Pasti pernah deh nonton film yang setingan waktunya cuma satu hari, atau semalaman aja, atau 24 jam lah. Kalau film Indonesia yang saya ingat seperti Janji Joni, Bukaan 8 dan Lovely Man. Waktu nulis ini, kayaknya baru inget yang itu aja sih. Rata-rata karakter utamanya punya satu misi utama yang dituntaskan di ujung hari (di ujung film). Walau enggak selalu, tapi biasanya kalau gak terasa sibuk pindah lokasi dan ketemu banyak orang, atau tegang terus dikejar-kejar sesuatu (target) atau seseorang. Nanti setelah rata-rata 1,5 jam atau 2 jam durasi film, mission accomplished, penonton tarik napas dan membungkus makna film tersebut.
Nah, rasa-rasanya tanggal 20 Juli 2024 lalu, itu yang terjadi pada saya. Sebenarnya kami bertiga sih yang mengalami, tapi seperti biasa… yang ngerasa-rasain dan (tentu) merangkumnya di benak, ya sayaaa 😊
Jadi, Hari Sabtu tanggal 20 Juli dari jauh-jauh hari sudah ditandai oleh anak dan Abunya. Fourtwnty mau manggung di sebuah festival musik, bersamaan dengan grup musik dan penyanyi lainnya. Saya juga ingat bahwa hari itu keponakan berulang tahun. Ternyata Abu sudah membeli tiket dan undangan makan malam syukuran ulang tahun keponakan datang juga. Keduanya di hari yang sama. Langsung saja suami mencoba melihat rundown festival musik tersebut. Alhamdulillah, katanya Fourtwnty manggungnya setelah asar, sementara undangan makan ya… malam dong, selesai sholat magrib. Tidak bentrok, maka dua-duanya kemungkinan dapat.
Sebelum ke venue festival, kami melipir dulu sholat dzuhur, makan siang dan cari kado buat keponakan. Katanya gerbang untuk festival akan di buka jam 14.00. Setelah selesai, ternyata jalanan menuju lokasi festival tidak lengang. Baru sadar bahwa pada hari itu di Bandung ada beberapa event besar selain Festival tadi. Jadi lumayan padat merayap menuju lokasi, dan hari itu terasa cukup panas juga.
Dapat tempat parkir, bukan berarti kondisi sudah aman dan nyaman. Antrean penonton mengular! Panjaaang sekali. Untung saat kami datang, loket penukaran tiket dibuka, gerbang menuju venue juga dibuka. Antrean yang tadi mengular bubar terbagi menjadi dua: Yang langsung masuk venue dan yang menukar tiket dulu. Kami bertiga masuk ke golongan yang harus menukar e-tiket dengan tiket berbentuk gelang. Untungnya antrean penukaran tiket ada di dalam ruangan besar beratap. Sementara, yang sudah punya tiket, mulai antre mengular kembali dan catat: Hari panaaas sekali.
Setelah menukar tiket, kami bertiga masih berdiam di ruangan yang semacam gudang besar atau aula itu. Selain teduh dan ada kipas angin, kami masih mikir-mikir enaknya mulai antre kapan? Padahal makin mikir, antrean makin panjang.
Sejujurnya kami bertiga malas melihat antrean yang menggila itu. Dan sepertinya benak kami tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Mau tahu pikiran saya? Saya sudah pasti batal nonton. Rasanya tidak mungkin saya bisa menikmati musik dengan situasi berdesakan dengan anak-anak muda yang bergairah, dalam cuaca panas terik (walau sudah bawa topi dan kacamata). Saya memikirkan gampang gak ke toilet dari tengah venue yang berdesakan? Lalu, kalau saya capek, saya malah nyusahin orang nantinya. Terserah mau dibilang tua atau kolot, gak asyik atau gampang menyerah. Saya hanya mengukur diri saja, tidak mau memaksakan diri, apalagi malah berpotensi bikin repot.
Sementara dua lelaki belum nyerah, hanya memutuskan untuk mulai mengantre setelah sholat asar, dan hanya akan nonton Fourtwnty saja, sebelum ke undangan makan malam. Oke kami duduk-duduk dulu, sambil menunggu sholat asar dan memerhatikan orang-orang yang baru datang dan berlalu-lalang di depan kami.
Mereka terlihat bersemangat dan sangat niat. Ada lho, yang bawa anak bayinya ke festival sepadat itu…! Lalu, melihat para remaja yang lalu lalang, kadang POV saya sebagai orang tua tersentil nakal. Ada beberapa gadis remaja menggunakan busana yang menurut saya kurang aman dan nyaman untuk berdesakan nonton konser. Untuk jalan ke mall atau ke café, okelah. Jadi kepikiran, apa ortu-nya tahu? Ahahaha… maafkan saya usil mikirin anak gadis orang. Apa hak saya, ya? (Saya jadi ingat Papa saya, yang dulu sering ngomentarin anak gadisnya. Termasuk suatu hari waktu mau kuliah pakai sandal gunung. Beliau menegur saya agar pakai sepatu, karena biarpun ada sangkutan di belakangnya, sandal tetaplah sandal. Menurutnya, kurang sopan. Duh, jadi kangen Papa…)
Jadi, rencananya setelah sholat asar nanti, anak dan suami masuk lapangan, saya menunggu di café atau mal terdekat saja sambil baca.
Saat sholat asar tiba (kami bertiga tidak mendengar adzan, tapi ada notifikasi di telepon genggam), kami beranjak mencari mushola atau masjid terdekat. Disinilah plot twist-nya:
Makin keluar, kami menyaksikan antrean makin menggila. Ternyata tadi itu, kami terkategori datang awal. Gila! Antrean yang kami lihat tadi ternyata belum seberapa. Dengan kata lain, harusnya kita masuk antrean dari sejak mendapat tiket gelang. Kalau antrean pakai istilah “mengular”, berarti tadi kami sudah di “leher”nya 😊 Waaaah! Kebayang kan? Sementara kami ini mau sholat dulu, keluar dari posisi awal “leher” tadi ke arah “buntut”, lalu akan kembali ikut mengantre di paling belakang lagi, dan bahkan lebih luar lagi (sampai jalan raya). Plot twist kedua adalah, secara random dan terpisah kami menanyakan tempat sholat kepada dua orang panitia (satu orang di antaranya adalah security), dan keduanya tidak tahu. Artinya, situasi kita jadi ada dua. Pertama: cari masjid di luar area festival, kedua: beneran harus kembali mengantre dari belakang! Sepertinya tidak mungkin, karena kita akan mengejar undangan makan malam keluarga juga.
Setelah melihat dua situasi ini anak langsung memutuskan.
“Gak usah jadi nonton aja lah…” katanya.
“Yakin?”
“Yakin,” katanya tegas tapi santai.
Kami berlalu untuk mencari tempat shalat asar dan sekalian ke Jl. Asia Afrika menuju lokasi makan malam. Sejujurnya saya senang anak realistis, apalagi mempertimbangkan sholat terlebih dahulu.
Dia bilang, “Setidaknya aku jadi tahu lebih kurang festival musik atau konser yang seperti apa yang saya mau tonton lain kali.”
“Ini kita seakan-akan membeli pengalaman ya, Bu?” katanya lagi, bicara mengenai uang tiket yang sudah dikeluarkan.
Saya bilang, “Iya, hikmahnya kita jadi tahu situasi seperti ini. Bisa mengambil pelajaran untuk ke depannya, jadi enggak terlalu rugi juga, kok…”
Yang kocak, di mobil anak memasang lagu-lagu Fourtwnty dan lagu-lagu dari penyanyi lain yang seharusnya kita tonton tadi. Kita tetap happy, di tengah lalu lintas Bandung yang memang sedang luar biasa.
Ternyata, semesta belum selesai bercanda. Ia lanjut mencolek kami selepas dari sini. Klik link di bawah ini:
Poked by The Universe #2: Ben, Jody dan Anak Lelaki