Memperingati Hari Buku Nasional 17 Mei 2021, saya mencoba mengunggah 17 buku berbahasa Indonesia, yang pernah saya baca. Dipilih secara acak, urutan unggahan juga tidak menunjukkan apa-apa. Ini akan sangat menyenangkan, karena saya akan kembali menelusuri rak buku di rumah. Belum tentu buku terlaris yang akan saya unggah. Belum tentu juga buku baru. Mungkin berbentuk ulasan, mungkin hanya tentang perasaan. Semata-mata ingin bercerita tentang sebuah buku.
Unggahan #15 – Balada Si Roy
(Novel)
Penulis: Gol A Gong
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
(Cetakan kedua, Juni 2019)
Legend. Ya novelnya, penulisnya juga.
Beruntung saya sempat ikut kelas menulis cerpen Gol A Gong, dan menerbitkan sebuah kumpulan cerpen bersama teman-teman “sekelas”. Tetapi, bukan hanya karena saya telah berguru maka saya mengunggah Balada Si Roy. Buat saya, buku ini ada keistimewaannya tersendiri.
Pertama, kiprah penulisnya, Cikgu Gol A Gong, memang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Seingat saya, beliau sudah menulis, sebelum menulis itu menjadi hobi dan pekerjaan impian banyak orang. Saya sendiri dulu tidak pernah punya cita-cita jadi penulis. Jadi, bisa dibilang sosok Gol A Gong adalah sosok inspiratif yang teramat konsisten dalam dunia kepenulisan dan menggiatkan dunia literasi di Indonesia. Bahwa kini beliau jadi Duta Baca Indonesia 2021-2025, saya ikut berbangga hati. Sosok yang sangat tepat.
Kedua, Balada Si Roy membuat saya lebih mengenal tanah leluhur. Saya yang berdarah Banten ini, sebenarnya kurang begitu mengenal Banten, walau sejak kecil hingga remaja seringkali ke Pandeglang saat Lebaran hari ke-2 atau ke-3 (pulang pergi). Tetapi saya dulu hanyalah seorang anak yang dibawa orang tuanya ziarah, mengunjungi keluarga (paman dan bibinya ayah saya). Tidak sempat saya menelaah atau meresapi kehidupan di sana, karena hanya berkunjung satu hari, dalam satu tahun. Pengenalan tentang Banten berikutnya justru dari suami, yang kebetulan beberapa kali ada pekerjaan di Banten. Dia sesekali mengajak keluarga kecil kami berwisata. Karena sering survey, suami yang asli dari Aceh malah jadi lebih dulu memahami kehidupan di sana. Bahwa ada primordialisme seperti yang diceritakan di buku, tidak pernah saya tahu dan rasakan karena saya dan adik-adik, lahir dan besar di Bandung. Almarhum Papa pun semasa muda lebih banyak tinggal di Jakarta, Yogyakarta dan Bandung.
Intinya, cerita Balada Si Roy ini, selain menambah pengetahuan saya tentang kehidupan di tanah leluhur, juga menyuguhkan banyak hal, yang menggambarkan kuatnya riset dan luasnya pengetahuan penulisnya. Rasanya seperti kehujanan informasi tentang Kota Serang dan kehidupannya, sejarah dan tempat wisata di Banten, juga informasi berupa pengetahuan umum yang banyak sekali.
Ketiga, Roy nya itu lho…
Roy yang bandel, tapi sayang ibunya
Roy yang berpetualang dengan beberapa wanita, namun hanya serius dengan Dewi Venus.
Kalau baca, sungguh ingin kembali ke masa SMA yang penuh dengan keseruan, kebandelan dan persahabatan.
Boleh banget nih, baca dulu bukunya sebelum nonton filmnya nanti. Seperti yang saya tulis di unggahan sebelumnya, biasanya dengan membaca bukunya terlebih dahulu, kita akan bertemu dengan (minimal) dua semesta. Semesta yang benak kita ciptakan setelah membaca, dan semesta dari para pembuat film (dari sosok aktor, suasana dan lain-lainnya). Dengan membaca bukunya lebih dulu, kita akan menjadi lebih “kaya” karena imajinasi tidak terlalu cepat dibatasi. Sementara bila nonton dulu filmnya, kita sudah terlanjur terpaku, baik oleh sosok para pemeran, maupun visual lain yang dikemas dalam film.
Itu mah kata saya, ya… tetap ujungnya preferensi masing-masing juga sih.
Catatan: By the way, ini sama sekali bukan endorse ya, gaesss…