Menjelang Hari Buku Nasional 17 Mei 2021, saya mencoba mengunggah 17 buku berbahasa Indonesia, yang pernah saya baca. Dipilih secara acak, urutan unggahan juga tidak menunjukkan apa pun. Ini akan sangat menyenangkan, karena artinya saya akan kembali menelusuri rak buku saya . Belum tentu buku terlaris yang akan saya unggah. Belum tentu juga buku baru. Mungkin berbentuk ulasan, mungkin hanya tentang perasaan. Semata-mata ingin bercerita tentang sebuah buku. Coba kita lihat saja nanti jadinya bagaimana, yuk? Semoga bisa… 🙂
Unggahan #10 – Juragan Haji
(Kumpulan Cerpen)
Penulis: Helvy Tiana Rosa
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
(Cetakan Pertama 2014)
Saya, senang membaca buku yang beragam. Beragam penulisnya, beragam genre-nya. Buku tipis hingga buku tebal. Tapi saya baru ngeh, kenapa saya cenderung suka dengan kumpulan cerita. Karena seperti saat ini, untuk kembali mengingat isi dari sebuah buku, tidak perlu baca ulang/menyapu seluruh buku, jika itu adalah kumpulan cerita. Begitu pun ketika ada waktu senggang yang tidak panjang dan ingin diisi untuk membaca cerita, kita bisa ambil satu cerita saja, dan selesai saat itu juga. Selain itu, dari membaca kumpulan cerpen, biasanya jadi cepat kenal juga dengan gaya kepenulisan sang penulis buku. Tapi apapun itu, saya belajar banyak dari banyak penulis. Dari puisi, cerpen, hingga novel.
Buku Juragan Haji karya Bunda Helvy ini, sudah ada di rak bertahun-tahun yang lalu. Ada 17 cerita di dalamnya. Mencoba mengingat kembali cerita apa saja yang saya suka dari buku ini, selain desain kovernya yang etnik (iya, saya suka sekali desain sampulnya). Saya sempatkan membaca beberapa cerita di dalamnya. Tentu saja, Bunda Helvy adalah penulis yang sudah tidak diragukan lagi karyanya.
Tapi saya setuju bahwa cerita Juragan Haji sangat menohok. Ada perasaan campur aduk, ketika membaca bahwa Juragan akan kembali berhaji (“Untuk yang keempat kalinya,” ralat Juragan dalam cerita. Bukan ketiga kalinya), sementara Mak Siti, Asisten Rumah Tangga, yang sudah tua dan sangat sangat sangat merindukan melihat Kakbah, hanya bisa bermimpi dengan tabungan satu juta ditangannya dan kewajibannya untuk tetap mengirim uang ke keluarganya di kampung. Cerita ini membuat saya melamun juga, seperti Mak Siti. Andaikan……. ah! Bunda Helvy sukses membuat saya ikut berandai-andai. Cerita bagaimana karakter Ibu Juragan, hingga Nona Juragan (anaknya), sangat mungkin membuat pembaca tergoda untuk berpikir bahwa Mak Siti yang lebih layak berangkat haji. (Pembaca lalu lupa ada Allah SWT yang sudah mengatur, dan penulis yang punya cerita ;p)
Walaupun ini fiksi, saya kok jadi ikut mendoakan agar Juragan yang berkelebihan itu suatu hari membiayai Mak Siti untuk berhaji 🙂