“Ini dari dulu sudah ada?”
“Ih, baru tahu, ada area ini”
“Oh, memang ada ya?”
Sebuah lorong di rumah masa kecil saya, yang saat itu sedang direnovasi (Januari – Juni 2022) membuat beberapa kerabat dan sahabat bingung. Kenapa begitu? Karena selama berinteraksi dan bolak-balik ke rumah orang tua kami, lorong itu tak pernah terlihat ada.
Jangankan tamu. Kami saja, tidak mengaksesnya sama sekali. Boleh dibilang, lorong itu mati. Lorong itu menjadi seram karena gelap, lembap, tumbuh tanaman liar, dan jadi tempat menyimpan barang-barang bekas. Ada motor bekas, besi-besi besar, Aquarium bekas, lemari tua dan lain-lain.
Jika ada yang tanya mengapa bisa begitu? Hmmm…
Singkat cerita, lorong itu terabaikan karena rumah yang relatif luas tersebut (320m2), ikut dalam cerita pasang surutnya kehidupan para penghuninya. Qodarullah dalam kurun waktu 2004-2012, kami ditinggal selamanya oleh Papah, Nenek dan adik lelaki saya. Penghuni inti berkurang, rumah tetap seluas itu, ART hanya bekerja setengah hari. Energi penghuni yang tersisa pun lebih banyak untuk kegiatannya masing-masing (saya bahkan pindah ke Aceh tahun 2005). Alur kehidupan seperti itu membuat lorong itu tak terurus.
Lorong itu sebenarnya adalah area yang muncul akibat renovasi pertama. Lupa tepatnya kapan. Pastinya, saat awal pindah (1989), sebagian lorong itu adalah taman samping yang dulu masih terakses. Setelah beberapa tahun menghuni rumah, orang tua saya memutuskan untuk membangun kamar di atas taman itu, dan tidak habis hingga ke dinding tetangga, kemungkinan karena ingin ada akses samping untuk alternatif keluar rumah.
Namun ternyata, akses pintu samping melalui lorong itu tidak efektif. Sambil menulis ini, saya baru ngeh bahwa dulu itu artinya dari dalam rumah, ada tiga akses keluar rumah. Melalui pintu utama (ruang tamu), melalui garasi, dan si lorong tadi.
Praktis tidak ada orang keluar-masuk melalui lorong tersebut. Dipikir-pikir, ngapain juga? keluar melalui lorong itu kita seakan-akan mengitari rumah. Ada dua alternatif lain yang lebih dekat (dari garasi dan ruang tamu).
Akhirnya, lorong tersebut menjadi area yang paling tidak terjamah. Katakanlah hampir 19 tahun sejak Papah meninggal (2004), hanya satu dua kali dibereskan. Hanya dibereskan sekadarnya dan tetap dibiarkan lagi, tidak ada yang mengakses! Maka wajar, bila kerabat atau pun teman yang datang ke rumah, tidak ada yang tahu bahwa lorong itu ada.
2022
Sebuah solusi yang Insya Allah baik untuk semua, membuat kami sekeluarga berkomitmen untuk melakukan renovasi rumah yang memang sudah mendesak harus diperbaiki. Rumah dibagi menjadi dua bagian. Cerita mengenai ini harus menjadi bagian terpisah. Saya mau fokus cerita yang berujung “lorong” dulu.
Disepakati bahwa saya dan suami merenovasi bagian sebelah kiri (dari tampak depan), yang dihuni kembali oleh ibu saya. Sementara bagian kanan (dari tampak depan) menjadi rumah adik dan keluarganya.
Dari awal, saya dan suami sudah membayangkan bahwa yang jadi “PR” di bagian kiri adalah si lorong mati. Sebelum kesepakatan terjadi, kami sempat googling, mencari referensi desain lorong yang kira-kira seukuran dengan lorong tersebut (+/-10 m x 1,45 m) saking parahnya . Saat mulai pembersihan dan pengukuran, saya enggan menengok. Biar suami saja. Tapi mendengar ada sarang tawon (bukan saranghaeyo yah :D), jadi penasaran. Wah, beneraaan…! Untunglah sarang tawonnya kosong. Tapi kebayang, kan? Bagaimana sampai bisa ada sarang tawon sebesar itu di sana? Beginilah penampakan lorong itu, saat mulai dibereskan.
Oh Ya, tahun 80-an, lanskap bebatuan buatan memang nge-hits banget. Tapi kini jadi “pitstop-nya” tikus dan tempat tumbuh tanaman liar juga. Kayaknya seru ya kalau bikin timelapse, merekam perubahan lorong ini selama dua puluh tahun #bercandaaa.
Saya dan suami bertekad untuk mengubah lorong, setidaknya menjadi bersih dan bisa dilewati. Dari mulai pembongkaran dinding batu buatan saja, sudah terharu banget.
Kenapa tidak diabisin aja ke batas tembok tetangga biar bangunan jadi lebih luas? Awalnya sih takut over budget, maka kami mempertahankan sebanyak mungkin existing condition rumah ini, yang artinya memelihara si lorong itu juga (yang di akhir renovasi nanti kami tahu, ternyata sama saja mahalnya karena ada keadaan awal bangunan yang perlu dikoreksi. LOL!). Alasan kedua (dan Alhamdulillah-nya ini benar) saya dan suami sangat optimis bahwa si lorong bisa jadi sumber cahaya dan sumber sirkulasi udara buat rumah ini.
Maka, ketika bentuknya semakin jelas, kami senang. Memang, tidak seperti lorong di gambar-gambar referensi yang finishingnya maksimal dengan bahan premium dengan lighting yang keren. Tapi hal-hal yang timbul sebagai dampak make over-nya, sangat memuaskan kami.
– Lorong ini sekarang terakses dan aktif, bahkan saat malam.
– Hanya beberapa saat setelah pindahan, Mamah sempat isolasi mandiri di rumah ini, dan lorong tersebut jadi tempat berjemurnya setiap pagi.
– Baru menyalakan lampu di sore hari, sehingga listrik cukup hemat.
– Rumah ini menjadi lebih sejuk, karena sirkulasi udara terbesarnya, datang dari lorong yang diberi pintu kaca.
– Pintu kacanya menjadi daya tarik rumah ini juga. Yah… setidaknya untuk saya…ha ha ha…
Sudah 6 bulan rumah ini dihuni Mamah, saya masih suka terharu setiap berkunjung dan melihat lorong ini. Memang masih harus ditambah kanopi dan beberapa pelengkap lain (sekarang terharunya karena belum ada budget-nya lagi, he he he…), namun setidaknya lorong yang awalnya berantakan, kotor, lembap dan gelap, ternyata bisa menjadi sumber cahaya yang menerangi bagian dalam rumah. Menjadi sumber sirkulasi udara yang menyejukkan rumah ini.
Belajar banyak banget dari lorong ini. Tentang pengabaian, tentang potensi, tentang optimalisasi, tentang mensyukuri dan merawat titipan-Nya. Semuanya juga tergantung pada niat, pengambilan keputusan dan penyesuaian-penyesuaian dalam prosesnya.
Bagi saya Si Lorong adalah salah satu pemandangan indah dan kisahnya menjadi pelajaran terbaik sepanjang tahun 2022 kemarin.
Walau benda mati, saya bayangkan Si Lorong pun tengah berbahagia melihat dirinya yang sekarang.
@2023