Aku Si Terharuan. Suka sensi hingga mata berkaca-kaca kalau ada cerita-cerita yang bikin terharu. Default-nya memang begitu dari sononya. Punya anak, setiap PMS dan Perimenopause sindrom, menambah warna jiwa emak terharuan ini. Apa sih yang bikin gampang terharu? kejadian yang dilihat langsung, cerita-cerita kejadian nyata maupun pas nonton film.
Dari banyak film yang berhasil bikin saya menitikkan air mata, ada dua film yang bikin saya susah lupa. Soalnya bukan film yang sedih banget, dan nangisnya juga di adegan yang mungkin buat orang lain gak sedih-sedih amat juga.
Jatuh Cinta Seperti di Film-film
Yes, film ini keren banget. Suami saya yang orangnya jarang komentar sampai berkata tanpa saya tanya: “Filmnya Out of the Box”. Yang saya ingat:
- Adanya cerita di dalam cerita, dan alurnya berpindah-pindah dari nyata ke cerita, yang diharapkan nyata (hayo… sibuk deh melukiskannya).
- Selain itu yang juga keren buat saya pribadi adalah adanya teks skenario yang di insert ke dalam film, di bagian bawah.
- Lalu, adegan paling kocak buat saya juga adalah waktu Dion Wiyoko dkk ngebut mengendarai motor/gerobak pengantar galon air mineral. Ketika Cheline (Sheila Dara) membayangkan scene ini masuk dalam film, padahal ini nyata (di film ini). Ha ha ha… untuk menggambarkan film ini saja, sampai seseru ini.
Tunggu… ini dia bagian anehnya. Saya menangis di adegan terakhir. Adegan mana?
Adegan Bagus (Ringgo Agus) mendorong troli di supermarket, bersama Hana (Nirina Zubir) belanja groceries. Saya nangis. Ternyata itu memang hal yang paling biasa, sekaligus paling sweet dilakukan suami istri di dunia nyata. Saya dan suami seringkali belanja berdua. Kadang dengan anak, tapi seringnya tanpa anak. Rasanya candle light dinner kalah romantis :D. Dan sejauh ingatan saya, kami gak pernah melakukannya, kecuali jika lilin bulat pengusir lalat di atas meja dihitung romantis he he he… Belanja di supermarket sama romantisnya dengan momen berbincang di meja makan berdua saja, ditemani kopi yang ia seduh untuk saya. Dua kegiatan itu buat saya nilainya lebih dari kegiatan kencan fancy lainnya. Tapi ya, kesukaan dan POV orang beda-beda juga. Yang pasti adegan yang paling “biasa” dilakukan ini berhasil “nyenggol” si terharuan ini.
Nah, sedang asyik-asyiknya nangis gegara si adegan akhir, lampu bioskop menyala. Saya tiba-tiba enggak pede. Jangan-jangan orang lain gak ada yang nangis, dan saya jadi orang aneh yang nangis terharu hanya melihat adegan belanja di supermarket.
Penasaran, saya melihat sekeliling. Ternyata saya tidak sendirian, walaupun yang nangis enggak semua juga sih. Alhamdulillah saya enggak seaneh itu, ternyata. Ha ha ha…! And groceries shopping even more romantic now. LOL!
Dua Hati Biru
Anaklah yang mengajak kami menonton film ini. Awalnya saya dan suami agak malas. Nanti-nanti sajalah nontonnya. Apalagi kami dulu juga pernah nonton Dua Garis Biru. Saya pikir, enggak akan jauh lah cerita dan “rasa”nya. Selain itu kami memang punya list film yang ingin ditonton terlebih dahulu.
Anak tetap merayu dan seperti biasa, dia selalu membawa “bukti-bukti” berupa spoiler dari yang sudah menonton, bahwa film Dua Hati Biru ini bagus. Baiklah, hari itu weekend dan kami tidak ada rencana lain juga.
Benar adanya. Sebagai lanjutan, film Dua Hati Biru ceritanya lebih dalam dan lebih dewasa dari Dua Garis Biru. Tentang bertemunya kembali sepasang suami istri muda Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Aisha Nurra Datau). Sang istri yang terpaksa meninggalkan anaknya untuk sekolah di luar negeri kembali pulang ke tanah air, bertemu suami yang justru menjaga anak sejak bayi, dibantu oleh kakek neneknya.
Rasa rindu yang hanya sebentar saja, kalah dengan konflik-konflik yang segera mencuat.
- Anak yang tidak kenal ibunya di dunia nyata (biasanya hanya lewat HP), susah didekati.
- Kesenjangan pendidikan dan penghasilan yang terlalu lebar, hingga masing-masing memenangkan sudut pandangnya, termasuk di dalamnya tentang pengorbanan.
- Mana yang lebih banyak berkorban: Ibu yang mengorbankan rasa rindu dan tidak bisa melihat langsung perkembangan anaknya demi pendidikan yang lebih tinggi, atau Ayah yang mengorbankan diri tidak melanjutkan pendidikan demi bekerja menghidupi sekaligus mengasuh anak mereka?
- Belum lagi mertua-mertua yang turut campur atas nama rasa sayang, memperkeruh situasi.
Menurut saya di sini, penonton akan diajak merasa dan berpikir. Hidup tidak semudah itu, dan setiap orang pasti punya “peperangannya” masing-masing. Kabar baiknya, Bima dan Dara masih punya rasa dan mau mencoba mendengarkan satu sama lain.
Ada satu kata terucap yang kayaknya harus diingat oleh setiap individu: Evolve. Berkembang. Setiap individu harus mau belajar berkembang.
Lalu, bagian terharunya? Buat saya, seperti judul tulisan ini: di satu adegan yang mungkin bagi orang lain biasa saja. Waktu Dara berdialog dengan anaknya, dan anaknya mengelus perut ibunya itu.
Sang anak meminta maaf kalau ia membuat ibunya sakit saat melahirkan dirinya. Duh itu rasanya “jleb” dan saya nangis terharu. Bocah kecil, sesensitif itu. Yang nontonnya gak kalah sensi pula. Dahlah… Eh…keluar bioskop, masih lanjut nangis di mobil. “PMS juga sih…,” kata saya pada dua lelaki, cari alasan. Anak lelaki, dari jok belakang menyodorkan tisu yang tadi ada di sebelahnya, pada saya yang duduk di kursi depan. Sweet…
Dua adegan yang seakan biasa saja di dua film ini, enggak saya lupa. Mungkin itu juga kekuatan dua film ini. Menggarisbawahi hal biasa sehari-hari, yang sesungguhnya luar biasa. Hal yang dekat dan sering lewat (lalu: dilewatkan). Bersediakah kita menangkap momen-momen kecil yang berharga untuk disadari keberadaannya, disyukuri bahkan justru dirayakan?
I am grateful for every little thing in my life,
I am grateful for my journey…
near or far, good or bad, tiny steps or big.
for they’re all helping me to evolve, on my path of life.