Dalam kisah mereka, Ruben menjadi semacam ‘kepala divisi canda’ saat istirahat, sementara Kayla resmi jadi ‘kepala bagian korespondensi’.
Ruben,
Terima Kasih ya, sudah dibalas. Aku senang.
Oh ya, boleh aku menelpon ke rumahmu?
-Kayla-
Lagi-lagi, sebuah kejutan bahwa Ruben selalu menjawab suratnya.
Halo Kayla
Iya, boleh…
-Ruben-
Ah! Kayla girang mendapat jawaban seperti itu. Pulang sekolah terburu-buru, segera mengganti baju dan makan siang. Semua dilakukan dengan super cepat. Deg-degan. Kayla menunggu Ibu tidur siang. Ternyata, Ibu pergi ke tempat Tante Mira. Yes!
Jantungnya berdebar saat jari kecilnya memencet nomor telepon yang diam-diam sudah dihafalnya.
Halo? Suara Ruben di seberang sana.
Ha.. Halo? Ruben ya? Ini Kay…Kay…la
Iya… aku tahu…Ini telpon dari rumah?
Iya. Kamu lagi ngapain?
Baru nyampe rumah
Oh….
Lalu ada jeda yang panjang. Mungkin dua menit. Dua menit yang panjang dan kosong. Kayla bingung mau berbicara apa lagi. Mau bertanya apa lagi? Sudah boleh menelepon saja rasanya istimewa dan spesial. Apa yang harus gadis kecil katakan pada pangeran kecil yang disukainya itu?
Eh, Ruben… udah dulu ya
Oh… Iya deh.
Makasih ya!
Sama-sama Kayla.
Klik….
Seingatnya, itulah percakapan telepon tersingkat dan paling tidak jelas sepanjang hidupnya. Namun, itu juga adalah percakapan yang tidak akan pernah dilupakan Kayla. Tidak ada siapa-siapa di antara mereka. Hanya ada dirinya dan pangeran kecilnya, walaupun hanya dalam diam. Semua tentang Ruben rasanya sangatlah menyenangkan. Semacam membaca kisah putri dan pangeran. Walau sekali lagi: ia enggan jadi putri.
Sayang sekali, kisah itu harus dilupakan saat Ruben, Kayla, Naira, dan semua anak kelas enam harus berjuang demi kelulusan mereka. Ruben yang terkenal pintar, saat itu sangat serius belajar. Kayla merasa ada jarak lebar dan tembok yang tinggi antara ia dan Ruben. Ia tahu bahwa anak sepandai Ruben akan berjuang demi masuk ke Sekolah Menengah Pertama favorit. Namun di sisi lain dalam hatinya, Kayla merasa pangeran kecil mengucilkannya.
Di antara candaan saat istirahat, keisengannya, balasan surat-surat yang memang tidak mengarah pada apa pun, maka diacuhkan Ruben adalah hal yang paling menyebalkan bagi Kayla. Namun, apa yang bisa diperbuat oleh gadis kecil itu, sementara ia sendiri juga harus serius belajar untuk kelulusannya?
Kisah Kayla dan Pangeran Kecil akhirnya benar-benar terhenti. Satu hal yang sedikit Kayla sesali adalah: semua surat itu ia kembalikan sendiri pada Ruben beberapa hari setelah pengumuman kelulusan, sebagai pesan atas rasa kesalnya.
Bukti ‘Kisah Kayla dan Pangeran Kecil’ sudah tak ada lagi. Bukti pangeran tampan menyukai perempuan periang juga tak ada lagi. Kayla hanya punya satu foto Ruben dengan blangkonnya pada saat perpisahan, saat lelaki kecil itu berdiri di panggung, karena lulus dengan nilai tinggi. Seperti yang memang diperkirakan, seperti yang memang dicita-citakan.
Kisah mereka usai, karena sekolah mereka kemudian memang terpisah. Foto Ruben memakai blangkon pun sudah tidak ada sejak Kayla sekeluarga pindah rumah.
***
Kayla duduk di ujung tempat tidurnya. Ia mendesah, sambil melihat baju yang dipegangnya. Tiba-tiba, ia merasa percuma bersikeras mencari-cari baju yang tepat untuk reuni hari itu. Ia merasa kehilangan esensi. Kayla memandangi Rendra yang kini duduk memunggunginya. Suaminya sedang membaca email.
Ia merasa bodoh, bila kegalauan ini hanya untuk Ruben. Pangeran yang hampir dua puluh tahun tidak pernah ia temui, yang bahkan dulu juga memang bukan siapa-siapanya. Ia juga membayangkan isi kepala Rendra. Dia bisa cemburu, tapi lebih mungkin merasa geli melihat tingkah laku perempuan yang sudah dikenalnya belasan tahun ini. Kayla jadi merasa tidak enak hati sekaligus geli sendiri. Suaminya seperti disuguhi pertunjukan yang katanya nostalgia cinta anak monyet ini.
Akhirnya, Kayla tidak terlalu ambil pusing dengan pakaian. Ini hanya reuni, yang biasanya akan diisi dengan tawa, dengan saling bertanya tentang keluarga, anak dan pekerjaan.
Tapi memang, pasti ada juga nostalgia. Ada pengulangan cerita. Inilah yang membuat perasaan Kayla campur aduk, walaupun urusan pakaian sudah selesai. Cerita tentang ia dan Ruben, tidak ada yang tahu. Hanya dirinya, Ruben dan tentunya Tuhan. Sekarang, Kayla bahkan sangsi bahwa Ruben mengakui adanya kisah itu.
Bisa saja Ruben lupa atau tidak mengakui, sementara ia menggenggam kisah ini sendiri. Siapa tahu Ruben lebih mengamini gosipnya dengan Naira daripada surat-surat mereka. Gosip yang lebih menarik untuk jadi bahan olok-olok nostalgia reuni, karena dahulu pun yang suka pada sang putri banyak sekali. Bukankah pangeran sudah sepatutnya memenangkan putri cantik?
Kayla menarik napas panjang. Umurnya sudah tiga puluh tahun lebih. Lebihnya pun banyak. Bersyukur memiliki Rendra dan seorang anak yang lucu. Naira dan Ruben juga masing-masing telah memiliki keluarga. Tidak ada yang perlu dibahas, tidak ada yang perlu ditakutkan. Kalaupun Ruben menyangkal, maka akan ketahuan pangeran seperti apa dia.
Sudahlah Kayla, jangan berlebihan… Ini cuma reuni…reuni SD.
Kayla bertanya pada diri dan membalas keraguannya sendiri. Sebenarnya, aku hanya betul-betul ingin tahu, adakah kisah itu dalam ingatan Ruben? Adakah aku? Adakah surat-surat itu ia ingat? Adakah…?
***
Rendra mengantarkan Kayla sampai di tempat reuni. Ia tidak mau masuk, karena tidak mau berada di antara hiruk pikuk nostalgia yang sama sekali asing. Kayla pikir memang lebih baik begitu.
Rendra yang mengasuh Edwin. Kayla mencium tangan Rendra, dan mencium pipi Edwin. Rendra menarik tangan Kayla, dan mencium kening istrinya itu.
“Have fun, Kayla! Kalau sudah selesai, beritahu aku, ya! Nanti kita jemput kamu lagi.”
“Oke! Thanks ! Bye Edwin…! Kamu sama Papa dulu, ya!”
Edwin mengangguk sambil melambaikan tangannya. Kayla hendak menutup pintu. Lalu terdengar suara Rendra, sekali lagi memanggil.
“Kay, santai aja, ya. I love you,” katanya sambil mengedipkan matanya.
Kayla tersenyum geli. Senyum tertangkap basah. Senyum orang yang ketahuan sedang gelisah.
“I love you too, Dra!”
***
Setiap langkah Kayla diiringi detak jantung yang bergemuruh, walau tentunya tidak ada yang mendengar. Penerima tamu berdiri menyambutnya dan mempersilakan Kayla mengisi buku tamu. Matanya tertuju pada sederetan nama yang semuanya begitu familiar. Jantungnya seakan tiba-tiba berhenti, seiring matanya menangkap nama itu. Ruben Andhito.
Pintu ballroom dibuka penerima tamu.
“Kaylaaaaa!!” Teriakan bersahut-sahutan menyebut namanya.
Rasa tegang sirna seketika, begitu melihat wajah-wajah yang dikenalinya dulu. Wajah-wajah dewasa yang ia kenali betul saat kecilnya. Sebagian besar yang berubah adalah fisiknya. Sebagian lelaki menjadi tambun. Perut mereka besar. Tapi ada juga yang tetap kurus, dan terlihat tidak berubah. Oh ya, ada uban yang malu-malu mencuat di antara rambut hitam mereka. Ada yang memilih menjadi botak demi membabat habis uban yang tidak diinginkan.
Para perempuan juga begitu. Beberapa terlihat lebih berisi, sementara yang lain tetap langsing. Ada juga yang terlihat betul-betul berubah. Beberapa kini memakai kerudung. Beberapa berubah karena riasan muka, yang waktu SD dulu hanya dipoleskan ke wajah-wajah polos yang akan naik panggung untuk menari atau menyanyi.
Namun, sebanyak apapun perubahan teman-teman lamanya, Kayla masih sanggup mengenali. Wajah-wajah itu hampir setiap hari ditemuinya di sekolah selama enam tahun. Ia ikut larut dalam euforia, dan sebentar saja lupa pada Ruben. Sebentar saja. Kayla bertegur sapa dengan satu persatu teman-teman lamanya, tapi hatinya mengingatkan bahwa Ruben akan ada.
Rupanya setiap pintu dibuka, para peserta yang sudah di dalam berteriak. Kali ini Rano yang diteriaki, lalu dikerubuti. Hari ini, semua sepertinya sedang obral salam, cium dan peluk.
Kamu tahu tidak rasanya bila kamu mengenal seseorang dari kecil dan bertemu setiap hari dengannya selama enam tahun? Betul! Ketika bertemu lagi saat dewasa, kamu akan tetap mengingat kedekatan dengannya semasa kecil. Betapa polosnya. Rasanya hari ini, ingin sekali memeluk erat satu persatu. Rasanya persis seperti bertemu saudara sepupumu yang dekat.
Tiba-tiba bahu Kayla ditepuk dari belakang.
“Hai, Kayla! Apa kabar?”
Kayla membalikkan badannya, dan disanalah Ruben berdiri. Jantungnya seakan berhenti untuk kesekian kalinya. Entah seharian ini berapa kali jantungnya berdegup kencang atau berhenti sebentar. Tapi, sepertinya ini yang terdahsyat.