17 Agustus 2022
Anak lelaki tahun ini tidak ikut satu pun lomba agustusan setelah dua tahun pandemi melanda. Dia memilih janjian berkumpul dengan tiga kawan sekolahnya yang kebetulan tinggal di lingkungan yang sama. Mereka jalan kaki ke sekolah hanya untuk berfoto, lalu berkumpul lagi di rumah kami. Sempat ke lapangan komplek untuk menyaksikan yang tengah berlomba, kemudian pulang dan pindah main ke rumah salah satu dari tiga kawannya tadi. Mereka baru benar-benar bubar dan pulang ke rumah masing-masing, jelang makan siang.
Saya dan suami? Beres-beres rumah (‘Beres-beres’ saat libur itu kadang merupakan kata samaran untuk kegiatan berbentuk: mondar-mandir di rumah, dengan kegiatan minor yang banyak jeda, he he he … jadi enggak beres-beres amat juga ya, rumahnya). Kami memilih di rumah, karena keesokan sorenya (18 Agustus), suami harus berangkat ke Papua lagi. Jadi, maunya banyak-banyakin waktu bareng.
Suami mengajak kami makan siang di luar. Makan apa? Ah, pilihannya “Sederhana” saja. Iya, Warung Nasi Padang Sederhana hihihi… siapa yang sanggup nolak? Untungnya saya masih bisa kontrol, hingga nasi tambahnya juga cuma setengah saja, demi menemani kuah yang masih tersisa. Eaaa…
Saat nasi Padang sudah membuat perut kenyang, saya bertanya,” Sekarang kita mau kemana lagi?”
“Ya udah, ke masuk jalan tol aja dulu,” kata suami.
“Oh jadi juga?” tanya saya.
“Jadi.”
Kenapa ke tol? Ceritanya, dua hari sebelumnya anak lelaki baru dibelikan kabel Aux, berhubung audio di mobil kami tidak ada bluetooth. Lalu dia request ke Abunya, kalau libur, kita pergi agak jauh masuk tol, mampir ke kota atau tempat apa ajalah sebentar, terus pulang lagi saja. “Aku mau jadi operator lagu,” kata anak lelaki.
Random, ya? Iya… wkwkwk…
Singkat cerita, selesai makan nasi Padang, kami benar-benar masuk jalan tol. Saya serahkan pada “sopir” dan “operator lagu” yang duduk di depan. Saya di belakang duduk manis, tinggal ikut saja. Sempat terpikir pulang pergi ke Garut, ke Purwakarta, atau ke Bekasi, ya? Tapi hari sudah siang. Kami enggak mau pulang kemalaman. Suami spontan memutuskan kami mampir ke Sumedang, karena belum pernah mencoba jalan tol yang menuju ke sana.
Jalan tol lengang. Mungkin masih banyak orang mengikuti lomba di lingkungan rumah masing-masing.
Momen-momen menarik selama kami di jalan, saya rekam seadanya. Sang “Operator Lagu” jadi juga memainkan playlist lagunya, kadang menerima request lagu jadul orang tuanya. Ya, rasanya kami sudah jauh ketinggalan, sudah kurang update lagu-lagu sekarang, Kalau pun ada lagu-lagu sekarang yang familiar, mungkin karena kami sering mendengarkan radio saat berkendaraan dalam kota. Tetapi jangan ditanya tentang judul, apalagi penyanyinya (Kami sering pakai aplikasi Shazam jika ingin tahu, walau tetap saja lupa lagi).
(By the way, akhir-akhir ini anak lelaki gandrung dengan lagu-lagu soundtrack Laskar Pelangi. Lagu yang pastinya semua orang tahu. Pasalnya, waktu akhir kelas lima SD kemarin, saya mulai mengenalkannya dengan novel Laskar Pelangi, walau tidak kunjung tamat. Lalu nonton filmnya, sudah kenal juga dengan soundtracknya. Eh, di awal kelas 6 ini, dikenalkan lagi dengan soundtrack lainnya yang dinyanyikan Ipang yang berjudul Sahabat Kecil. Ini kok jadi out of topic ya…)
Saat bepergian, biasanya kami bernyanyi bersama dengan suara agak keras semacam berkaraoke, kadang membuat parodi dari lagu yang kami nyanyikan, biar bisa menikmati perjalanan sambil berinteraksi. Begitu juga yang terjadi di perjalanan tanggal 17 kemarin. Tahu-tahu kami sudah keluar tol, melewati Cadas Pangeran, dan akhirnya masuk ke Sumedang.
Di jalan utama, suami spontan menunjuk papan penunjuk arah.
“Eh, iya! Kita kesana aja, yuk!” intonasinya sedikit heboh untuk ukuran lelaki kalem itu.
Mata saya membaca papan yang ditunjuk suami. “Eh iya,Yuk!”
Makam Tjoet Nja’ Dhien, Sumedang.
Suami yang berdarah Aceh, sejak tahun 1992 kuliah dan tinggal di Bandung, belum pernah ziarah ke makam Cut Nyak Dhien yang sesungguhnya tidak jauh dari Bandung. Sementara, dari Sabang sampai Merauke sudah hampir semua dijelajahi, karena pekerjaannya.
Ya, akhirnya kami datang beziarah ke makam pahlawan wanita yang luar biasa itu.
Di buku tamu, di tanggal 17 Agustus 2022 kemarin, kami lihat ada beberapa nama yang berkunjung sebelum kami. Beberapa dari mereka, dari Aceh juga. Namun di momen itu hanya kami bertiga.
Selang beberapa menit, datang 4 orang lainnya. Bapak kuncen, suami saya dan satu bapak dari rombongan yang empat orang tadi mengobrol sesaat setelah berdoa, sampai adzan Asar berkumandang.
Suami dan anak saya sempat juga sholat di meunasah (musholla) di area pemakaman. Saya yang sedang tidak sholat, menunggu di tangga meunasah. Setelah sholat, kami disapa oleh salah seorang Ibu yang sudah berumur, dari rombongan tadi. Ternyata, beliau datang dari Takengon, Aceh Tengah. Suami yang kebetulan sudah beberapa kali ke Takengon untuk survei, terlihat mengangguk tahu lokasi tempat tinggal Ibu itu. Yang paling saya ingat dari percakapan kami adalah, beliau pensiunan guru. Katanya, beliau tahu tentang Cut Nyak Dhien dan lokasi makamnya hanya dari buku, saat mengajar murid-muridnya dulu. Jadi, betapa merindingnya beliau di umur yang tak lagi muda, masih sempat ziarah langsung ke makam Cut Nyak Dhien. Saya, bisa membayangkan perasaan Ibu itu, yang masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk pergi dari Takengon ke Bandung, lalu ziarah ke Sumedang. Setelah bercakap-cakap, kami yang tadi memang datang terlebih dahulu, pamit duluan juga. Sesuai request awal sang “operator lagu”, kami langsung pulang agar sampai Bandung sebelum maghrib.
Bagaimana perasaan saya? Sejak awal datang saja (di parkiran), saya bilang pada suami, saya merinding dan terharu. Tidak tahu mengapa. Mungkin karena Cut Nyak Dhien memang mengagumkan sebagai sosok berkarakter yang kita pelajari sejak sekolah dasar, yang waktu kecil saya tonton filmnya di bioskop, lalu kini ziarah bersama dengan lelaki Aceh pula.
Mungkin juga merinding karena kegembiraan atau excitement yang penuh khidmat, karena saya merasa spontanitas kami begitu bermakna dan menyenangkan. Merasa betul-betul merdeka. Wacana ziarah yang sering terlupa, justru terwujud tanpa rencana. Saya merasa bahwa spontanitas dan merdeka adalah dua kata yang begitu dekat. Menengok dua kata itu di kbbi.web.id:
spontanitas/spon·ta·ni·tas/ n 1 kesertamertaan; kespontanan; 2 perbuatan yang wajar, bebas dari pengaruh orang lain dan tanpa pamrih
merdeka/mer·de·ka/ /merdéka/ a 1 bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri: sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 itu, bangsa kita sudah –; 2 tidak terkena atau lepas dari tuntutan: — dari tuntutan penjara seumur hidup; 3 tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa: majalah mingguan –; boleh berbuat dengan –;
— ayam ki bebas merdeka (dapat berbuat sekehendak hatinya);
Dari kedua kata di atas, ada makna dan kalimat dalam dimensi yang sama: bebas dari pengaruh orang lain, berdiri sendiri, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa.
Sepertinya tahun ini, kami mengemas kata merdeka dengan spontanitas. Tidak ikut perlombaan di lingkungan rumah dan memilih quality time bertiga, karena keesokan harinya suami akan pergi ke Papua. Mengisinya dengan road trip pulang pergi spontan (tanpa tujuan awal) demi memfasilitasi “operator lagu” kami. Lalu semesta memberi kejutan sebagai hadiahnya: “menggiring” kami berziarah ke makam salah satu pahlawan nasional wanita itu. Rasanya tema hari kemerdekaan tetap kami dapatkan, meski dikemas dengan cara lain.
Mudah-mudahan, akan semakin dalam kami maknai kata merdeka, dan menemukannya di banyak kemasan hidup lainnya.
Semoga demikian juga dengan Indonesia: merdeka di kedalamannya.
(Ditulis tanggal 19 Agustus 2022)