliho yang besar, menu menarik, dan kesan warung yang cukup luas, bersih dan terang. Sepertinya menggiurkan.
Sedikit kecewa, rasanya biasa. Pelayanannya juga kurang. Anak saya, sampai harus dirayu: nasinya dikasih kecap, untuk menutupi rasa udang goreng tepung yang cenderung hambar.
Malam itu, semua makanan tidak habis. Oh ya… ada yang lumayan enak: Karedoknya. Tapi itu juga tidak habis. Saya tidak tahu apakah pengunjung lain malam itu juga merasakan hal yang sama? Soalnya warung ini cukup ramai di malam itu. Apakah mereka tergiur oleh baliho juga?
Pelajaran bagi kami: Iklan indah yang terlihat belum tentu sama dengan rasa sebenarnya.
Jumat, 30 Maret 2018
Setelah para lelaki bermain-main lagi di kolam dan pantai, kami check out menjelang makan siang dan keluar hotel setelah para lelaki Shalat Jumat.
Di makan siang ini, kekecewaan semalam terbayar. Recommended restonya. Jadi ceritanya, dapat infonya dari teman suami yang tinggal di Serang.
Ada tempat makan enak. Namanya Pondok Ikan Bakar BM.
Oalaaaahh penuh! Awalnya saya pikir karena ada rombongan pulang jumatan dari masjid, jalan jadi tersendat. Ternyata memang ramai! Parkir mobil padat, padahal tempatnya lebih luas lagi dari warung makan semalam. Papan namanya juga nggak sebegitu ’menggiurkan’ . Nama restonya juga terlalu sederhana, menurut saya. “Pondok Ikan Bakar BM”.
Kalau dari jalan, tidak terlalu mencolok. Kalau sudah masuk pekarangan, barulah kita tahu seberapa ramainya.
Tunggu… makanannya? Enak!
Walaupun anak saya akhirnya makan nasi goreng, tapi si pemilih itu memuji cumi goreng tepungnya dan membandingkan dengan menu semalam. Semua makanan terasa, pelayanannya juga cepat. Ada nih… fotonya, walau sudah tercolek disana sini oleh kami. He he he…
Yang seru juga di BM ini adalah para ibu penjaja hasil kebun. Ada pisang merah, rambutan leci, dan yang dari awal mencuri hati adalah: peuteuy alias petai.
Sontak hati terpanggil untuk membeli dua ikat. Satu akan dipersembahkan sebagai oleh-oleh untuk ibu saya, satu ikat lagi buat saya dan si mbak di rumah.
Suami senyam-senyum. Dia tidak suka petai, plus tergeli-geli melihat emak-emak di depannya sibuk beli petai buat souvenir, dan membayangkan sang peuteuy harus tidur semalam lagi di Serang, sekembalinya kami dari Anyer siang itu.
Pelajaran lain: Iklan dari mulut ke mulut mujarab. Brand, bisa kalah oleh rasa sebenarnya. Hingga saya sebagai pembeli, tidak sempat penasaran singkatan dari apa BM itu sebenarnya 🙂
Sabtu, 31 Maret 2018
Jumat malam kami menginap sehari lagi di Serang. Sabtu siang sebelum pulang ke Bandung , kami bertemu sekali lagi dengan teman kuliah suami, alhamdulillah dioleh-olehi (lagi) ini nih bontot, empe-empe dan otak-otak bakar. Maknyus juga rasanya!
Setelah asyik ngobrol dan dijamu makan siang garang asem (gerem asem), kami pulang ke Bandung. Nuhun Teh Rina, Pak Agus…
Alhamdulillah liburan kali ini temanya tentang emak-emak kurang enak badan, yang jadi ringan begitu jempol Ibu Umi mendarat. Ditambah oleh-oleh Bontot dkk dari teman, diiringi dengan dua ikat petai yang menutup kisah ini 😀
Eh iya… Bellboy di hotel terakhir juga sedikit kepo (ramah maksudnya) pas bantu memasukkan koper ke bagasi mobil, melirik ada ‘dua onggok’ petai.
“Belanja petai dimana, Pak?”
Ha ha ha…
Suami saya jawab apa adanya, saya yang sudah di dalam mobil nyengir padanya. Peace Abu!
Tentunya sudah bukan seperti judul lagu Nirvana “Smells Like Teen Spirit”
Sekarang ini sudah “Smells Like ‘Emak-emak’ Spirit”
Betapa jiwa mengakrabi usia 🙂