Ruben berdiri di hadapannya. Benar, ia si pangeran itu. Berubah, tentu saja. Namun tetap proporsional. Sialan kamu, Ben! Kenapa kamu tetap seperti dulu? Perasaanku bakal repot hari ini. Kayla menggerutu dalam hati, tapi merasa konyol sendiri. Kayla berusaha sekuat tenaga mengontrol dirinya. Ia menarik napas pelan-pelan, persis seperti yang diajarkan guru yoganya.
“Haiiii Ruben! Baik… kamu apa kabar?” Kayla balik bertanya seraya menyalaminya kencang, hingga terguncang-guncang.
Setelah itu, yang keluar dari mulut mereka berdua adalah tanya jawab standar reuni pertama. Kayla tidak terlalu fokus mendengar apa yang Ruben katakan. Sesungguhnya, ia beberapa kali mendengar kabar tentang Ruben dari teman-temannya hingga ia tahu sedikit tentang laki-laki itu. Ia cenderung menanyakan hal yang sudah ia tahu jawabannya. Kayla malah lebih fokus memerhatikan Ruben. Wajahnya tidak terlalu banyak berubah. Perutnya hanya buncit, sedikit. Masih wajarlah bila dibandingkan dengan sebagian besar teman lelaki lainnya. Penampilannya gagah dan…yah… tampan. Uban yang mencuat tak banyak, malah membuatnya lebih terlihat elegan dan matang.
Obrolan pertama mereka juga terganggu cekikikan dan teriakan-teriakan dari grup-grup kecil yang terbentuk. Teriakan lebih besar tetap terjadi saat pintu terbuka, dan seorang alumni masuk ke dalam ruangan. Saat itu Kayla sadar. Ini momen yang sangat singkat dan akan berlalu cepat. Ini adalah pertemuan dan pesta rindu massal. Ia akan aman-aman saja.
Momen ini adalah momen untuk membahas hal yang semua orang tahu. Tentang guru yang galak, tentang jajanan di sekolah, tentang peristiwa-peristiwa penting selama mereka bersekolah. Kisah Kayla dan Pangeran Kecil-nya tidak punya tempat dan waktu. Apalagi bila kedua orang yang bersangkutan merasa tidak perlu membahas apa-apa.
Kayla merasa bersyukur, karena tadi di rumah tidak jadi dipusingkan dengan kostum. Hari ini, ia tampil biasa saja. Kemeja berwarna putih, celana panjang berwarna khaki dan sepatu sandal berwarna putih. Kayla berusaha tampil natural. Ini bukan prom night. Ini adalah pertemuan ibu-ibu dan bapak-bapak yang dulunya satu Sekolah Dasar. Memikirkan kembali premis itu, Kayla merasa geli sendiri.
***
Pembawa acara yang sudah memegang mikrofon, memanggil seluruh alumni yang tersebar di beberapa sudut, untuk masuk ke tengah ruangan. Acara akan dimulai. Semua alumni duduk membuat lingkaran besar. Beberapa orang masih mengeluarkan suara-suara kecil. Waktu untuk saling bertukar cerita hari ini rasanya tidak akan cukup.
Kayla memandangi satu persatu alumni yang datang. Ah, Itu Naira! Duduk jauh darinya. Dia juga tidak banyak berubah. Tetap cantik tanpa riasan yang berlebihan. Menggunakan T-shirt berwarna merah muda dan celana jeans. Semua yang ada di dirinya tampak pas hari itu. Tidak berlebihan, tidak juga kurang.
Kayla memanggil Naira dari tempatnya dan melambaikan tangan. Naira tersenyum manis, balas melambaikan tangannya. Posisi mereka berjauhan. Nanti, kalau ada jeda mungkin mereka bisa berbicara. Lagipula, Pembawa acara terus menerus mengingatkan para alumni untuk tidak mengeluarkan suara, karena acara akan segera dimulai.
Sepertinya bagi setiap pembawa acara, memandu acara saat reuni adalah yang tersulit. Apalagi ini adalah reuni pertama, setelah puluhan tahun terpisah. Sudah lama tidak bertemu, kangen yang membuncah dan waktu yang sempit, akan membuat pembawa acara harus sedikit berteriak atau mengulang-ngulang panggilan, agar berhasil memandu acara sesuai jadwal.
Ruben duduk di seberangnya. Posisi Ruben, Naira dan dirinya, membentuk segitiga. Apakah dulu itu juga cinta segitiga? Hush! Kayla berusaha mengusir pikiran-pikiran yang sudah kemana-mana itu. Dia berusaha mengingatkan dirinya tentang esensi acara hari ini. Tentang teramat tidak pentingnya kisah yang tengah dipendamnya. Ia bahkan menyuruh perasaannya untuk siap dengan dugaannya di rumah tadi. Kemungkinan, Ruben akan lebih mengamini gosipnya dengan gadis tercantik di sekolahnya, daripada membuka aib tentang surat-surat antara dirinya dengan ‘seorang Kayla’.
Ia cepat-cepat mengontrol perasaannya, dan kembali menikmati reuni. Kisahnya itu, anggap saja sebuah fiksi dalam buku harian yang ditulisnya semasa SD dulu.
Acara berlangsung menyenangkan. Semuanya memperkenalkan diri kembali, sekaligus memberikan kabar terbarunya. Tentang keluarga, tentang pekerjaan dan domisili tempat tinggal. Sesekali, tatapan mata Ruben dan Kayla bertabrakan. Lagi-lagi Kayla mengingatkan dirinya bahwa tatapan mata Ruben juga bisa bertabrakan dengan Naira, dengan Dian, dengan Rahma, dan dengan semua peserta reuni. Gak usah ge-er! Kata hatinya menceletuk sadis.
Setelah acara perkenalan, Pembawa acara mulai masuk sesi mendebarkan. Sesi nostalgia. Kayla merasa ingin lari saja ke meja makan pura-pura lapar. Terpikir juga olehnya pergi ke kamar kecil, dan tidak keluar sampai acara nostalgia kelar. Tentu saja, akal sehat yang didominasi usianya yang tak lagi muda itu, menang. Ia hanya perlu menahan rasa sebentar saja, lalu semua siksaan akan berakhir.
“Oke… sekarang, setiap alumni, silakan menceritakan tentang momen yang paling tidak terlupakan. Bisa tentang gebetan, boleh juga tentang guru, atau tentang peristiwa-peristiwa heboh yang terjadi selama masa sekolah dulu. Ya! Kita mulai dari Mbak yang baju ungu di ujung sana! Silakan…,” pembawa acara menunjuk Nita.
Kayla masih punya waktu sebelum mikrofon sampai ke tangannya. Ia mencoba mengingat-ingat peristiwa yang paling lucu, atau paling tragis selama ia bersekolah. Apa pun, asal bukan tentang Ruben, bukan tentang kisah mereka. Atau… haruskah aku menceritakan pangeran kecilku? Bukankah tidak harus disebutkan namanya?Bukankah akan terlihat reaksinya, bila aku menceritakan rahasia kecil ini? Hati kecil menggodanya.
Mikrofon disodorkan Mia. Kayla mengambilnya pelan, masih berpikir. Ia tidak berani ambil risiko. Detik terakhir, ia teringat saat pekan imunisasi di sekolah. Kayla menceritakan tentang teman-teman sekelasnya yang punya rasa takut disuntik. Ia teringat Firzan yang lari sambil menangis ke belakang kelas, dan jongkok bersembunyi di bangku terbelakang. Teringat juga tentang Rina yang berusaha menyiapkan diri untuk disuntik, dengan cara berdiri di samping mantri yang sedang menyuntik teman-temannya. Semacam asisten Pak Mantri, bukannya ikut berbaris menunggu giliran. Firzan dan Rina terkekeh-kekeh. Yang lain tertawa terbahak-bahak mengingat pekan imunisasi, yang saat kecil rasanya begitu mendebarkan. Lebih menegangkan dari ujian.
Terlewati sudah perang batin Kayla. Ada yang dengan ikhlas ia lepaskan. Kisah Kayla dan Pangeran Kecil biarlah benar-benar menjadi legenda bagi dirinya sendiri. Antara ada dan tiada. Hatinya lepas, ia merasa lega.
Mikrofon sampai pada Naira.
“Cieee Ruben, dong Nai! Tentang Ruben…,” Mia menyeletuk keras, disambut gemuruh tepuk tangan, komentar dan siulan dari peserta lain.
Hati Kayla yang bebas lepas tadi, kembali terikat. Namun, kali ini ia malah jadi ingin tahu. Ia ingin menyimak cerita perjodohan putri cantik dan pangeran tampan. Ia ingin tahu kisah yang menjadi pengetahuan wajib anak-anak seangkatannya.
Ayo Naira, ceritakanlah…
“Apaan, sih? aku bukan mau cerita itu. Lagian enggak ada apa-apa antara aku dan Ruben. Iya kan, Ben?” Naira sewot, melemparkan tanya pada Ruben.
Di seberang sana, Ruben cuma nyengir. Namun matanya melirik dua detik saja ke arah Kayla. Jantung Kayla berhenti sebentar. Dua detik juga, mungkin. Ia menangkap gesture lelaki itu dan tiba-tiba hatinya gelisah. Kenapa Ruben melirik ke arahnya?
Cerita nostalgia Naira, benar-benar bukan tentang Ruben. Ia bercerita saat Mia kepergok mencontek oleh guru, lalu soal dirinya pernah dihukum guru piket karena terlambat masuk kelas. Tidak ada Ruben hingga akhir ceritanya.
Kayla tenggelam, atau menenggelamkan diri dalam setiap cerita kawan-kawannya. Ia tertawa penuh kesadaran, juga mengingat lirikan mata Ruben dengan kesadaran yang sama. Namun ia hanya mengingat, ia tidak mau bersikeras memikirkan maksudnya. Semua ini sudah cukup di situ. Kecuali… kecuali… kecuali dari Ruben sendiri, yang belum dapat giliran bercerita. Entah cerita nostalgia apa yang akan diungkap oleh lelaki itu. Ia betul-betul menunggu mikrofon sampai di tangan lelaki itu.
Ruben sudah memegang mikrofon di tangannya. Ia melirik Kayla lagi. Dua detik lagi. Ia juga melirik ke Naira setelah Tonny di sebelahnya menceletuk,”Pasti tentang Naira, deh!”
Ruben melirik dua detik lagi ke arah Kayla, dan denyut jantung perempuan itu berdetak keras…
“Kalian ini maksa-maksa melulu dari tadi, deh.” Ruben membuka pembicaraan dengan nada yang riang dan lucu.
Setelah itu, yang meluncur dari mulut Ruben adalah cerita tentang kenakalan dirinya dan teman-teman dekatnya. Ia juga mengingatkan cerita tentang pertandingan bola antar SD yang seru dan dimenangkan oleh sekolah mereka. Menceritakan juga seorang teman yang sudah tiada, sesaat setelah mereka lulus. Ia benar-benar pandai membawa suasana. Ia bisa melarutkan suasana menjadi haru, berdoa sebentar dan mencairkan suasana dengan melucu lagi.
Semuanya sudah dewasa. Biarpun memang ada pengakuan dari teman lain tentang taksir-taksiran, namun semua mengalir dengan ringan saja. Mengapa Kayla, Ruben atau Naira tidak bisa begitu?
Mudah rasanya bagi Ruben atau Naira mengiakan gosip tentang mereka. Itu kan hal ringan yang akan membuat orang lain senang? Itu kan memang opini yang sudah terbentuk? Tinggal diikuti saja buat senang-senang, bukan? Pikir Kayla.
Atau, kenapa juga ia tidak iseng untuk membuat pengakuan tentang rasa sukanya pada Ruben waktu SD dulu? Bukankah bila ia melakukannya dengan lepas ia hanya akan mendengar sorak, sekaligus melihat ekspresi Ruben?
Akhirnya, semua yang terjadi, hanya mengindikasikan dua hal: “ Kisah Kayla dan Pangeran Kecil” memang ada dan terlalu nyata, atau justru mereka berdua memang memilih untuk lupa.