Bulan Januari 2020 sudah hampir habis. Blog saya masih kosong, kepala saya penuh. Banyak ide baru di luar blog, banyak daftar utang dalam To Do List bawaan awal tahun lalu (bahkan lebih jauh), tetapi selalu terhalang keadaan. Alasan, memang. Padahal resolusi saya cuma satu: Fokus, untuk melakukan semua rencana yang ingin saya lakukan.
“One day, You will wake up and there won’t be any more time to do the things you’ve always wanted. Do It Now.”
-Paulo Coelho-
Tetapi, selalu ada saja satu, dua, tiga hal yang membuat niat-niat tertunda. Bahkan pengalaman di tahun 2014 yang membuat saya berniat fokus (kerena “ditampar sesuatu” hingga sadar bahwa waktu terbatas), tetap belum bisa membuat tekad saya kuat.
Untunglah, di luar aktivitas-aktivitas yang ingin saya kerjakan, satu fokus saya yang lainnya berjalan dengan cukup baik. Alhamdulillah. Tetap fokus menjadi ibu dan istri, lengkap dengan kehebohan, kebawelannya, kegalakannya (hihihi). Masih jadi “guru les” anak di rumah. Entah ya kalau dia sudah naik kelas 4 nanti. Sekarang masih sempat mengajar dan bikin soal untuk latihan jelang ujian. Belum terbayang kalau saya menambah fokus pribadi yang tertunda-tunda itu. Mudah-mudahan semua bisa dijalankan dengan selaras.
Jadi, resolusi 2020 utamanya ya itu saja. Melakukan rencana-rencana tertunda, dan mengurangi distraction. Uraian detailnya? Ada laaah… enggan sesumbar (biar bisa ngeles lagi tahun depan ha ha ha!)
Oh ya, apa yang sudah 2019 ajarkan pada saya? Klise. Banyak sekali! Tapi ada dua hal yang paling saya ingat di tahun 2019.
While They Were Far Away
Awalnya, pengalaman bulan Juni 2019 ini mau saya jadikan satu cerita terpisah selepas mengalaminya (See? Dari Juni lho! Dasar penunda!) tapi, biarlah saya ceritakan di sini. Karena saat menutup tahun 2019, saya menyadari ternyata cerita ini menjadi salah satu highlight of my year.
Jadi, ada dua keinginan yang menjadikan pengalaman di bulan Juni ini terjadi.
Pertama, keinginan Suami, yang pernah dilontarkan saat anak masih Batita. Dia ingin, suatu hari nanti berjalan-jalan berdua saja dengan anak lelaki kami. Maksudnya? Iya, traveling ke luar kota. Berlibur berdua saja.
Kedua, keinginan saya sendiri. Saya ingin suatu hari mempunyai Me Time. Sesungguh-sungguhnya Me Time. Saya ini orang yang sesekali memerlukan solitude. Suka berteman juga tentu, karena saya suka ngobrol dan tertawa. Namun, saya betah juga beberapa saat sendirian. Belum paham meditasi, namun semacam itulah yang sesekali saya butuhkan. Bercengkerama dengan diri sendiri. Menurut saya, itu perlu.
Dulu, waktu remaja, saya sering jalan sendirian saat jeda antara pulang sekolah dan les. Entah ke toko buku, atau duduk melihat orang-orang. Lalu, sebelum punya anak, saya pernah beberapa kali melakukan solo traveling. Nah, setelah punya anak, suka berandai-andai dapat”cuti” seperti orang kantoran. Berapa jatahnya setahun? 12 hari? Yah, intinya ingin merasakan itu. Jadi Me Time yang bukan keluar dari keluarga, untuk kemudian bergabung dengan yang lain. Me time di kamus saya, benar-benar sendirian.
(Jangan khawatir. Saya masih sanggup “say hi” sama orang lain. Masih bisa meet up ini itu, reuni dan lain-lain. Masih bisa kenalan dengan orang baru. Ini cuma membayangkan off saja sejenak dari “jabatan-jabatan” mulia pemberian-Nya itu)
Keinginan kami berdua dikabulkan bulan Juni tahun 2019 yang lalu. Saat libur panjang akhir tahun ajaran sekolah, suami belum bisa libur. Ada kerjaan di Aceh, kampung halamannya. Tetiba muncul wacana untuk membawa anak ke rumah Misyik (Nenek) di Sigli.
“Berdua aja?” tanya saya, antara excited sekaligus ragu.
“Iya, berdua aja aku sama dia. Kamu di rumah aja, Me Time. Lagian tiket mahal. Kalo aku kan memang ada kerjaan,” katanya yakin.
(Perlu alasan logis yang kuat agar akhirnya sanggup melaksanakan niat itu. Kalau tidak begitu, tidak akan pernah terwujud. Alasan tiket mahal salah satunya. Tiket ke Aceh saat itu memang tidak masuk akal, walau bisa saja dipaksakan. Bukan pelit ya, hanya waktu dan alasan yang tepat untuk mengabulkan dua harapan kami tadi. LOL!)
Ini akan jadi hal baru, bagi saya, bagi anak, bagi suami. Saya dan anak tidak pernah berpisah lebih dari satu hari sejak dia lahir. Dan jarak pisahnya pun tidak jauh. Di komplek sebelah.
Sejak wacana itu muncul, yang terjadi adalah: berulang-ulang meyakinkan diri saya sendiri bahwa ini tidak apa-apa. Sementara mereka berdua sudah yakin sekali. Itu artinya, mereka akan pergi setidaknya 5-6 hari. Saya mulai pasrah saat tiket berangkat sudah diterbitkan. Saya pun berkata dalam hati, Kan kamu sendiri yang ingin “Me time”?
Saya mungkin belum jadi ibu yang sangat baik. Tapi saya ibu yang sangat sangat sangat sayang anak saya. Jadi, saya tidak tahu, apakah kecemasan ini berlebihan atau tidak? Apakah saya hanya sekadar cemas, takut terjadi sesuatu pada mereka berdua? Apakah saya cemas karena rutinitas saya bersama anak tetiba “dihapus” begitu saja? Ada rasa takut, bahwa mereka berbahagia tanpa saya. (Mungkin saja, bukan? He he he).
Saya tidak tahu mana yang paling dominan. Yang saya tahu: saya cemas.
.
Hari itu datang. Saya antar mereka ke bandara. Mereka mengambil rute Bandung – Kuala Lumpur, Kuala Lumpur – Banda Aceh.
“Kamu punya rencana apa?” kata suami di mobil.
“Paling nulis, baca, jalan-jalan. Yang pasti Me time lah…,” kata saya, sok yakin.
Padahal, betapa cemasnya saya, Ya Allah… kalau waktu dulu saya baca-baca tentang separation anxiety pada saat anak masih bayi dan masuk taman bermain, rasanya sekarang ini saya yang anxious. Tidak usah baca buku teori, saya tahu saya cemas. Sangat. Tapi ini tidak sehat. Saya harus lepas, memasuki rasa yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Saya tidak mungkin menggenggam mereka, kecuali dalam doa. Apalagi bocah itu sudah besar. Oleh suami, saya sudah sering ditinggal-tinggal kerja. Tapi ditinggal Si Bocah? Duh…
.
Saat mereka sudah masuk dan memperlihatkan tiket pada petugas di bandara, rasanya ada slow motion. Kayak dadah-dadahan di film-film. Sedikit sedih. Sampai… satu… dua… tiga. Sosok mereka tidak ada lagi. Lalu, ada rasa aneh. Tidak bohong, saya tiba-tiba begitu saja merasa pasrah, menerima. Mau bagaimana lagi?
Ini sudah urusan Allah. Saya titipkan mereka pada-Nya. Lagipula, bukankah anak saya ada di tangan orang yang paling saya percaya di dunia? Orang yang juga paling sayang padanya. Ayahnya sendiri. Ya sudah. Setelah anak di tangan orang yang paling saya percaya, saya titip lagi mereka pada yang paling wajib saya percaya. Tuhan.
Apa yang terjadi? Setelah saya menerima, saya melangkah ke tempat parkir dengan ringan, riang dan gembira.
.
Hello Me!… let’s have fun! Yeah!
.
Rumah saya relatif kecil. Alhamdulillah sekali, beberapa kali pindah, kami selalu tinggal di tempat-tempat yang tidak membuat saya takut saat sendiri. Iya, saya sendirian banget. Si Mbak lagi pulang kampung, karena anaknya juga sedang libur sekolah di kampung. Ini Me Time harfiah sekali. Selama saya tetap menerima berita-berita dari mereka yang sedang jalan-jalan, semua aman. Karena saya tidak ada masalah dengan kesendirian.
Sendiri, berbeda dengan sepi. Sendirian belum tentu kesepian. Dari gadis, saya senang banget berteman, berorganisasi, punya beberapa sahabat, namun tidak masalah juga saat sendiri. Saya bukan tipe yang harus selalu dikelilingi orang, dan tidak wajib ditemani. Ada teman Alhamdulillah, tapi jika sedang tidak ada siapa-siapa, saya tetap bisa “berpesta” .
.
Sempat terpikir untuk pergi juga, biar kerasa liburannya. Mau ke Garut, atau staycation di dalam kota. Namun, ada rasa “lebay” karena saya merasa betah di rumah. Semuanya ada. Ngapain juga ya keluar uang untuk suasana yang hampir sama? Malah boros, dan tidak sejalan dengan alasan awal mengapa saya tidak ikut ke Aceh. Ha ha ha… akhirnya, saya hanya tidak ingin diganggu saja. Biar Me Time-nya “khusyu”. (Oh ya, bahkan bel rumah waktu itu saya cabut juga ;p)
.
Baiklah. Apa yang terjadi selama delapan hari (iya, akhirnya mereka sedikit memperpanjang liburannya) saya sendiri? Saya banyak nonton di rumah, nulis sedikit saja. pergi jalan-jalan ke toko buku, dua kali nonton bioskop sendirian. Asyik, tau…! :D.
Ada bandelnya juga, karena output menulis saya tidak sebanyak yang saya bayangkan saat pertama “berpisah” dengan mereka.
Itu saja yang paling saya sesali. Selebihnya, Me Time yang sangat menyenangkan. Bahkan rasa rindu juga jadi sangat menyenangkan. Yang paling tidak bisa saya lupa adalah saat tiba-tiba suami mengirimkan video dan foto-foto mereka di pantai, dan menuliskan pesan.
Ah, mereka terlihat bahagia, dan Alhamdulillah, tetap kangen sama saya hi hi hi…saya juga bahagia dikasih liburan walau di rumah. Impian banyak ibu, setidaknya tercapai. 8 days off duty. Lebih dari cukup. Pelajaran besarnya?
Pertama Berpasrah pada Allah, pemilik sesungguhnya dari apa pun milik saya.
Kedua… stick to my plan! Di yang terakhir ini saya meleset. Sepertinya ada campuran rasa panik dan eforia yang bikin bingung, pengin langsung melakukan ini itu. Jadi melanggar rencana sendiri untuk menulis. Ini juga semacam catatan buat saya. Suatu hari nanti, anak akan mempunyai kehidupannya sendiri dan otomatis jadwal saya dengannya benar-benar banyak kosong. Semacam simulasi pensiun ya? Anak membesar itu pasti. Orang tua tetap harus punya rencananya sendiri.
Ketiga, Confirmed again and again! Mereka berdua adalah yang paling penting dalam hidup saya. Dan “jabatan amanah” dari Allah sebagai istri dan ibu, saya syukuri, dan harus dijaga.
Hal terbesar kedua yang diajarkan oleh 2019 adalah:
When Universe Gives You Signs, Follow!!!
Pernah terluka? Pasti.
Perkara dikhianati, diprasangkai, berbeda persepsi, beda preferensi. Berhadapan dengan isu etika, berasumsi sendiri. Saya pikir dia tahu saya, saya tahu dia. Nyatanya? Senggol, periiih…
Ternyata, siapa pun berpotensi melukai kita. Bisa orang yang baru mengenal, bisa juga orang yang rasanya seumur hidup kita kenal baik. Bagaimana pun, pasti ada porsi salah kita, hingga kita membiarkan celah untuk seseorang melukai. Kita juga berpotensi melukai orang lain. Suka lupa: kondisi yang tidak pas, atau betul-betul berbeda. Beda persepsi, beda kondisi, beda preferensi. Beda frekwensi berkelakar? Mungkin juga.
Rasa sedih, patah hati, itu manusiawi. Waktu terjadi, rasanya nyeri seakan tidak ada obatnya. Sampai akhirnya waktu yang menyembuhkan dan kejelasan muncul serupa hikmah.
Clarity.
Saya rasa, Tuhan itu kadang begitu. Sudah dikasih pertanda, saya masih bebal. Hingga harus “dicolek luka”, barulah mengerti. Ujung-ujungnya? luka membawa pada sebuah gambar yang jelas.
Luka tidak separah itu.
Dia, sedang memberi tahu sesuatu, lewat luka.
Baca pertanda. Percayalah.
Luka juga patut disyukuri.
Maafkan diri sendiri. Berdamai.
Siap melangkah (lagi), setelah memahami (lagi).
Berhati-hati.
.
Lalu, obrolan dengan seseorang seakan membantu menggaris bawahi pertanda.
“Ke sana. Bukan Di sini”
Sesuatu yang belum pernah saya coba, tapi masuk dalam daftar impian.
Hendak memenuhi panggilan hati kembali, setelah berkelana di luar rencana, meski panggilan hati itu pun masih serupa hutan rimba. Entah ada apa di dalamnya, namun saya ingin mencentang poin-poin dalam daftar yang tertunda, menggunakan hati.
Saling bertukar doa dan menyerukan semangat yang sama untuk setiap impian baik.
.
Teringat lirik lagu Into the Unknown,
Menutup tahun 2019, dengan terima kasih atas semua pelajarannya.
Menapaki 2020, menulis “kisah-kisah hidup” di kertas kosong.
Bismillah.