Persembahan untuk almamater tercinta Universitas Islam Bandung (UNISBA). Tulisan ini untuk miladnya di tanggal 15 November tahun-tahun yang telah lalu, tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Saya hanya bisa menulis dan mendoakan.
November – Desember 2022, musim piala dunia FIFA
Saya, bukan penikmat bola yang fanatik. Biasanya saya baru join nonton piala dunia, saat memasuki semifinal. Selebihnya, kalau ada yang memang sedang nonton, ya ikut-ikutan saja. He… he… tahun ini juga demikian. Saya bahkan melewatkan opening ceremony-nya, tanggal 20 November 2022. Baru ngeh beberapa hari kemudian saat ramai liputan tentang Ghanim Al-Muftah yang tampil bersama Morgan Freeman.
Sama seperti yang lain, saya terharu (terharuan adalah bawaan orok :)). Dalam keterbatasannya, Ghanim bisa menyampaikan pesan damai Islam. Kagum juga dengan Qatar sebagai tuan rumah yang mengambil kesempatan mengenalkan wajah Islam sesungguhnya lewat piala dunia. Pada beberapa liputan yang ditayangkan, air mata turun juga. Merinding juga. Salut. Lalu bagaimana dengan kontroversi-kontroversinya yang konon berbau politik? Ah… anggap saja bumbu-bumbu penyedap yang ingin menutupi rasa aslinya.
Saya tetiba ingat sesuatu mengenai Surat Al-Hujurat ayat 13 yang dilantunkan Ghanim. Ya Rabb! serta merta saya pergi ke 28 tahun yang lalu. What? Iya, Tahun 1994.
Mengenal kata Ta’aruf dari Unisba
Tahun 1994, Saya tercatat sebagai calon mahasiswi baru Universitas Islam Bandung (Unisba), Jurusan Manajemen. Kami semua mengikuti pekan orientasi (Ospek), yang di Unisba di sebut Ta’aruf.
Di lembar pertama booklet yang kami bawa selama pekan Ta’aruf, terdapat kutipan surat Al Hujurat, ayat 13. Seperti yang dibacakan Ghanim pada pembukaan piala dunia kemarin.
Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
(QS. Al Hujurat: 13)
Kata Ta’aruf dan Surat Al Hujurat ayat 13 melekat di benak saya sejak saat itu.
Unisba dan si calon mahasiswi.
Di usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, saya bersekolah di sekolah swasta umum (bukan sekolah Islam). Saat SMA, bersekolah di sekolah negeri. Sehingga, begitu berkuliah di Unisba, banyak hal baru bagi saya (seperti halnya judul Ta’aruf untuk pekan orientasi tadi). Hal lain? Baiklah, mari mengorek ingatan ke tahun 1994.
*Pekan Ta’aruf dan takbir
Saat itu, mahasiswi Unisba belum diwajibkan berjilbab, kecuali pada saat-saat yang memang diwajibkan, seperti salah satunya, saat pelaksanaan pekan orientasi tadi. Pekik Allahu Akbar, menjadi pekik yang seringkali terdengar dari kakak-kakak, di saat membuka acara, saat jeda, atau kapan pun yang dirasa tepat untuk membangkitkan semangat peserta Ta’aruf. Itu yang pertama tertoreh dalam hati saya sebagai peserta Ta’aruf. Dalam keadaan (kadang) terkantuk-kantuk karena duduk di belakang waktu mengikuti ceramah, pekik ‘Allahu Akbar’, membuat duduk saya kembali tegak. Saat menulis ini, saya tersenyum. Kocak sih, mengingat peristiwa saat terkaget-kagetnya.
Selain Ta’aruf dan takbir, ada beberapa hal lain yang sangat membekas dalam ingatan saya:
*Mentoring
Setelah melewati pekan orientasi dan mulai berkuliah, mahasiswa mahasiswi baru ikut mentoring. Kami dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil, lalu secara berkala mengaji bersama dengan bimbingan kakak pengasuh. Sesekali diselingi diskusi dan tanya jawab tentang keislaman. Itu berlangsung beberapa bulan. Kalau tidak salah selama 1 semester, berikut evaluasinya.
*Pesantren Mahasiswa Baru
Jika memulai semester satu kami diwajibkan untuk ikut mentoring, maka di semester dua, para mahasiswa baru ini diwajibkan untuk mengikuti pesantren selama satu minggu, dan terbagi beberapa gelombang. Kalau tidak salah, dua atau tiga gelombang. Yang paling tidak bisa saya lupakan saat itu, jadwal pesantren saya jatuh di bulan Ramadan dan juga bertepatan dengan ulang tahun saya. Bahagia sekali. Di sana saya dapat kenalan baru, karena di setiap kamar yang menyerupai asrama dengan beberapa bunkbed itu, kami tercampur beberapa orang dari berbagai jurusan. Setiap malam dibangunkan untuk tahajud, sahur, shalat subuh, dan diakhiri kuliah subuh (ceramah). Di akhir minggu, saat pesantren berakhir, ada evaluasi berikut nilainya juga. Pesantren gelombang lain, tentu berbeda lagi jadwal aktivitasnya bila tidak jatuh di bulan Ramadan.
*Pendidikan Agama Islam
Salah satu kekhasan berkuliah lainnya adalah di setiap semester, selalu ada mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Sehingga kami harus menempuh mata kuliah PAI I, PAI II, PAI III, sampai PAI VIII dengan judul materi yang bermacam-macam.
*Sidang PAI
Tahun 1998 setelah semua mata kuliah terlampaui, tiba saatnya saya menyusun skripsi. Setelah selesai menyusun skripsi, mahasiswi dan mahasiswa Unisba tidak hanya menyiapkan diri untuk sidang skripsi di jurusan, tapi juga harus menyiapkan dirinya untuk mengikuti sidang Pendidikan Agama Islam.
Sidang PAI ini menguji wawasan keislaman secara umum. Pasti yang pernah merasakan paham betul, bagaimana sidang PAI ini membawa kesan dan kenangan tersendiri. Kenapa begitu? Karena setiap mahasiswa yang diuji, mendapatkan pertanyaan acak. Ada yang kebagian bacaan sholat, hafalan surat, tata cara sholat jenazah, ada yang disuruh membuka Qur’an dan mengaji, ada yang ditanya terkait dengan skripsi maupun kutipan ayat di lembar persembahan (lembar pertama skripsi).
Saat itu, entah bisa dibilang beruntung atau tidak, saya ditanya dua hal saja. Pertama: Tafsiran dari ayat yang saya kutip di lembar persembahan, dan kedua: diajak berdiskusi tentang opini saya dalam berteman dengan orang yang lain agama. Dan buat saya, pertanyaan-pertanyaan terbuka semacam ini, menyenangkan karena saya bisa mengeluarkan pendapat sendiri (walau tetap tegang, karena judulnya “sidang”).
Seingat saya, salah satu yang paling sering dibahas diantara sesama peserta sidang sarjana, adalah sidang PAI ini. Karena semua mendapat pertanyaan berbeda, sesungguhnya percuma saja bila menanyakan bocoran pada yang keluar dari ruang sidang PAI.
Cerita lucu tak jarang muncul dari sini. Seperti halnya seorang teman yang lupa doa iftitah, karena hanya hafal dengan lancar saat betulan sholat. Maka ia harus takbir dulu dan membayangkan dirinya sedang sholat, walau tak diminta. Atau kawan lain yang saking tegangnya lupa saat ditanya surat Al- Ikhlas, dan baru ngeh surat Al-Ikhlas itu yang mana, ketika penguji memberi clue pancingan: “Qulhu…” 😀
*Pesantren Sarjana
Setelah sidang skripsi dan dinyatakan lulus, maka para sarjana baru ini wajib ikut pesantren sarjana lagi, seperti saat berstatus mahasiswa baru. Yang saya pahami, Unisba ingin membekali para sarjananya, sebelum terjun ke masyarakat. Setelah seminggu ikut pesantren sarjana, barulah kami berhak mengambil toga dan siap untuk diwisuda sesuai jadwal terdekat.
*Souvenir dari Unisba
Wisuda, tidak kalah sakralnya dengan pengumuman yudisium. Rasanya senang bisa membuat orang tua bangga (walaupun di balik titel sarjana saya saat itu, ada titel bayangan instan berjudul: pengangguran. Oops!) Setidaknya, bagi saya ini adalah bahasa lain dari: Sudah Mah, Pah…tugas Mamah dan Papah menyekolahkan saya, sudah selesai. Terima kasih banyak… sudah menyekolahkan saya sampai sejauh ini, di tempat yang baik, dari nafkah yang halal. Ah… Saya jadi teringat almarhum Papah, nih…
Selain mengeluarkan ijazah, Unisba juga memberikan souvenir berupa Al-Qur’an. Tentu saja diharapkan dibaca oleh para sarjananya.
Oh ya, buat saya pribadi, Unisba juga memberikan “souvenir” unik yang paling indah: Suami. Cieee…
Iya, saya dan suami bertemu saat pekan Ta’aruf. Saya peserta/calon mahasiswi, dia adalah kakak kelas yang menjadi salah satu panitia di pekan Ta’aruf universitas, dan kami berbeda fakultas.
“….Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal ….”
Pas. Saya orang Sunda, dia orang Aceh. Berkenalan di tahun 1994 dan bersama hingga hari ini, 28 tahun kemudian. Alhamdulillah, harfiah sekali ayat 13 itu bagi kami berdua 😀
Bisa begitu, ya… dari piala dunia, Ghanim, Al-Hujurat ayat 13, jadi bisa mengingat kembali almamater saya. Pasti ada bisikan-Nya. Benar-benar ingat kata Ta’aruf, benar-benar kagum juga merinding saat mendengar Ghanim membacanya. Lalu terus menerus dibayang-bayangi untuk menulis cerita ini, sejak akhir November kemarin. Persembahan untuk milad almamater yang saya banggakan, karena saya tidak bisa memberi hadiah selain cerita ini.
Apakah almamater saya sempurna? Karena tidak ada manusia sempurna, maka tidak ada lembaga yang sempurna juga. Sementara lembaga adalah ciptaan manusia yang tidak sempurna tadi. Tetapi, saya lebih memilih melihat dari impact-nya yang baik buat saya pribadi dan keluarga, salah satunya keinginan untuk terus berusaha memperbaiki diri. Saya pun yakin, bahwa sejak lulus 23 tahun lalu, pasti almamater sebagai lembaga pendidikan terus berinovasi, memperbaiki sistem dan sudah jauh sekali perkembangannya.
Apakah almamater saya menjamin dapat menelurkan sarjana-sarjana shalih-shalihah? Menurut saya, sebagai lembaga pendidikan, pastinya Unisba telah menyediakan program dan bekal sebentuk muatan-muatan yang mengarahkan kepada kebaikan bagi para sarjananya. Perkara lulusannya shalih atau tidak, menjadi pribadi yang baik atau tidak, pastinya itu kembali kepada pribadi masing-masing.
(Saya menulis, sambil ambil cermin dan berkaca. Duh, maaf masih jauuuh. He he he…)
Jadi, ya… bahagia sekali saya akhirnya jadi juga menulis ini.
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah menggerakkan hati ini.
Terima kasih Ghanim Al-Muftah, yang memberikan gambaran jelas bagi kita, bahwa Allah SWT punya cara-Nya sendiri untuk meninggikan derajat hamba-Nya.
Terima kasih para dosen UNISBA, baik mereka yang sudah tiada (Yang menurut-Nya sudah cukup kumpulan amal jariyahnya untuk “pulang”), juga para dosen yang masih mengajar, maupun yang sudah pensiun. Semoga pahala atas ilmu yang dibagikan terus mengalir tiada henti.
Berkuliah di Unisba memang pilihan saya sendiri, tetapi DIA “mengolahnya” menjadi satu cerita utuh nan indah, dan terlihat jelas sekarang. Indah, dengan memahami berbagai sudut pandang, termasuk bertemu dengan partner hidup, hingga akhir-akhir ini memahami indahnya Qatar mengenalkan wajah Islam yang damai tadi.
Mungkin 28 tahun terlalu jauh untuk sebuah kilas balik (bahkan dosen-dosen sekarang sepertinya banyak seumuran, beberapa bahkan di bawah saya). Tapi tidak ada istilah “terlalu jauh” jika pada akhirnya kilas balik ini menjaga saya untuk terus bersyukur atas nikmat Islam yang saya rasakan.
Semoga dengan saling mengenal banyak suku dan bangsa, dunia senantiasa terasa damai untuk kita para penghuninya yang saling berpapasan dan hidup berdampingan. Aamiin…
Allahu Akbar!
-Mantan mahasiswi UNISBA angkatan 1994-
Catatan: Semua tulisan di atas adalah murni perasaan dan opini pribadi, dengan momen sejauh yang saya ingat. Bila ada kesalahan mengenai istilah, nama program, maupun waktu, ini semata-mata karena keterbatasan ingatan saya ke sekitar 28-23 tahun lalu.