Saya tengah mengantre di kasir sebuah toko. Di dekat mbak petugas kasir ada boks masker medis. Di sebelahnya, berderetlah handsanitizer. Pemandangan seperti ini tiba-tiba menjadi sangat familiar, ya?
Masker yang beraneka rupa motif dan bahan, handsanitizer berbagai merek dan ukuran (sampai ada refill 5 liter, yang bisa buat mandi kalau kata suami saya), menjadi semacam “jajanan” yang kita butuhkan.
Inilah hidup kita sekarang. Tidak pernah membayangkan bahwa masker penutup mulut bahkan pelindung wajah, akan menjadi item koleksi dan menggelantung di lemari. Setiap kali ada yang menawarkan masker lucu, mata juga berbinar seperti layaknya perempuan tergoda melihat jilbab baru.
Saya otomatis teringat dengan celetukan si bocah lelaki di rumah, menanggapi pandemi yang merubah kebiasaan hidupnya.
“Ini akan jadi sejarah ya, Bu.”
“Iya, Nak. Kita mengalami dan menjadi bagian dari sejarah. Persis seperti mereka yang mengalami Flu Spanyol di tahun 1918 dulu.”
Rasanya, banyak hal yang berubah dengan cepat,. Ya, termasuk ‘rasa’ itu sendiri. Sekarang pun, setiap orang bergulat dengan rasanya masing-masing. Level kecemasan, lelah, dan jenuh atas pandemi ini, berbeda bagi setiap orang. Namun, walau setiap kita memegang isu masing-masing, kita berdiri di atas satu hal yang sama: ketidakpastian kapan akan berakhirnya pandemi ini.
Ada satu hal yang menjadi kebiasaan baru lainnya sejak kita banyak diam di rumah: menjamurnya webinar di berbagai aplikasi. Iya, kan? Begitu menggiurkan, begitu dekat, begitu banyak dan begitu mungkin. Dulu, semua orang harus menempuh jarak untuk bertemu dengan panutannya di seminar. Sekarang, seakan kita bisa saling memandang. Dan dengan siapa pun, menjadi mungkin.
Begitu pun dengan tema dan judul yang ditawarkan: beragam! oh tidak… bejibun!. Dari kursus, training, workshop, talkshow, seminar, hingga rapat yang semakin “rapet” jadwalnya. Kalau versi saya dalam satu kata: Menggemaskan. Seperti melihat bayi yang lucu, seperti melihat barisan buku incaran di toko buku. Gemas. Tiba-tiba saja semua jadi bisa, dan murah (bahkan banyak yang gratis).
Tetapi, memasuki bulan ke -8 bekerja secara remote di rumah, saya dan suami mulai membayangkan, (bahkan sudah merasakannya sendiri) bahwa akan tiba saatnya orang-orang jenuh dengan semua yang berkegiatan secara online.
Dari sudut pandang seorang ibu, ada saatnya saya merasa jenuh mendampingi anak sekolah dasar belajar secara daring. Begitu Jumat sore tiba, ada keinginan rehat dari hal-hal yang berkaitan dengan sekolah dan baru siap dengan “kenyataan” bahwa besoknya akan sekolah lagi, di Hari Minggu sore. Sebagai individu yang senang belajar, saya sekarang mulai menyeleksi webinar yang sesuai kebutuhan dan ketertarikan saya.
Akhir-akhir ini saya sedang senang mengisi waktu pakai masker wajah yang dingin sambil rebahan dan baca buku, atau memperbanyak olah raga. Beres-beres rumah juga merupakan refreshing dari bersentuhan dengan gawai. Jadi bukan tidak tergiur, dan tidak mungkin pula saya tidak menghargai ilmu. Pembatasan ini semata-mata karena badan dan benak tidak sanggup menampung semuanya. Dan belum tentu setiap tawaran webinar akan aplikatif dan relevan dalam hidup saya.
Tidak tahu, apakah sudah banyak orang yang mulai merasakan hal ini? Di beberapa artikel, yang saya baca, mereka menyebutnya dengan webinar fatigue. Seseorang, katanya, bahkan mengurangi jadwal webinarnya dari 2-3 kali sehari menjadi 4 kali dalam seminggu. Saya? Rata-rata sebulan tidak sampai 4 kali, walau pernah juga seminggu ikut 2 kali karena saya pikir betul-betul membutuhkannya.
Fenomena maraknya webinar ini unik, menurut saya. Di satu sisi, ini adalah sebuah angin segar mengenai dekatnya ilmu dengan dengan siapa pun yang membutuhkannya. Juga shifting atau perpindahan dari ongkos-ongkos yang mahal, menjadi pemotongan-pemotongan biaya. Sehingga untuk mengadakan sebuah kegiatan webinar, cost-nya kini jauh di bawah seminar offline yang sebelum pandemi COVID -19 ini, lebih kita kenal. Begitu pun dengan cost yang harus dikeluarkan oleh peminat seminar. Hanya harus menghitung beberapa giga byte yang rela dikorbankan untuk sebuah seminar yang kita minati. Selebihnya, bisa duduk manis sambil ngopi, sebelahan sama anak suami. Tidak harus berdandan maksimal dari kepala sampai kaki dan tidak perlu pakai sepatu. Tidak ada ongkos bensin atau transportasi untuk membawa kita ke tempat seminar. Bahkan tidak ada ongkos penginapan yang harus dikeluarkan bila seminarnya di luar kota.
Belum lagi para narasumber terkenal yang tetiba terasa menjadi sangat personal karena bisa kita lihat close-up di layar komputer, di kotak-kotak kecil berdekatan dengan para pesertanya yang orang biasa seperti saya. Itu rasanya juga ‘wow’ banget, kan?
Tapi di sisi lainnya, itu dia…tantangan dari sesuatu yang massive adalah kejenuhan. Saya pernah ikut sebuah event webinar gratis, yang menjaring pendaftar sebanyak 400 orang. Namun pada hari pelaksanaannya, yang check-in jadi sekitar 200 orang peserta. Tentu, angka 400 orang pendaftar maupun angka 200 orang peserta, keduanya adalah jumlah yang cukup banyak dan patut disyukuri oleh penyelenggara.
Namun yang menarik adalah batalnya 200 peserta lainnya. Ada yang salah? Tidak ada. Webinar-nya sudah gratis, tema cukup menarik, narasumbernya pun orang yang cukup dikenal. Penyelenggara berhasil menjaring pendaftar sebanyak itu pun, adalah sebuah keberhasilan. Keputusan dari 200 orang yang batal, pastinya berasal dari 200 sebab dan alasan dari masing-masing individu. Mungkin ada acara penting di waktu yang sama, bentrok webinar lain, peserta sakit, keluarga sakit, ada tamu, ada undangan kawinan (oops! dengan protokol :p), lupa jadwal, dan bukan tidak mungkin baru saja melakukan webinar/meeting lain, sesaat sebelumnya. Bisa juga pada akhirnya, sesederhana memilih untuk tidak jadi ikut saja. Seseorang bisa jadi enggan dekat-dekat dengan gawai pada saat itu. Mungkin dia memilih nonton Netflix, bersepeda, atau mengurus tanamannya.
Pastinya, ada alasan di balik seseorang membuat keputusan, apapun itu. Seperti yang saya ungkapkan di atas tadi, bahwa setiap orang punya isunya masing-masing, bergulat dengan rasanya masing-masing. Apalagi saat pandemi seperti ini, bukan tidak mungkin yang dihadapi tiap individu adalah multiple issues juga. Mengalami kelelahan atau kejenuhan adalah sebuah kemungkinan yang wajar.
Ini adalah era “Harap maklum” di mana ketidakpastian adalah yang terlihat lebih pasti.
Mungkinkah, dibutuhkan webinar untuk membantu orang mengenali webinar mana yang dibutuhkannya? Atau jangan-jangan, memang dibutuhkan webinar tentang webinar fatigue itu sendiri? 😀
12/10/2020
(Puncak ironi dari uraian di atas adalah… semuanya terlintas berdasarkan beberapa pengalaman jadi peserta webinar yang sudah-sudah, dan justru ditulis ketika saya tengah terlibat dalam persiapan webinar pula. Pssst… harap maklum, ya… inilah isu saya saat ini :D)
****
(3 /11/2020) Alhamdulillah, webinar di mana saya terlibat di dalamnya berjalan lancar, tema yang diangkat memang dibutuhkan juga. Artinya, di antara bermacam ketidakpastian yang sedang terjadi saat pandemi ini, ada beberapa hal yang pasti pula: manusia masih butuh ilmu, masih saling membutuhkan, dan ingin saling berhubungan. Itu kesimpulan sederhana yang saya tangkap dari webinar yang berjalan dengan menyenangkan itu. Syukurlah 😀