Detik Untuk Pulang – Bagian 2

Cerita Sebelumnya di sini

 

Tiara baru teringat. Sebelum ia ada di sini, ia tengah berada di lantai dua rumahnya. Cira menarik-narik tangan kanannya yang sedang memegangi telepon genggam. Saat itu, ia sedang sibuk chatting dengan teman-teman lamanya di sebuah media sosial.

Cira mulai merengek, meminta perhatian darinya. Obrolan dengan teman-temannya sedang asyik-asyiknya, sedang seru-serunya. Belum lagi, banyak artikel dan informasi penting tersebar di dunia maya. ‘Penting’, terdefinisi hanya karena sedang marak saja. Sesungguhnya, tidak ada urgensi.

Tiara tidak mau kehilangan berita terbaru dunia. Ia ingin selalu up date berita, karena tidak ingin dikatakan ‘ketinggalan zaman’. Padahal, berita-berita yang katanya ‘penting’ itu, yang ada di dunia maya itu, tidak ada hubungan krusial dengan kegiatan Tiara. Tidak semua berkaitan langsung dengan aktivitasnya. Sesungguhnya kecil  persentase berita yang patut disimak dan di up date olehnya. Selebihnya adalah berita-berita yang ‘disimak nanti juga tidak apa-apa’. Bahkan, kebanyakan adalah berita yang ‘tidak diketahui juga tidak apa-apa’ untuk Tiara. Sesungguhnya, selalu seperti itu.

Cira masih merengek, memanggil mamanya. Seringkali, Cira lebih manja dan lebih rewel, justru saat Tiara tengah memegang telepon genggamnya. Kesadaran yang penuh atas kecemburuan anaknya terhadap benda di tangannya itu, tidak lantas berhasil membuat Tiara melepaskan telepon genggamnya.

“Tunggu Cira, tunggu sebentar lagi,” Tiara yang merasa terganggu berusaha menenangkan.

“Mama, ayo… Cira mau  makan, lapar. Temenin Cira…!”

“Iya, iya, sebentar!” Suara Tiara meninggi.

Ia sudah tidak bisa memilah siapa yang sesungguhnya menjengkelkan. Seorang ibu yang tidak menanggapi panggilan anak balitanya, atau balita yang merengek minta perhatian ibunya? Kecanduan yang tidak disadarinya itu membuatnya, memilih yang terakhir. Betapa rewelnya balita ini! hatinya gemas. Apakah ia tidak bisa lihat ibunya sedang membaca dan membahas hal penting? Lagi-lagi kata ‘penting’ dari sudut pandangnya.

“Mama… ayo maaa!”

Tiara masih chatting dengan Diah, temannya. Tersenyum sedikit membaca balasan Diah. Kocak. Seru. Lucu. Menghibur. Lalu, ia browsing berita politik. Dahinya mengerut, membaca berita tentang politik. Beralih membaca berita dua tiga artis. Bukan! bukan gosip, tapi b-e-r-i-t-a, agar terdengar penting. Penting. Penting. Penting. Lalu Tiara teringat, ia belum menulis status apa pun di media sosial mana pun. Nulis status apa, ya? Komentar politik? Nulis rencana pergi hari ini? Menu di rumah hari ini? Ah, posting foto Cira dulu, deh…

Tanpa disadarinya, Tiara berperilaku seakan lebih senang dengan foto sang anak, sementara di detik yang sama, anak yang fotonya sedang di otak-atik itu, tengah merengek, ingin diperhatikan. Ia ingin mamanya mendengar dan memerhatikannya. Jarak mamanya dan dirinya sangat dekat. Tapi, mamanya memilih sibuk dengan fotonya, entah demi siapa.

“Mama..!!!” Cira setengah berteriak menarik-narik rok ibunya.

“Tunggu sebentar!” Tiara membentak.

Tiba-tiba, Tyo, anak lelakinya menyambar telepon genggam dari tangan ibunya. Ia berlari menuruni  tangga ke lantai bawah.

“Tyooo! Nggak sopan!” Tiara berteriak mengejarnya. Lalu, pada sebuah anak tangga, Tiara tergelincir dan jatuh berguling-guling melewati beberapa anak tangga sampai pada akhirnya ia tergolek. Setelah itu, gelap.

 

***

 

Tiara menangis lagi. Hal sepele telah membuatnya mati. Detik mengerti dan memeluk pundak perempuan itu.

“Sayangnya, itu bukan hal sepele buat anak-anakmu, Tiara. Mereka ingin kamu mementingkan mereka. Merekalah definisi penting,” Detik, lagi-lagi membaca pikiran perempuan itu. “Kamu tidak menyangka kematian sebegitu dekat. Iya kan?”

Tiara mengangguk, sambil menangis sesenggukan.

“Kalau boleh kembali lagi, kamu ingin mendengar permintaan Cira dan menyiapkan makanannya, bukan?”

Tiara kembali mengangguk. Pasrah dengan Detik yang seakan terus menyudutkannya dengan ‘tuduhan-tuduhan’ yang benar.

“Kamu pasti tidak menyangka, walaupun Tyo anak lelaki, ternyata ia sangat sensitif dan tadi itu aksi protesnya atas sikapmu mengabaikan Cira. Begitu, bukan?”

Kali ini, Tiara sudah tidak sanggup mengangguk. Jawaban darinya adalah sedu sedan yang semakin menyakitkan.

“Sudahlah, ikhlaskan. Ikhlaskan mereka, yang memang harus kau tinggalkan. Hei, pertemuan dengan penciptamu adalah hal yang paling indah, Tiara. Itu sakral.” Detik menepuk pundaknya, lalu diam. Kembali memberi waktu untuk Tiara.

“Tapi…tapi… Oh!… masih banyak hal yang belum aku lakukan di dunia. Begitu banyak hal yang belum aku katakan pada anak-anak dan pada Raka. Pada Ibu, pada kakakku. Banyak sekali, Detik. Banyak sekali yang ingin aku lakukan, yang ingin aku katakan. Banyak yang aku sesali, ingin aku perbaiki”

Detik hanya menghela napas, enggan untuk menyela.

“Detik, Raka tidak tahu di mana aku menyimpan baju tidur, baju bermain dan baju pergi Cira dalam lemari. Raka selalu tidak hafal tempatnya. Setiap hendak menolongku memakaikan baju Cira, ia selalu bertanya lagi dan lagi. Kasihan Raka, akan kebingungan bila aku tidak ada untuknya dan anak-anak.”

Detik tersenyum. “Raka memang terkadang merasa kamu tidak ada, meskipun kamu ada di sampingnya, Tiara”

Tiara berusaha mencerna kata-kata Detik. Membayangkan momen yang dimaksud Detik. Saat fisiknya ada di samping Raka, tapi jiwanya entah di mana. Yang dikatakan Detik, ada benarnya.

Lalu, Tiara ingat sesuatu yang lain lagi.

“Tyo ingin sekali jadi pemain sepak bola. Aku melarangnya. Biarpun itu semua sebatas wacana, aku bisa melihatnya kecewa. Detik, aku ingin bilang padanya bahwa ia boleh menjadi apa saja yang ia mau, asalkan serius dan dalam kebaikan”

Detik tersenyum. “Walaupun kamu tidak ada, Ia akan berkembang menjadi dirinya sendiri. Tentu saja, ia akan sedih kehilangan ibunya. Tetapi bila kamu ingat bahwa ia yang mengambil telepon genggammu demi membela Cira, maka, aku rasa ia akan menjadi lelaki gagah yang bertanggung jawab. Kamu tenanglah, ikhlaslah”

“Tapi, aku ingin melihat itu terjadi, Detik! Sungguh… ingin melihatnya dan berbicara dengannya. Oh belum lagi Rara. Sebentar lagi akan tumbuh menjadi seorang gadis. Aku ingat betapa susahnya jadi remaja dengan kebingungannya mencari jati diri. Nanti akan ada lelaki yang mendekatinya. Aku harus ada untuknya! Ia akan sangat butuh aku, Detik!”

Detik tersenyum tipis. Ikut menghela napas.

“Lalu bagaimana dengan Raka? Apakah ia akan menikah lagi? Oh, aku belum memenuhi keinginannya untuk jalan-jalan berdua ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi. Begitu detail Raka melamunkan tempat-tempat yang ingin ia kunjungi bersamaku. Aku hanya senyum mendengarnya. Manis sekali, tapi kami berdua belum bisa mewujudkannya. Aku sungguh menyesal, Detik…”

Detik masih menunggu Tiara melanjutkan kalimat-kalimatnya. Tiara terlihat sedang mengingat-ingat hal-hal penting yang ia rencanakan dan belum ia lakukan. Hal-hal yang sesungguhnya tidak pernah diusahakan untuk terwujud, ketika waktunya masih sangat lapang.

“Oh… belum lagi dosaku pada ibuku begitu banyak. Aku harus minta maaf. Aku ingin bilang padanya bahwa ia wanita hebat. Ia sangat penting bagiku. Aku sayang sekaligus kagum padanya. Aku ingin mengatakan itu berjuta-juta kali padanya. Detik… bagaimana, ini?”

Detik tersenyum, lalu berdiri.

“Tiara, aku tidak bisa membantumu untuk kembali hidup. Aku hanya bisa menyarankanmu untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi, karena memang sudah terjadi. Ikhlaskan masa depan mereka semua pada Tuhan, pencipta mereka. Penciptamu. Ayo, kita jalan sekarang! Aku yakin kamu tidak mau berada di sini terus menerus. Di sini, kau tidak bisa kembali. Tidak bisa juga kau bertemu penciptamu dan semua yang telah mendahuluimu.”

Emosi Tiara terpancing keluar. Ia berdiri dan marah besar.

“Kamu tidak mengerti! Kamu bahkan bukan manusia! Jangan mengajariku tentang ikhlas. Kamu tidak tahu rasanya meninggalkan dan ditinggalkan. Kamu – bukan – manusia!”

“Kamu salah, Tiara. Walaupun aku bukan manusia, aku paling mengerti. Aku ini Sang Detik, yang paling mengerti bahwa begitu banyak manusia yang menggunakan waktunya dengan banyak hal yang sia-sia, melakukan dan mementingkan hal yang akan disesalinya nanti ketika mati. Tidak segera melakukan hal-hal penting, sebelum waktunya habis. Padahal, setiap detik itu sungguh berarti. Kamu salah, wahai manusia. Aku yang paling mengerti. Sudahlah, kamu tinggal memilih. Mencoba ikhlas, atau tetap berada di sini. Tidak hidup, tidak juga mati” Detik berkata pelan saja, tidak terpancing emosi, seraya membalikkan badan dan mulai berjalan meninggalkannya.

Hati Tiara tersayat, namun menerima semua ucapan  Detik. Ucapan yang tenang, jelas dan benar. Ia sudah tak sanggup menangis histeris lagi. Tiara berjalan pelan mengikuti Detik. Belum sepenuhnya ikhlas. Ia bergerak hanya karena tidak ada pilihan yang sesuai dengan keinginannya: kembali ke keluarga, mendekap semuanya.

 

 

Bersambung ke bagian 3 – klik di sini

You may also like