Sistember and Broctober

Sebuah foto yang saya pilih untuk diunggah di medsos sebagai ucapan ulang tahun adik perempuan saya di bulan September 2024 kemarin, membuat hati saya tersentuh. “Duh, anak ini, sudah ibu-ibu juga!”

Mulailah menulis tulisan ini, demi menelusuri rasa.

Belum sempat diunggah, tahu-tahu tibalah saya di hari lahir almarhum adik lelaki, si anak tengah, di bulan Oktober. Akhirnya ini jadi semacam tulisan untuk merayakan peran kakak beradik, dari sudut pandang dan perasaan saya, si anak sulung.

***

September 1987, bulannya adik perempuan yang usianya terpaut 11 tahun. Waktu dia lahir, saya dan adik lelaki tentu menyambut “mainan” baru kami dengan bahagia sekali. Seringkali, kami gendong, ikut jemur, dan ajak main. Tiap si bayi bangun dari tidur pagi atau siangnya, kami berhamburan ke kamar Mamah dan Papah, siap mengajak main dan melihat kelucuannya.

Ternyata, usia 11 tahun adalah milestone buat seorang saya, si anak pertama, perempuan dan beranjak remaja pula. Jadi saya baru ngeh sekarang ini, bahwa kata-kata: mengasuh, mengalah, mandiri, menolong, dan semua dimensinya otomatis menempel rekat dan erat begitu adik bungsu kami lahir. (Ehm… kata orang tua kami kehamilannya memang tidak direncanakan 😊)

Sekitar akhir tahun 1987, Suatu hari Mamah menitipkan si bayi yang baru berusia beberapa bulan kepada saya, karena harus menghadiri undangan. Sepertinya undangan pernikahan kerabat (saya lupa). Mamah pasti perhitungan. Undangan pasti datang dari orang yang sangat dekat hubungannya, dan seingat saya jaraknya relatif dekat dengan rumah kami. Jadi mungkin 2-3 jam saja kami akan ditinggalnya.

Menggendong, mengajak main, bikin susu hingga mengganti pampers, sudah pernah saya lakukan. Yang belum pernah dan menjadi “ancaman” terbesar bagi gadis kecil 11 tahun adalah: mengganti pampersnya, jika dia pup. Saya tanya Mamah bagaimana kalau itu terjadi? Kata Mamah tunggu saja, atau kalau mau coba gantiin, coba saja.

Gimana sih, probabilita bayi pup dalam 2-3 jam? Ah, kecil kan kemungkinannya? Buuut… it happened!!! Tadaaa… Why??? Why???

Mau pilih menunggu Mamah pulang dengan bebauan dan rasa hangat di tangan yang tidak nyaman saat harus menggendong, atau ganti pampers aja? Saya enggak mau bau berlama-lama dan tertantang juga ingin bisa. Akhirnya saya beranikan diri, mengganti pampersnya seperti yang sering saya lihat Mamah lakukan. Nyengir, dan memonyongkan mulut ke atas untuk menutupi hidung (karena tangan harus membersihkan si bayi sekaligus mengganti dengan pampers bersih). I did it! Pertama kalinya si anak 11 tahun yang saat itu kelas 6 SD, bisa mengganti pampers adik bayinya yang pup tanpa dibantu. Bangganya luar biasa. Begitu Mamah datang, langsung laporan dengan bangga.

Walau sudah jadi kakak dari anak lelaki, tapi saya tidak tahu dan kurang memaknai istilah menjadi kakak karena jarak usia yang dekat (selisih 2 tahun). Jadi, dengan peristiwa di satu hari di tahun 1987 itulah, mungkin tanpa sadar saya menerima peran menjadi kakak pertama, yang ditempeli kata-kata: mengasuh, mengalah, mandiri, menolong, melindungi dan semua kata dalam dimensi seorang kakak itu tadi.

Perjalanan kakak beradik kami bertiga sungguh seru dinamikanya. Tentu saja tidak semuanya enak. Suka berantem serius dari kecil sampai besar (saya pernah nangis, berantem dengan adik lelaki), pernah salah paham dan waktu kecil sering berebut sesuatu. Isu nyata lainnya adalah isu berbagi. Selain belajar berbagi kasih sayang, saya juga harus belajar menerima berbagi kamar saat pindah rumah. Waktu itu saya berusia 13 jelang 14 tahun, dan adik perempuan saya 2 tahun. Bayangkan bagaimana barang-barang anak gadis bercampur dengan barang-barang bocil 2 tahun? Dengan hormon dan gejolak masa puber, rasanya campur aduk. Mau sebel tapi sayang banget juga. Ha ha ha… sementara si adik lelaki dengan nyamannya punya kamar sendiri. Huh! (nulis sambil senyum-senyum geli sekarang). Untung saya dulu aktif, punya banyak kegiatan. Jadi kondisi itu diterima saja. Lagipula secara teknis, si adik kecil masih sering tidur di kamar Mamah jadi barang-barangnya saja yang berbagi ruang. Sampai pada akhirnya saya punya kamar sendiri berukuran kecil saat akhir SMA, jelang kuliah. Bahagia banget dapat kamar. Biar kecil, yang penting punya privasi.

Rasa cemburu juga ada. Perhatian tertuju pada si bayi yang lagi lucu-lucunya, sementara si sulung dianggap sudah mandiri dan terlihat sibuk saat SMP. Diam-diam ada juga ternyata perasaan dicuekin. Semandiri apapun, saya tetap seorang anak ‘kan? Begitu lebih kurang perasaan saya dulu.

Cerita kakak beradik kami memang bertiga, tetapi sisterhood hanya dipunyai saya dan adik perempuan saya. Oh yaaa salah satu yang paling ingat saat saya (kuliah usia 18-19 tahun) dan mantan pacar yang lagi pedekate nonton bioskop, si bocil (usia 7-8 tahunan) “ngikut ganggu”, duduk di tengah. Ngobrol pun disela sama bocil yang ingin ngobrol juga. Kocaaak…

Ada kisah senang, ada juga kisah sedih. Papah meninggal saat adik bungsu masih kelas 3 SMA dan saya sudah menikah. Kami mencerna duka dengan rasa di posisinya masing-masing. Saya si sulung yang merasa belum banyak berbakti, sekaligus berempati pada adik bungsu yang belum lulus SMA, baru mau kuliah dan sudah pasti menikah tanpa Papah. Berat rasanya.

Delapan tahun kemudian adik lelaki sakit, meninggal dunia tahun 2012. Sedihnya, luar biasa. Perjalanan adik kakak kami harus berhenti. Bertiga menjadi berdua. “Harusnya kan….” adalah awal kalimat yang paling banyak diungkapkan.

Tapi mungkin, cobaan-cobaan itu juga yang membuat kami bertahan, makin bisa memaknai kehidupan dan kematian. Pada ujungnya semua akan kembali, sendiri-sendiri. Dan cobaan kami pun mungkin tidak seberapa dibanding orang lain di luar sana.

Jadi September kemarin, selain mensyukuri hari lahir adik bungsu kami, saya juga seakan mensyukuri diri sendiri menjadi seorang kakak. Terharu melihat sebuah foto, dimana saya dan adik perempuan saya difoto berdua bersebelahan sudah sama-sama menjadi Ibu, sambil membayangkan bagaimana jika si anak tengah masih ada. Lelaki yang sudah 12 tahun belakangan ini tidak lagi kami hitung umurnya pada bulan Oktober, karena pergi di usia 33 tahun, jelang 34.

Kini, si bungsu berusia 37 tahun, yang jika ditambah 11 adalah umur saya (alhamdulillah masih ada, entah sampai kapan).

Cerita-cerita dan teori tentang anak perempuan pertama baru saya simak dan pahami beberapa tahun belakangan ini. Saya menepuk pundak dan memeluk anak gadis berusia 11 tahun, di tahun 1987 itu: saya kecil. You may not a perfect big sister or daughter, but you will always try to do your best. Good Job, sayang…

Sekali lagi, selamat ulang tahun, ya adik perempuan… terima kasih telah menjadi bagian hidupku. Mengasuhmu dari bayi, banyak membantuku saat akhirnya aku menjadi Ibu. semoga segala kebaikan selalu menyertaimu. Enjoy your life to the fullest…and keep our childhood memories

 

Here’s to those two months I call Sistember and Broctober 😊

And hug from me to all first-born daughters…

 

You may also like