(Image dari Netflix)
“Sudah bikin ulasan film Nur?”
Suami saya bertanya untuk kesekian kalinya. Terakhir, dua hari lalu dia bertanya lagi, karena Nur akan tayang selama bulan puasa di TV lokal. Menurutnya, saya hampir kehilangan momen. He he he. Iya, saya sudah menulis kotretan review film Nur ini, sejak tamat nonton di Netflix sekitar Februari- awal Maret lalu, tapi belum diunggah. Ah, ya gak apa-apa…
Ini sepertinya ada kaitannya dengan keajaiban algoritma juga. Entahlah. Ceritanya, di bulan-bulan terakhir tahun 2020, saya sedang mencari referensi tontonan atau bacaan yang bertema sama atau setidaknya dekat dengan buku saya berjudul Tentang Kupu-kupu (2016). Bukunya sudah lama terbit, sementara pencarian referensi ini, hanya keingintahuan saja. Lalu, muncul film Nur di halaman utama Netflix saya. Membaca resensinya, saya segera menandai dan memasukkannya ke dalam daftar yang akan ditonton, entah kapan.
Oh iya, seperti halnya membeli buku secara random, saya juga suka “berkelana dan nyasar” ke film-film yang non rekomendasi atau yang bukan box office. Yakin, ada yang bisa didapat dari cerita-cerita yang tidak terkenal sekalipun. Kadang, mencoba untuk menganalisis kenapa tidak banyak yang merekomendasikan, walau sama seperti industri buku, pada akhirnya ada banyak faktornya.
Begitulah, pada akhirnya, sekitar akhir Februari 2020 kemarin saya tonton juga film religi Nur, produksi Malaysia (2018) itu. Dan tanpa rencana juga, suami ikut nonton. Sejumlah 19 episode kami tonton dan kami puas. Mungkin itu juga yang membuat suami menganjurkan saya menulis ulasannya. “Flmnya sederhana, tapi bagus banget pesannya,” kata suami. Saya setuju.
Drama religi ini bisa jadi piknik rohani, shortgetaway dari drakor maupun ‘cool film’ lainnya. Aktornya ganteng juga, kok. #ehgimana?
Intinya, film ini memberikan gambaran bahwa kebaikan ada di mana-mana, bahkan di tempat yang menurut manusia adalah tempat atau pribadi yang “kotor” sekalipun. Sebaliknya, keburukan juga ada di mana-mana, bahkan di tempat dan wujud yang terlihat “suci”.
Konflik yang menggemaskan, membuat kita berpikir ulang tentang iman dan kesalehan di tataran norma dan pandangan manusia. Saleh dan kesalehan, iman dan keimanan itu apa sih? Bentuknya apa? Validkah penilaian sesama manusia? Jangan-jangan ilmu kita terlalu dangkal untuk mengukurnya, hingga sesungguhnya tidak sanggup menilai secara benar-benar obyektif tentang kesalehan dan keimanan seseorang.
QS Al-Ankabut ayat 2, menjadi highlight di film ini.
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?
Yang sudah merasa beriman, jangan merasa aman. Mungkin sebaiknya sisakan celah dalam diri untuk perasaan-perasaan “Mungkin saya belum betul-betul benar” atau “mungkin saya tengah diuji dalam sebaik-baiknya wujud dan keadaan.”
Yang merasa masih banyak dosa (kayak saya), jangan putus asa. Jangan berkecil hati. Allah Maha Tahu, Maha Pengasih dan Penyayang. Dia juga Maha Adil, hingga setiap hamba punya jatah perhatian-Nya, tanpa kecuali. Cari dan dekati Dia terus, jangan kendor.
Itu yang bisa saya cerna dari film Nur ini. Tidak mungkin Allah SWT hanya menilai dari rupa dan label. Allah pasti punya penilaian yang komprehensif, atas setiap makhluk ciptaan-Nya.
.
Rasanya, film Nur ini memberi “cahaya” dan harapan bagi siapa pun yang juga mencari cahaya-Nya, sekaligus kontrol diri untuk tidak terlalu mudah menilai kadar kesalehan seseorang. Layak untuk disimak.