Film yang bagus itu, yang masih menyisakan ‘rasa’ ketika keluar dari bioskop.
Film yang bagus itu, film yang enggak ketebak akhirnya (twisted plot)
Film yang bagus itu, yang bahkan tidak banyak dialog pun, kita mengerti.
Film yang bagus, yang tiketnya ludes, bahkan sebelum tayang.
Film yang bagus itu…
(Lalu tiba-tiba masuklah sebuah lagu)
Anak Betawiii, ketinggalan zaman… katenye…
Ah! Si Doel…(Termasuk kategori film yang bagaimana ya?)
Beberapa waktu lalu, sore menuju magrib.
Kerjaan tulisan dan kerjaan rumah sudah cukup dulu. Ibu meluncur menuju Netflix. Pengin menyusuri film-film yang ada dalam daftar saya, tapi anak masih ON (biasanya saya dan suami nonton film di kategori dewasa, setelah anak tidur. Sekitar jam 21.00 sampai 24.00).
Saya iseng saja memilih film Si Doel 2. Saya yakin adegan aman, walaupun saya tidak mengajak anak atau suami nonton. Yang penting, saat si anak mondar-mandir, tidak ada adegan “itu” dan “ini”. Ha ha ha… apa siiih. Ya… enggak ada adegan percintaan maupun kekerasan, maksudnya.
Saya sudah bisa membayangkan apa yang akan saya dapatkan dari film ini. Bukan sesuatu yang terlalu rumit, tetapi pasti daftar film yang belum saya tonton akan tercoret satu. Tunggu…memangnya Si Doel ada dalam daftar?
Sejak berlangganan Netflix, anggap saja semua film di sana yang belum pernah saya tonton, masuk dalam daftar. He he he… Sama seperti halnya dalam membaca buku, sesekali saya membeli atau membaca buku secara random (yang bukan best seller maupun rekomendasi), nah saya juga suka nonton banget. Perkara rekomendasi dan kategori: biasa, bagus saja, bagus banget atau brilian, hanya berhubungan dengan keputusan mau nonton di bioskop atau enggak, yang juga berhubungan dengan teman nonton.
Film Si Doel The Movie (yang pertama), sudah saya tonton di bioskop. Bareng Mama, kalau enggak salah. Setelah itu, Si Doel The Movie 2 dan Si Doel The Movie 3, memang saya lewatkan di bioskop. Seperti yang saya bilang di atas, saya bisa membayangkan apa yang akan saya dapatkan dari menonton Si Doel 2 dan 3, seperti halnya saya sudah menonton yang pertama dan bahkan jauh dari itu: Serial Si Doel yang “Jadoel”, saat saya masih remaja. Semua tentang Doel adalah sesuatu yang familiar. Mulai dari peran-peran, pemeran-pemeran, suasana setting, kekhasan, sampai lagunya. Familiar.
Oke… kembali ke suatu sore menjelang magrib itu.
Mulailah saya menonton film Si Doel The Movie 2. Sambungan dari film yang pertama. Ya begitu… Bang Doel pulang ke Jakarta, dengan kepelikan utama yang sama dari 27 tahun yang lalu: berada di antara Zaenab dan Sarah.
Singkat cerita, saya selesai menonton, dengan perasaan terhibur. Satu daftar tercoret. Tinggal yang ketiga. Terusin enggak ya? Terusin ah…
Keesokan harinya, saya melanjutkan menonton Si Doel The Movie 3: Akhir Kisah Cinta Si Doel, kali ini tak sengaja suami ikut nonton berhubung baru beres kerja di sebelah saya, jadi tinggal nengok ke kiri aja. Saya, baru punya kesimpulan tentang Si Doel, setelah beres menyaksikannya.
Si Doel, Bang Mandra, Budaya Betawi
Terus terang, Bang Doel bukan tipe lelaki idaman saya. Tapi pastinya tipe lelaki idaman Zaenab dan Sarah he he he…. Ya iyalahhhh…Bang Doel yang baik dan kalem, lebih ke dingin. Lelaki baik dan sholeh, itu mah idaman tiap wanita (checked!). Kalem juga, sifat (checked! lirik suami dulu, dong). Tapi Bang Doel itu suka bikin gemes karena diamnya, adalah diam yang kesannya tidak memilih. Sampai di akhir film, dia seakan “dipilihkan” oleh menyerahnya seseorang, dan penguatan dari dialog anaknya. Ya, tak apalah kalau semuanya happy dan mengerti.
Saya pribadi mendapatkan rasa terhibur pada tiga film Si Doel adalah pada budaya betawinya, pada tingkah Bang Mandra, Atun, dan segala ke’familiar’annya yang datang dari masa lalu. Tidak begitu mengharap dipuaskan oleh konflik cinta segitiga Bang Doel, Sarah dan Zaenab. Tinggal tonton saja cara mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Tidak perlu gemas ikut mikirin he he he…
Sebenarnya, ada sesuatu yang lebih penting lagi dari hanya sekadar sebuah ulasan. Film Si Doel, bisa dibilang merayakan kehadiran Ibu Aminah Cendrakasih, alias Mak Nyak, dalam keterbatasan geraknya. Menurut saya, itu luar biasa sekali. Salut pada Ibu Aminah yang masih bersemangat melakukan dialog-dialognya. Salut juga buat semua yang terlibat, untuk menghadirkan beliau. Acung empat jempol untuk ‘nilai’ yang satu ini.
Lalu untuk saya pribadi, saat ketawa-ketawa menyaksikan Bang Mandra, teringatlah sosok seseorang. Seakan-akan almarhum ayah saya ikut menonton. Saya teringat beliau selalu tertawa saat Bang Mandra muncul dengan banyolan khasnya. Iya, kami suka menonton serial Si Doel di televisi dulu, saat saya masih remaja. Jauh sekali ternyata Si Doel The Movie mampu membawa saya, sampai pada kenangan akan sosok ayah saya. Ada yang basah di ujung mata.
Pa, akhirnya setelah 27 tahun Si Doel milih ‘nyang entu’ dan pasti Papa ketawa juga lihat banyolannya Bang Mandra.
Kesederhanaan pun bisa membangunkan rasa.
Iya, sederhana saja.
Sesederhana Papa.
Happy Father’s Day!